Pilih Mana, Nilai Kemanusiaan atau Agama?

Menarik diskursus yang bergulir sejak rencana digelarnya konser band papan atas dunia November mendatang. Seolah perkara kemanusiaan dan agama, harus jadi lahan pilihan. Memang benar, Coldplay dikenal sangat peduli pada isu kemanusiaan. Bertaburan jejak digital yang merekam aksi kepedulian mereka. Mulai dari filantropi hingga tergabung dalam berbagai badan amal sedunia.

Jangan tanyakan kepeduliannya terhadap lingkungan. Mereka aktif berperan bersama United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam mendorong negara-negara dalam pengurangan emisi global sebesar 50% pada tahun 2030 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.

 

Bahkan guna mencapai tujuan tersebut, di setiap konsernya, Coldplay berpatokan pada 3 kunci utama: Reduce, Reinvent, dan Restore. Reduce, memangkas emisi karbon sepanjang tur sebanyak 50%. Reinvent, mendukung teknologi new green dan terakhir Restore, mendanai proyek berkelanjutan berbasis alam dan teknologi.

Sungguh langkah Coldplay patut memetik apresiasi. Ironisnya, dengan semangat kemanusiaan yang sama, grup band ini juga ikut mengusung isu pengakuan atas keberadaan kaum pelangi, satu hal yang justru ramai dipahami bakal merusak manusia. Alih-alih menjunjung nilai kemanusiaan, justru memicu risiko kebinasaan.

 

Perlahan tapi pasti, bila hubungan sesama jenis ini dibiarkan merajalela, kelangsungan jenis manusia terancam. Itulah salah satu alasan mengapa tiada satu pun agama yang menghalalkan perbuatan menyimpang tersebut.
Khususnya Islam, sangat tegas untuk perkara pengikut kaum Sodom ini. Firman Allah Swt.,
Dan (Kami juga telah mengutus Nabi) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan yang sangat hina itu, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian?” [Al-A’raaf: 80].

 

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah, ketika beliau menjelaskan perbuatan yang sangat hina (fahisyah) dalam ayat di atas, yaitu perbuatan yang sampai pada tingkatan mencakup berbagai macam kehinaan, jika ditinjau dari sisi besarnya dosa dan kehinaannya [Tafsir As-Sa’di].

 

Astaghfirullah. Dari penjelasan Syaikh As-Sa’di, menunjukkan tak cukup kiranya perbuatan tersebut sekedar disebut hina melainkan hina di atas hina. Apakah ini yang dinamakan membela nilai-nilai kemanusiaan, ketika di saat yang sama malah mendukung perilaku yang mengantar pada kehinaan yang ujungnya kehancuran?

 

Kiranya cukup dengan pikiran awam saja mampu memahami retorika di atas. Jujur, begitulah adanya ketika predikat suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk kehilangan standar alias tolok ukur yang baku. Hanya semata-mata pertimbangan akal yang berbicara. Semakin parah dengan adanya prinsip kebebasan, baik kebebasan berbicara maupun bertingkah laku yang dianut sistem yang berlaku saat ini yaitu demokrasi.

 

Jadilah atas nama hak asasi manusia, kaum pelangi justru minta dilindungi. Perilakunya ingin diakui sebagai bagian dari kodrati, bukan penyakit yang harusnya diobati. Akibatnya ngeri! Mengutip situs kesehatan daring, populasi gay, biseksual, dan transgender di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 2 persen dari total penduduk. Namun, dari data yang ada, 55 persen dari penderita HIV/AIDS di Amerika berasal dari kaum gay. Apabila terus meningkat, diperkirakan 1 dari 6 gay dan laki-laki biseksual di Amerika Serikat nantinya dapat terdiagnosa dengan HIV (klikdokter.com, 2020).

Itu di Amerika. Negara yang selalu mengklaim sebagai kampiunnya negara demokrasi dunia. Apa kabar dengan Indonesia? Tentu tiada satu pun dari kita yang memahami dan meyakini Islam, ingin melihat apa yang terjadi di negeri Paman Sam tersebut bakal jadi bayangan masa depan generasi kita. Na’udzubillah.

Namun idealnya tak cukup sebatas keinginan saja. Butuh kesadaran penuh dari setiap individu Muslim dan masyarakat untuk bersinergi bersama mencegah dan menangkal perilaku menyimpang ini sejak dari akarnya. Last but not least, andil negara mutlak hadir untuk tidak memberi celah dalam bentuk fasilitas media, sarana dan prasarana apa pun yang bisa memicu maraknya pelaku yang meniru perbuatan kaum Nabi Luth yang sudah lebih dulu diazab Allah Swt.

Semua hal di atas hanya bisa terwujud ketika syariat dengan akidah Islam sebagai asasnya yang merupakan risalah Rasulullah saw. diterapkan secara kafah. Karena Islam, satu-satunya agama yang diturunkan untuk menjaga, mengatur dan merahmati manusia, berikut seluruhnya yang ada di alam semesta, tanpa kecuali. Wallaahua’lam.

 

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *