Menyoal KCJB, Janji Tinggal Janji?

Tak banyak yang tahu, belum lama ini biaya pembengkakan Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau KCJB telah disepakati pihak-pihak yang terkait. Wakil Menteri BUMN II mengungkap, kenaikan biaya yang disepakati dengan pemerintah Cina sebesar US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 18,2 triliun dengan kurs Rp 15.212 per US$ (katadata.co.id, 17/2/2023).

Di tengah krisis multi dimensi yang membelit negeri, di antaranya stunting, kemiskinan, mahalnya biaya kuliah, kesehatan dan sebagainya, nominal di atas tentu tergolong fantastis. Apalagi jika bengkaknya biaya digadang-gadang bakal ditambal dengan utang, hanya akan menambah berat  beban yang dipikul rakyat pasca terpuruk imbas pandemi.

Masih dari laman berita yang disebut sebelumnya, pembangunan kereta cepat ini sejatinya telah melenceng dari kesepakatan awal, yaitu Cina menjanjikan untuk proyek ini tidak akan menggunakan APBN. Namun apa daya, pembengkakan ongkos pembuatan jalur rel kereta cepat membuat pemerintah Indonesia akhirnya mengucurkan dana APBN melalui Penyertaan Modal Negara atau PMN yang  diberikan pada PT Kereta Api Indonesia sebesar Rp 3,2 triliun. Sesuai Perpres 93 Tahun 2021, KAI ditunjuk sebagai pimpinan konsorsium BUMN proyek KCJB. Sejak itulah BUMN yang bergerak di sektor transportasi kereta secara resmi menanggung pembiayaan proyek tersebut berikut konsekuensi yang hadir kemudian, termasuk ketika  biaya produksi membengkak lalu  membuka peluang menambah utang baru untuk mengatasinya. Info terakhir, Indonesia harus terbebani sekitar US$597 juta lagi hingga proyek diprediksi bisa selesai. Dikabarkan pemerintah tengah berusaha mencari utangan kepada China Development Bank (cnbcindonesia.com, 16/2/2023).

Duh, lagi-lagi kata sakti yang terdiri dari lima huruf itu disebut. Padahal UTANG, selalu berkorelasi negatif dengan kesejahteraan rakyat. Logika sederhananya, bila negara berutang, siapa yang diharapkan bisa membayarnya? Terlebih dalam kerangka ideologi kapitalisme yang kental penerapannya saat ini, negara berlepas diri dari mengurusi urusan rakyat. 

Bagaikan pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga, hidup susah payah terbebani utang pula. Daya tahan masyarakat yang belum pulih sempurna masih harus dihadapkan kembali dengan beban membayar utang negara yang nominalnya disertai belasan angka nol berderet di belakangnya. Sementara kebutuhan rakyat akan adanya jalur kereta api cepat yang menghubungkan Jakarta dan Bandung juga banyak menuai pro dan kontra hingga saat ini. Pasalnya, jalur kereta yang sudah sejak lama beroperasi ditambah alternatif yang menggunakan moda transportasi bus dinilai publik masih cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Hal ini jelas memantik tanya, lalu untuk siapa kereta tersebut nantinya? 

Baiklah, mari menjenguk lebih dalam ke akar masalah. Tak bisa dipungkiri semrawutnya tata kelola transportasi, utamanya  fasilitas infrastrukturnya  merupakan buah dari tegaknya kapitalisme. Watak asli ideologi ini semakin nyata berupa lepas tangannya negara dari pengurusan kemaslahatan rakyatnya.  Bukan rahasia lagi bahwa dalam penerapan sistem kapitalisme, alih-alih sebagai regulator,  negara difungsikan sebatas fasilitator.  Tak heran jika untuk penyediaan kereta api yang notabene fasilitas umum berupa transportasi massal juga diserahkan pada swasta.  Lantas ke mana rakyat harus mengadu sekiranya terjadi kelalaian? Ke pemerintah atau swasta? Ruwet!

Jujur saja, masalah yang dihadapi oleh negeri-negeri  dunia ketiga, termasuk Indonesia, dalam pembangunannya yang banyak diwarnai pinjaman luar negeri atau investasi, diakibatkan pilihan sistem ekonomi yang salah, bahkan merusak. Buktinya, dengan seluruh kekayaan sumber daya alam maupun manusia yang dimiliki, namun untuk pembangunan, baik  infrastruktur maupun sarana dan prasarana umum malah diserahkan kepada para investor, baik asing maupun domestik dalam bentuk tender alias proyek. Aneh tapi itulah kenyataannya.

Bandingkan dengan kebijakan dalam sistem Islam.  Selain mengurai persoalan hidup di dunia juga berdimensi akhirat.  Ada muatan pahala dan dosa di dalamnya.  Eksesnya sudah tentu hingga di akhirat, jatuh ke neraka atau bergelimang kenikmatan di dunia, keduanya merupakan pilihan sesuai amal perbuatan di dunia. Sudah pasti tak ada yang ingin secara sadar memutuskan neraka sebagai tempat kembalinya yang kekal kelak, terlebih bila mengetahui betapa pedih azab Allah Swt. bagi mereka yang berpaling dari syariat-Nya.

Wajar, sebab Islam agama yang sempurna. Diturunkan oleh Dzat yang Maha Segalanya. Kiranya manusia yang beriman jadi tak perlu lagi  berpikir keras guna membuat aturan sendiri. Salah satunya terdapat dalam syariat Islam yang mengatur masalah ekonomi, misalnya. Islam menetapkan jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan , termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat.

Dengan sendirinya, negara akan mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelenggaraan negara. Termasuk memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyatnya, baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pada saat yang sama, ekonomi negara tumbuh dengan sehat, karena produktivitas individu yang terjaga.

Dengan begitu, ketika negara mengalami situasi di mana harus membangun infrastruktur berikut sarana dan prasarana, maka negara lebih leluasa membuat kebijakan. Pada saat yang sama, kebijakan itu tidak akan membebani rakyatnya. Negara akan sedapat mungkin membangun infrastruktur dengan dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Apakah itu mungkin? Tentu, sangat mungkin. Dengan kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara, ditambah kekayaan milik negara, maka tidak ada yang tidak mungkin. Ini sudah dibuktikan dalam sejarah negara khilafah di masa lalu, baik di zaman Khulafa’ Rasyidin, Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Utsmaniyyah.

Contoh mutakhir yang sempat terekam dalam sejarah adalah proyek pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam hingga Istanbul.  Proyek ini dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II hanya dalam waktu 2 tahun. Jejaknya hingga saat ini masih bisa ditemui di Madinah.

Demikianlah, negara tetap mengambil peran penuh dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap warga tanpa kecuali.  Semoga dengan peristiwa ini semakin mencerahkan seluruh umat akan penerapan Islam kafah yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Ini janji Allah, mutlak adanya. Wallahua’lam.

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *