Tamu Allah yang Terabaikan
Idul Adha baru saja berlalu, rombongan jamaah haji asal Indonesia pun sudah ada yang kembali ke tanah air dengan selamat. Namun, ternyata, pelayanan haji tahun ini menyisakan banyak persoalan.
Viral di media keluhan jamaah haji khusus yang tiap orangnya sudah membayar Rp500-700 juta, ternyata mengalami banyak masalah di pelayanan tak beda dengan jamaah haji reguler, tidak hanya masalah tenda dan mampetnya kamar mandi, jamaah haji khusus juga mendapatkan makanan tidak tepat waktu layaknya jamaah haji reguler.
Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU yang juga Guru Besar Universitas Indonesia, Mahmud Syalout menyebut, banyak jamaah haji khusus tidur di luar lantaran satu tenda berisi 60-90 orang. Bahkan tidak ada penghalang antara laki-laki dan perempuan.
Jamaah Haji Khusus adalah jamaah haji yang penyelenggaraannya berbeda dengan haji reguler, hal ini berdasarkan UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Pasal 1. Pada 2023 ini, yang mengelola Jamaah Haji Khusus adalah Dhuyuful-Bayt yang juga mengelola permaktaban jamaah haji asal Turki (idxchannel.com, 5/7/2023). Sungguh sangat disayangkan. Padahal haji adalah kegiatan ibadah tahunan rutin, semestinya sudah bisa diprediksi dari sisi teknis dan dianggarkan dari sisi biaya.
Bagaimana dengan jamaah haji reguler? Tak ada beda, sama-sama mengeluhkan jatah makanan yang berulang kali terlambat didistribusikan, menu makanan yang “seadanya”, serta sempat terlantar selama tujuh jam tanpa makan dan minum akibat keterlambatan bis penjemputan. Keluhan para jemaah haji itu muncul ketika mereka melakukan ritual puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armina).
Pemerintah pun diminta mengevaluasi operator penyedia konsumsi, akomodasi, dan transportasi bagi jemaah haji asal Indonesia (BBC.com, 1/7/2023). Soal keterlambatan distribusi, Kementerian Agama menyatakan telah melayangkan “protes keras” terhadap mashariq soal masalah makanan jemaah haji yang tidak terdistribusi dengan baik.
Mashariq, yang merupakan singkatan dari Motawif Pilgrims for Southeast Asian Countries Co, merupakan perusahaan penyedia layanan konsumsi, akomodasi dan transportasi bagi jemaah asal Asia Tenggara.
Mashariq bekerja sama dengan pemerintah Arab Saudi dan pemerintah negara asal jemaah haji. Mashariq kemudian akan menunjuk subkontraktor untuk menjadi operator penyedia layanan, termasuk layanan catering.
Pelayanan Berbasis Bisnis to Bisnis
Haji adalah ibadah ritual kamu Muslim, tak akan berhenti penyelenggaraannya hingga akhir zaman. Tentunya ironi jika sejak ditetapkannya dalam syariat sejak Nabi Ibrahim dan tidak dinazak (dihapus) untuk Nabi Muhammad penyelenggaraannya bukan bertambah baik. Padahal teknologi semakin canggih, memudahkan banyak hal sejak transportasi, pengurusan visa, pengurusan makan, penginapan dan semua yang berhubungan dengan kepentingan jamaah.
Masalah sebetulnya sudah ada sejak penetapan ongkos naik haji yang tinggi dan juga daftar tunggu yang panjang. Indonesia sebagai negara di Asia Tenggara yang paling banyak jumlah quota hajinya, daftar tunggunya hingga 20-40 tahun. Maka bisa kita lihat, betapa rentanya jemaah haji kita. Padahal, ibadah haji selain dituntut untuk mampu secara finansial juga mampu secara fisik.
Dengan banyaknya jamaah haji yang berusia lanjut, memunculkan kesulitan tersendiri, selain mudah sakit karena kelelahan, pikun, dan lamban. Nyatanya pemerintah hingga hari ini tak terlalu memikirkan hal itu, terbukti tak banyak perubahan yang terjadi. Kecuali penetapan kenaikan harga tahun lalu.
Perlu ada mitigasi agar ke depan tidak terulang lagi, namun akankah ada perubahan jika mindset penguasa baik di Indonesia maupun di Arab Saudi adalah bisnis to bisnis? Haji adalah momentum besar bagi para kapitalis meraup keuntungan. Berbagai aspek bisa memunculkan cuan, terbukti dengan adanya pihak ketiga yang ikut menjadi penyelenggara, sehingga terjadi “ Miss komunikasi” terhadap pelayanan dan korbannya jamaah haji.
