El Nino Mengancam, Apa Kabar Food Estate Indonesia?
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan Pemerintah akan melakukan impor beras 1 juta ton dari India. Hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi atas dampak cuaca panas ekstrim atau El Nino. “Beras kita menang harus ambil (impor) walaupun kadang-kadang enggak populer ya, tapi kita harus ambil inisiatif karena nanti kalau El Nino berat keadaannya kita enggak boleh bertaruh beras kurang kan.”
Zulhas menyebutkan pihaknya sudah MoU dengan India, jadi sewaktu-waktu Indonesia bisa membeli beras tersebut ( detikfinance.com, 15/6/2023). Cuaca ekstrem menjadi alasan kita untuk berbenah. Mempersiapkan segala sesuatu agar tidak terjadi hal yang lebih buruk. Tapi mengapa harus kebijakan impor yang diambil?
Mengapa berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo yang merasa optimistis Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia pada 2045. Yaitu dengan memanfaatkan semua aspek sumber daya alam yang ada melalui dukungan teknologi. “Kita punya lahan dan alam yang cukup baik. Sekarang dengan menggunakan teknologi mulai dari pesisir, dataran rendah hingga dataran tinggi itu bisa kita tanami,” kata Syahrul Yasin Limpo (antaranews.com, 30/5/2023).
Demikian juga Presiden Joko Widodo yang menggagas program Food Estate dari tahun 2020, demi mencegah ancaman krisis pangan. Salah satunya di wilayah Kalimantan Tengah. Dua tahun berjalan di Kalteng, Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen.
Bahkan menurut penelurusan BBC News Indonesia bersama LSM Pantau Gambut menemukan proyek Lumbung Pangan Nasional di wilayah ini hanya memicu persoalan baru, bencana banjir kian meluas dan berkepanjangan, serta memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan mereka menanam.
Pejabat Kementerian Pertahanan mengeklaim mangkraknya kebun singkong disebabkan ketiadaan anggaran dan regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik Strategis. Kemudian di kesempatan lain mengatakan pengelolaan Food Estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, bukan menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian (BBC.com, 15/3/2023).
Kementan hanya bertanggung jawab dalam mengelola pengembangan Food Estate yang berada di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Hal ini disampaikan oleh Direktur Perlindungan dan Penyediaan Lahan, Kementerian Pertanian, Baginda Siagian, dalam hak jawab tertulis (BBC News Indonesia.com, 17/03/2023).
Ketahanan Pangan Tak Mungkin Berharap Pada Kapitalisme
Food Estate merupakan salah satu program pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan. Konsep food estate secara garis besar merupakan konsep pengembangan pangan secara terintegrasi baik dalam lingkup pertanian, perkebunan, peternakan pada suatu kawasan tertentu. Food estate ada sebagai upaya menjadikan lumbung pangan nasional agar pasokan makanan dalam negeri tidak mengalami kekurangan.
Namun program ini banyak menuai pro kontra karena dinilai gagal dan menyajikan data tak valid. Fakta ini diungkap oleh DPR komisi IV dengan menyebut proyek food estate ini adalah proyek ‘palsu’. Dalam artian disini Ketua Komisi IV DPR menyebutkan tersebut bukan proyeknya yang palsu namun data dan laporan perihal produksinya belum pas.
Ketua Komisi IV DPR Sudin saat membuka Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Eselon I Kementan mengatakan, “Saya juga tergelitik baca di media. Food estate palsu, nggak ada yang palsu food estate. Kalau palsu itu berarti tidak ada food estatenya. Tapi ini ada food estatenya. Yang kurang pas adalah laporan perihal produksinya.”
Persoalan juga muncul dari sisi kelestarian lingkungan, hak asasi manusia, dan keberlanjutan. Meskipun diklaim untuk kepentingan rakyat, program ini membutuhkan biaya cukup besar serta fokus pelaksanaannya berada di lahan-lahan yang berstatus sebagai kawasan hutan baik itu hutan lindung, hutan produksi dimana sebagiannya berada di kawasan areal penggunaan lain (APL) dan di atas lahan gambut menuai kritik dari berbagai pihak.
Berdasarkan informasi KPPIP, food estate juga akan dibangun di Kalimantan Barat (120 ribu ha), Kalimantan Tengah (180 ribu ha), Kalimantan Timur (10 ribu ha) dan Maluku (190 ribu ha) dan Papua (1,2 juta ha). Khusus di Kalteng, sempat ada program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektare di zaman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, lalu sempat direvitalisasi oleh pemerintah lagi.
Investigasi yang dilakukan Tempo di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, bersama dengan the Gecko Project yang didukung oleh Greenpeace, Rainforest Investigations Network of Pulitzer Center dan Internews’ Earth Journalism Network yang menunjukkan bahwa dalam pembangunan food estate banyak ditemukan pelanggaran aturan pemerintah yang dilakukan oleh perusahaan swasta (cnbcindonesia.com, 30/1/2023).
Ya, makna diurusi oleh negara dalam sistem kapitalisme hari ini yang dimaksud adalah swasta, bukan murni negara sebagai eksekutor dan penjamin program food estate itu berjalan lancar dan sampai kepada tujuan utamanya. Akibatnya swasta yang mindsetnya profit dengan negara yang bekerja sebagai regulator kebijakan telah menciptakan proyek tak tepat guna.
