Harga Bahan Pangan Murah, Ilusi dalam Kapitalisme!
Ambisi mewujudkan “Zero hunger 2030” yang menjadi slogan FAO di setiap peringatan Hari Pangan Dunia di bulan Oktober sepertinya masih bagaikan pungguk merindukan bulan. Khususnya di negeri zamrud khatulistiwa. Laporan Global Index Hunger, 2023, menyebutkan bahwa masalah kelaparan di Indonesia berada pada urutan 77 dari 125 negara di dunia.
Kondisi di atas diperburuk dengan harga sejumlah bahan pangan yang terpantau bertahan tinggi atau lebih mahal dibandingkan tahun 2022 lalu. Seperti harga beras, bawang putih, daging, juga harga gula. Hal yang menurut pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), mustahil terjadi penurunan harga kembali seperti semula. Bila terjadi kenaikan, hal tersebut wajar sebab menyesuaikan dengan biaya produksi yang juga meningkat. (bisnis.com, 2023).
Duh, macam lingkaran setan jadinya. Bagaimana tidak dikatakan demikian, kerap kebijakan yang diambil cukup Ajib. Alih-alih mengatasi biaya produksi yang tinggi dengan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam, yang dilakukan justru kontra produktif.
Salah satunya dengan membuka keran impor untuk segala komoditas. Bukankah ini sama artinya dengan memicu kenaikan biaya produksi, karena bahan-bahannya diperoleh dari luar dengan standar mata uang asing?
Tinggal sebut yang diimpor , mulai dari beras, gula, kedelai, bahkan garam hingga ikan asin. Di sisi lain nasib petani, peternak, nelayan terlebih petani penggarap pun akhirnya simalakama. Kalaupun ingin menurunkan biaya produksi agar tak mahal tapi apa daya harus bersaing dengan barang impor yang jatuhnya lebih murah.
Jujur, bila menilik problemnya sekilas amat kompleks. Tetapi dapat diurai dari mana akarnya bermula. Tak dapat dipungkiri kebijakan yang berkiblat pada sistem kapitalismelah biangnya. Terbukti impor demi impor yang dilakukan menyulap negeri ini tak lebih sebagai market, pasar bagi barang produksi negara kapitalis. Perlu diingat juga bagi negara-negara kapitalis, demi mencari bahan baku dan pembeli sejak dulu rela melakukan ekspansi hingga penjajahan. Baik secara fisik dengan pendudukan militer maupun dengan gaya baru, dominasi di bidang ekonomi dan politik. Akibatnya nyaris tak terlihat wujudnya kedaulatan pangan.
Jika akarnya ada pada ideologi kapitalisme yang berlaku, sudah seharusnya dicabut. Untuk kemudian digantikan dengan yang sudah terbukti lebih banyak mewujudkan kemaslahatan sepanjang sejarah penerapannya. Apalagi kalau bukan Islam yang dulu – ketika diterapkan secara kafah – terbukti berjaya hingga berabad lamanya.
Sebagai risalah yang diturunkan dari Sang Pencipta yang Maha Tahu melalui perantaraan manusia mulia, Baginda Nabi Muhammad saw., sudah tentu lebih dari layak sebagai pengganti. Selain merupakan konsekuensi iman atas semua yang mengaku muslim juga karena Islam agama yang sempurna. Termasuk memiliki visi dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu orang saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.
Maka syariah Islam sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduksikan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk menjadikannya produktif atau menanaminya. Berikutnya tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).
Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Sebelumnya, negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, riba, monopoli, dan penipuan. Berikutnya tidak membiarkan adanya intervensi harga, sepanjang naik turunnya harga terjadi karena kekuatan permintaan dan penawaran yang murni, bukan karena pasar terdistorsi.
Dalilnya sebagaimana tersurat dalam hadis Nabi berikut,“ Sesungguhnya Allah SWT Dzat Yang Maha Menetapkan harga, dan Yang Maha Memberikan rezeki. Aku sangat berharap bisa bertemu Allah SWT tanpa seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan tuduhan kezaliman dalam darah dan harta”. (HR. Abu Dawud).
Demikianlah sebagian gambaran syariah Islam memberikan solusi pada masalah pangan. Sempurnanya konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin ketika diterapkan secara kafah oleh negara. Semua itu semata meneladani apa yang dicontohkan Rasulullah saw. dan para sahabat yang diridhoi Allah Swt.
Wallahu ‘alam.
Komentar