Islam Memudahkan Penyelenggaraan Ibadah Haji
Bagaimana pengaturan dalam Islam? Islam menghormati Jemaah haji dan memberikan pelayanan terbaik karena mereka adalah tamu Allah
Pengelolaan dana haji harus dijaga agar sesuai peruntukannya dan aman dari tindak penyalahgunaan. Penyelenggaraan ibadah ini pun akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Rasulullah bersabda,”Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Fungsi negara adalah pelayan umat, pemimpin sebuah negara wajib menjamin terpenuhinya setiap kebutuhan rakyat individu per individu. Termasuk haji. Sebagai penerapan rukun Islam ke-5.
Maka, karena sudah menjadi mafhum mina Al-Din ( sesuatu yang sangat lazim dalam agama) tak heran spirit haji sangat kental dari sejak Indonesia masih berupa kesatuan pulau Nusantara. Banyak dari kaum Muslim di dunia termasuk di Nusantara, yang berlomba-lomba mewakafkan hartanya untuk kemudahan haji dan jamaahnya.
Sejarawan dan Director Film Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN ) Nicko Pandawa menceritakan, di Kesultanan Aceh ada beberapa orang kaya dari kesultanan. Karena saking kayanya, mereka mewakafkan sebuah tanah dan bangunan di Mekah, khusus untuk jemaah haji yang berasal dari Kesultanan Aceh.
Niko menceritakan, ada seorang yang namanya Habib Bugak Al-asyi. Dia itu ketika datang ke Mekah, dia mewakafkan sebidang tanah yang sangat luas berikut bangunannya yang kemudian dia sebagai wakil disaksikan para ulama Mekah dan pejabat Utsmaniyah. Di situ dia mengatakan bahwa, “Bangunan ini saya wakafkan untuk jemaah haji yang berasal dari Kesultanan Aceh, apabila tidak ada maka dari Kepulauan Jawi pada umumnya, apabila masih belum ada, maka dari orang-orang yang ber manhaj Syafi’i, apabila tidak ada juga untuk seluruh kaum Muslim pada umumnya.”
Begitulah tercatat dalam sejarah bagaimana fokus pemimpin dalam khilafah memudahkan haji dan jamaahnya. Sebagaimana yang dilakukan Khalifah Abdul Hamid II yang membangun jalur kereta api yang menghubungkan Damaskus, Suriah sampai ke Madinah yang dikenal sebagai Hejaz Railway pada tahun 1900 an. Hal ini jelas memudahkan perjalanan haji yang biasanya ditempuh selama dua bulan dengan unta, bisa memangkas hanya menjadi beberapa hari dan ongkos lebih murah. Mengingat haji juga adalah semangat persatuan, maka dengan alasan ini pula pemerintahan Islam sangat fokus memfasilitasi rakyatnya dengan kemudahan-kemudahan.
Dalil Alquran juga menyebutkan delapan asnaf yang berhak menerima harta zakat, “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (TQS al-Hasyr:7).
Ibnu Sabil bisa jadi juga para jamaah haji yang terputus perjalanannya karena kehabisan dana, maka dari kas Baitulmal pos pendapatan zakat bisa memberinya bantuan, hingga bisa kembali ke negara atau wilayahnya. Umar bin Khattab juga memerintahkan untuk membangun Darul ad-Daqiq ( rumah daging) yang berisi makanan pokok dan berbagai kebutuhan bagi siapa saja yang kekurangan.
Haji adalah pemersatu umat, manifestasi persatuan umat yang disatukan oleh satu akidah. Beribadah yang sama dengan tatacara yang sama. Harapannya, semangat persatuan di tanah suci mampu merasuki jamaah hingga mereka bawa pulang ke wilayah masing-masing. Sehingga kaum Muslim dimana pun berada, tidak merasa beda dengan saudaranya di belahan bumi yang lain. Tak ada sekat nasionalisme ala hari ini yang membatasi kaum Muslim. Sungguh mengenaskan.
Perhatian dan fokus penguasa pada periayaan umat khususnya jamaah haji hanya bisa terwujud jika syariat Islam yang menjadi dasar pengaturan urusan publik. Sebab landasannya adalah takwa dan iman. Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan haq dan menunaikan amanah itu yang menjadi kewajibannya” (HR Muslim).
Alam demokrasi, sama sekali tak bisa menjadikan ibadah haji sebagai bentuk kekuatan politik, sebab asasnya adalah sekuler, pemisahan agama dari negara. Fokusnya hanya pada manfaat materi dan kebebasan ekonomi. Tidakkah menjadi panggilan bagi kaum Muslim untuk mulai bergerak bersatu? Wallahu a’lam bish showab.
Komentar