Penjaminan Ketahanan Pangan Ada Dalam Islam
Program food estate di kalimanatan yang digadang sebagai solusi krisis pangan tak menunjukkan hasil. Bahkan makin membuktikan adanya ketidak beresan sejak perencanaan. Bahkan saat digagas, sudah banyak kritikan yang diberikan. Saat ini makin nyata buah kebijakan yang tak diserahkan pada ahlinya. Juga tanpa dukungan teknologi dan sumber daya manusia yang handal. Akibatnya kegagalan yang didapatkan. Jelas ada bayak kerugian yang dialami negara dan rakyat.
Ditambah dengan kebijakan menteri yang lain seolah ada tabrakan kepentingan. Yang jika ditelaah lebih lanjut tidak berujung pada maslahat umat, melainkan kepentingan pengusaha. Jangan lupa, pejabat negara ini juga sebagian besar adalah pengusaha. Sehingga, kekuasaan yang ada di tangan mereka setidaknya mereka manfaatkan untuk memudahkan akses perekonomian bagi pertambahan pundi-pundi keuangan mereka pribadi.
Inilah wujud Kebobrokan sistem kapitalisme yang diterapkan dalam pembangunan di negeri ini yang dipenuhi ambisi pencitraan. Dengan semangat “kerja kerja kerja” tanpa konsep yang shahih adalah ibarat meludahi matahari, bakal terpercik muka sendiri. Lantas, masihkah berharap pada sistem kapitalisme yang menyengsarakan?
Berbeda dengan Islam. Setiap proyek adalah utuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dan penguasa bertanggungjawab atas proyek tersebut karena akan dipertanggungjawab akan dihadapan Allah sebagai wujud pelaksanaan amanah. Rasulullah Saw bersabda, “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Urusan pangan adalah salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh negara, pertama negara harus memastikan individu per individu rakyat terpenuhi kebutuhan pangannya bukan rata-rata. Sehingga negara harus menyiapkan lapangan kerja bagi seluruh rakyat, terutama bagi laki-laki yang sudah baligh. Bisa berasal dari kebutuhan SDM terhadap fasilitas umum rakyat, pegawai administrasi negara, maupun dari pengelolaan harta milik rakyat dan negara.
Negara juga membuka kesempatan bagi warga negara yang ingin menjadi pengusaha yang begerak dalam harta milik individu, seperti bisnis pakaian, industri manufaktur, jasa dan lain-lain. Baitulmal akan memberikan pinjaman tanpa bunga, bahkan memberikan secara langsung berupa subsidi. Negara akan memberikan tanah-tanah milik negara kepada petani seluas yang mampu ia kelola. Dengan konsep ini tidak ada warga negara yang pengangguran sehingga memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Jika ada yang tidak mampu bekerja seperti cacat, janda dan sejenisnya, maka negara menyiapkan anggaran kebutuhan pangan mereka dari kas baitulmal.
Kedua, negara akan mewujudkan arah pembangunan Islam dalam hal pangan adalah sebagai negara mandiri, kuat dan terdepan. Dalam artian, negara akan mendorong rakyat untuk mandiri dalam pangan, dengan terus memproduksi dan bukan impor. Jika kebutuhan dalam negeri sudah stabil, kebutuhan pokok pangan baik muslim maupun nonmuslim terpenuhi secara makruf, maka akan ada kebijakan ekspor. Dalam hal ini negara akan sangat menyeleksi dengan negara mana akan melakukan muamalah ini.
Pertanian sebagai kekuatan ketahanan pangan akan sesuai konsep pertanian dengan asas kepemilikan tanah tergantung pada pengelolanya. Jika tidak mampu untuk mengelola dalam tiga tahun berturut-turut, maka diberikan kepada yang mampu sehingga para petani bisa memiliki lahan sesuai kemampuan. Artinya tak ada buruh tani , semua bisa mengelola sesuai kemampuan. Negara hadir untuk memudahkan konsep ini dengan bantuan bibit, pupuk dan sejenisnya untuk intensifikasi, peralatan hingga subsidi lain yang dibutuhkan.
Demikian pula dengan peternakan, maka Islam juga menetapkan padang rumput sebagai kepemilikan umum sehingga tidak boleh dikuasai oleh individu tertentu, termasuk kebutuhan pangan dari laut bisa diakses oleh semua orang karena laut adalah milik umum. Tentu dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan. Tidak mengejar eksploitasi industri dan korporasi hingga mengabaikan kelestarian lingkungan. Padahal kita tahu, ladang gambut adalah kantong oksigen terbesar di Kalimantan, rusak secara brutal hanya karena nafsu serakah pengusaha.
Semua ini tidak akan bisa diterapkan jika masih berkubang pada sistem kapitalisme batil, jangankan menghadapi kekeringan ektrem atau mengupayakan ketahanan pangan, menghidupi rakyat sendiri secara makruf saja negara sudah gagal. Pantaslah jika Allah berfirman,”Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu” (TQS al-Maidah [5]: 49). Sebab tak ada kemaslahatan di luar syariat Allah swt. Wallahu a’lam bish showab.
Komentar