Solusi Sistemik untuk Papua

 

 

 

Pemerintah telah berjanji akan menggunakan pendekatan yang lebih humanis terhadap penanganan masalah-masalah di Papua, sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Mualimin Abdi. Sejalan dengan itu, jutaan penduduk di ujung timur Indonesia ini, memang benar-benar merindukan perubahan hakiki.

 

Apalagi bisa kita saksikan berbagai masalah masih saja muncul, seolah tak terkendali. Baik yang datang dari penduduk asli, pendatang, atau bentrokan di antara keduanya. Kelompok bersenjata masih selalu dituding sebagai aktor utama berbagai kerusuhan yang terjadi di Papua. Bahkan pada tahun 2022, KKB telah membunuh 12 orang, kurang dari 3 bulan.

 

Meski Menhan pernah menyatakan bahwa KKB adalah sekelompok separatis yang mengancam negara, namun para penegak keamanan belum mampu memberantas kelompok ini. Sedangkan korban telah berjatuhan akibat ulah mereka, seperti baru-baru ini Serka IDW, terkena luka tembak saat melakukan patroli, oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). (Jawapos.com, 13/11/2022)

 

Kerusuhan antara penduduk asli dan pendatang pun menambah panjang daftar masalah di Papua. Terbaru pada Sabtu (12/11) sore dan malam hari di Kabupaten Dogiyai, Papua Tengah, warga membakar rumah, kendaraan dan 6 kantor. Hal ini diawali dari kematian seorang bocah 6 tahun karena terlindas truk. Kecelakaan yang tak disengaja itu memicu kemarahan mereka. (DetikSulsel, 13/11/2022)

 

Seluruh peristiwa mengerikan ini berkelindan silih berganti, di Bumi Cendrawasih. Janji pendekatan humanis masih belum terbukti ampuh mengatasi masalah. Kaki terdorong badan merasa, lidah terdorong emas padahannya, segala janji harus ditepati. Apakah benar pendekatan model ini bisa menuntaskan persoalan masyarakat Papua, atau bisa jadi Papua butuh solusi yang lebih jitu.

 

Sebab akar masalahnya adalah adanya ketimpangan kesejahteraan, ketidakadilan, keamanan dan lain sebagainya. Selama belum ada solusi mengakar untuk mengatasi masalah tersebut, selama itu pula Papua berkubang dalam derita.

 

Kemiskinan Tertinggi

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan di Papua mencapai 26,86% atau 920 ribu jiwa dari total penduduk. Tingkat kemiskinan di Papua masih jadi yang tertinggi di Indonesia per-Maret 2021. Artinya, lebih dari seperempat penduduk di Bumi Cenderawasih hidup di bawah garis kemiskinan.

 

Padahal, provinsi yang terletak di ujung timur Indonesia ini terkenal kaya akan sumber daya mineral logam seperti tembaga, emas, dan perak. Sumber daya alam hayati pun tak kalah bagusnya, baik itu pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, air, dan lain sebagainya. Melihat hal itu, mestinya masyarakat Papua tidak lagi mengalami kesulitan hidup.

 

Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, sampai saat ini masih terjadi diskriminasi dan rasisme di Papua. Pembangunan yang ada pun tidak dapat dinikmati seluruh rakyat, sehingga belum mengangkat kesejahteraan orang asli Papua. Tak pelak hal ini memicu konflik di sana-sini. Persatuan menjadi sulit ditegakkan.

 

Bahkan bisa jadi ada pihak tertentu yang memelihara konflik, untuk mengambil keuntungan dari kerusuhan yang berkepanjangan. Inilah salah satu wajah buruk penerapan demokrasi. Para kapital menangguk untung besar dari kekayaan alam, sementara rakyat berjibaku memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari meski harus bertaruh nyawa.

 

Solusi Islam

Berbeda dengan Islam. Ia menjadi pondasi tegaknya sebuah sistem kehidupan. Masalah kemiskinan yang mendera Papua, tidak akan terjadi selama kekayaan alam diatur dengan Islam. Para kapital akan gigit jari karena tidak mendapat kesempatan menguasainya, sebab kekayaan alam adalah milik umat, maka rakyatlah yang berhak seluas-luasnya menikmati hasilnya.

 

Pengelolaan milik umum akan didistribusikan pada rakyat baik dalam bentuk jaminan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Juga berupa, sarana lainnya seperti air, listrik, perumahan dan lainnya. Jika hari ini masyarakat Papua belum merasakan kemudahan pemenuhan kebutuhan dasarnya, karena memang hasil pengelolaan alamnya tidak tepat sasaran, yakni tidak dialokasikan bagi urusan rakyat.

 

Islam juga akan menutup investasi asing yang bisa menjadi pintu masuk penjajahan. Sebab melalui hal ini, aspek vital sebuah wilayah akan dikuasai oleh asing, dan ini sangat berbahaya. Islam akan mengembalikan seluruh aset umat kepada masyarakat.

 

Privatisasi aset umum dan negara, haram hukumnya. Sebab kepemilikan terhadap aset ini telah ditetapkan Allah, yaitu kepemilikan umum sebagai hak umum, dan kepemilikan negara sebagai hak negara. Kepemilikan ini tidak berubah kecuali atas izin yang diberikan asy-Syari’. Maka perlu perubahan sistemik dari sekularisme yang menegasikan peran Allah sebagai al-Mudabbir atau pengatur, kepada Islam.

 

Kesejahteraan menjadi suatu hal yang wajib diberikan oleh negara, maka haram hukumnya melanggar kehormatan, harta, nyawa dan hak warga. Karenanya dalam konsep Islam, tidak akan pernah terjadi konflik yang dipelihara. Justru hak manusia dijaga, serta persoalan dituntaskan.

 

Islam menghapus peluang terjadinya konflik dengan mengembalikan permasalahan kepada hukum Allah. Oleh karenanya, Islam menjadi satu-satunya harapan perubahan bagi masyarakat Papua dan masyarakat manapun yang menginginkan solusi hakiki. Tsumma takuunu khilafatan ala minhajin nubuwwah

 

 

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *