Mahalnya Rasa Aman, Mungkinkah Hidup Tenang?

Kasus penculikan anak yang kembali marak membuat resah masyarakat, terlebih anak yang diculik dipaksa ngemis, menjadi korban hasrat seksual, hingga organ tubuhnya dijual. Dilansir dari tirto.id, 4 Februari 2023, sejumlah pemerintah daerah (pemda) seperti di Semarang, Blora, hingga Mojokerto pun sampai mengeluarkan surat soal isu pencegahan penculikan anak beberapa waktu terakhir. Namun alih-alih menangani, polisi di sejumlah daerah justru menyatakan kasus penculikan anak itu hoaks.

Hari ini memang semakin sulit membedakan antara hoax dan fakta, sebab hoax pun bisa bernilai uang bagi beberapa orang. Namun, dengan meratanya wilayah yang terjadi kasus penculikan, mungkinkah masih bisa dikatakan hoax? Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra mengatakan, meski polisi menyatakan hal tersebut hoaks, alangkah baiknya masyarakat agar tetap mawas diri.

Anak adalah anggota masyarakat yang lemah, sehingga rentan menjadi korban tindakan kriminal, Jasra menjelaskan terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya penculikan anak. Salah satunya, anak tidak bisa membela dirinya sendiri karena mereka adalah generasi peniru, sehingga haus akan figur yang bisa memenuhi kebutuhannya. Kemudian lemahnya pengawasan orangtua yang tidak bisa mengawasi anaknya selama 24 jam. Begitu juga ketika anak semakin besar, semakin berkurang akan kebutuhan kepada orang tua. Sehingga anak sering tidak melibatkan orang tua dalam keputusan-keputusan yang diambil. Seperti keluar rumah dengan tidak pamit, menyembunyikan perilaku rentan, dan peristiwa yang berdampak hukum.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) pada 2022, angka kasus penculikan anak mencapai 28 kejadian sepanjang tahun tersebut. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 15 kejadian. Sekretaris Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Putri Aisyiyah Rachma Dewi mengatakan ada banyak faktor mengapa anak sering menjadi korban penculikan.

Penerapan Sistem Sekulerisme Biang Maraknya Tindak Kriminal

Anak adalah generasi penerus bangsa, maka tumbuh kembangnya, demikian pula visi misi hidupnya harus terarah dan terjamin. Usia anak semestinya adalah usia belajar yang strategis untuk pembentukan kepribadian tangguh dan takwa. Namun, dengan banyaknya gangguan di jalan perkembangan mereka saat ini, terasa berat beban mewujudkan generasi ideal impian.

Sebab, sebenarnya ada banyak faktor yang menjadi penyebab maraknya penculikan anak, mulai dari faktor ekonomi hingga lemahnya pengawasan orang tua, termasuk rendahnya jaminan keamanan di negara ini. Keamanan adalah kebutuhan komunal yang wajib diwujudkan oleh negara, terlebih untuk anak yang merupakan golongan yang rentan. Namun hal ini masih belum menjadi prioritas negara. Abainya negara atas keselamatan rakyatnya adalah salah satu bukti lemahnya negara sebagai junnah atau pelindung rakyat. Bahkan keamanan menjadi salah satu obyek kapitalisasi, sehingga tidak semua rakyat mendapat jaminan keamanan dan perrlindungan.

Dan sebenarnya, penyebab utamanya adalah dari aspek ekonomi. Ketiadaan sejahtera bagi setiap individu masyarakat telah menimbulkan efek domino, merembet ke aspek yang lebih luas. Sekulerisme yang menjadi ruh setiap aturan penguasa hari inilah pangkal persoalan maraknya kriminal, sekulerisme adalah memisahkan agama dari urusan dunia, dalam aspek ekonomi dikenal dengan sistem kapitalisme. Prinsip kapitalisme adalah kebebasan memiliki, asalkan mempunyai modal entah halal atau haram maka individupun bisa menguasai harta orang banyak.

Sifat dari harta milik orang banyak salah satunya adalah jika rakyat kesulitan mengakses maka akan timbul perselisihan. Contoh : harga minyak goreng yang mahal dan langka, padahal setiap rumah tangga maupun rumah produksi membutuhkannya, namun alih-alih pemerintah menghilangkan kartel penimbunnya, malah mengeluarkan aturan wajib menggunakan KTP ketika hendak membeli, dan setiap KK hanya boleh beli untuk kepentingan rumah tangga, bukan untuk dijual lagi. Apa akibatnya? Rakyat kesulitan, belum lagi dengan kebutuhan pokok yang lain seperti listrik, air, BBM, daging dan lainnya.

Sekuat tenaga apapun rakyat berusaha bekerja, tetap saja ada individu yang lemah dan kalah, ditambah dengan gelombang pengangguran akibat PHK massal, membuat keluarga bertambah susah, ayah bingung ibu akhirnya ikut membantu, padahal, kewajiban ibu bukan mencari nafkah, namun menjadi pendidik anak-anak dan pengatur rumah tangga suaminya. Dengan kapitalisme tercerabutlah peran strategis ibu. Ketika ibu tak lagi ada di rumah, ketrampilan dan pendidikan tak memadai, apa yang terpikirkan? Bisa jadi perbuatan nekad. Berlanjut ke tindak kriminal, apa lacur, urusan perut tak mungkin diajak kompromi. Disinilah peran negara sangat dibutuhkan.

Islam Jaminan Keamanan Anak

Islam menjadikan keamanan sebagai kebutuhan komunal yang wajib dijamin oleh negara. Oleh karena itu, Islam menjadikan keselamatan semua individu menjadi salah satu hal utama yang harus diwujudkan oleh negara

Keamanan adalah kebutuhan komunal yang wajib diwujudkan oleh negara, terlebih untuk anak yang merupakan golongan yang rentan. Namun hal ini masih belum menjadi prioritas negara. Abainya negara atas keselamatan rakyatnya adalah salah satu bukti lemahnya negara sebagai junnah atau pelindung rakyat. Bahkan keamanan menjadi salah satu obyek kapitalisasi, sehingga tidak semua rakyat mendapat jaminan keamanan dan perrlindungan. Sudah bukan rahasia, jika mereka yang memiliki jabatan, kekuasaan ataupun uang banyak bisa membeli keamanan. Hukum bisa dipermainkan sesuka hati.

Negara wajib mewujudkan keamanan berikut kesejahteraan anak, dari mulai pendidikannya, kesehatan, lingkungan yang baik serta keamanan. Maka, negara akan menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyat tanpa tapi ataupun pembedaan kelas. Semua dilayani dengan optimal dan grade terbaik yang bisa diadakan oleh negara. Hal ini sesuai sabda Rasulullah Saw, ” Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Negara pun wajib mengawasi media sosial, konten yang bertentangan dengan syariat karena menstimulasi pemikiran keji yang bersifat merusak akal maka akan dipaksa untuk berhenti dan pemiliknya akan diberi hukuman ta’zir. Dimana bentuk dan nilainya bergantung pada pendapat Khalifah. Anak adalah aset negara, maka samasekali pemikirannya tidak boleh teracuni dengan ide-ide unfaedah yang biasanya justru dikapitalisasi oleh sistem hari ini.

Demikian pula dengan sistem ekonomi, negara, yang menerapkan syariat Islam akan melarang praktik-praktik muamalah yang bertentangan dengan syariat, terlebih dalam pengadaan lapangan pekerjaan. Negara memiliki dua mekanisme yaitu langsung dan tidak langsung, langsung adalah jika negara memberi bantuan langsung pada rakyat, menambah pasokan bahan kebutuhan pokok jika di suatu negeri di wilayah khilafah dalam keadaan minus, sehingga tidak mempengaruhi harga pasar, sehingga pedagang dan pembeli tetap mendapatkan harga dan barang terbaik tanpa was-was ada praktik penipuan, licik dan lain sebagainya.

Tidak langsung adalah dengan membuka lapangan pekerjaan, memberikan modal, baik bergerak maupun tidak kepada rakyat sesuai minat mereka apakah di pertanian, nelayan , pedagang dan lain sebagainya. Jaminan inilah yang tidak didapatkan rakyat hari ini. Maka tidak ada jalan lain kecuali mengembalikan pengaturan urusan masyarakat ini kepada Islam. Syariat Kaffahnya akan mewujudkan kesejahteraan dan keamanan yang tak ada bandingnya hingga hari ini. Wallahu a’lam bish showab.

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *