Balada Mencari Pemimpin yang Baik

Dilansir dari Investor.id, Presiden Joko Widodo menegaskan ciri-ciri pemimpin yang serius memikirkan rakyat umumnya punya kerutan di wajah dan rambut putih semua. Hal itu ditegaskan Jokowi ketika menghadiri pertemuan dengan ribuan relawan bertajuk Nusantara Bersatu di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu (26/11/2022).

Sebelumnya, Ketua Panitia Nusantara Bersatu Aminuddin Maruf mengungkapkan bahwa kegiatan Nusantara Bersatu ini salah satunya juga merupakan bentuk rasa syukur atas keberhasilan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali yang berjalan sukses pada 15-16 November 2022. “Kegiatan ini adalah rasa syukur dan bahagia kami sebagai masyarakat Indonesia dan seluruh masyakat Indonesia saya rasa berbahagia atas perhelatan G-20 yang menuai decak kagum seluruh pimpinan bangsa di dunia,” kata Aminudin.

Terkait pernyataan Presiden Joko Widodo, pengamat politik Yunarto Wijaya mengungkapkan, berdasarkan analisisnya ciri-ciri yang disebutkan mengarah kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo (Beritasatu.com, 26/11/2022). Sekaligus pernyataan tersebut merupakan kode yang terus terang sebagai dukungannya untuk Pilpres 2024 sebagai lanjutan dari kode yang pernah dibuat Jokowi di rapat kerja nasional (rakernas) pro Jokowi.

Indonesia mencari pemimpin. Hingga ciri fisik mengemuka yang kemudian diklaim sebagai salah satu tanda pemimpin yang mikir rakyat. Nitizen kemudian berkomentar, bagaiamana dengan rambut presiden sendiri yang hingga hampir habis masa jabatannya masih menghitam rambutnya? Apakah itu berarti beliau tidak pernah memikirkan rakyat?

Sungguh, kode keras ini menunjukkan kerasnya persaingan antar partai memilih calon presiden dari kubu mereka, intinya ingin rakyat tahu lebih awal siapa yang layak menjadi pemimpin. Apalagi dikaitkan dengan jargon pemimpin masa depan, maka tidak boleh salah pilih. Jika kemudian keadaan masyarakat Indonesia tetap dalam keadaan tak sejahtera apakah itu karena ada kesalahan memilih pemimpin?

Seorang pemimpin yang baik juga bukan sekadar punya trek berpolitik yang baik, tenar, berpengaruh, memiliki banyak link dan sebagainya sebagaimana tren hari ini. Namun juga memiliki ketakwaan sehingga ia memandang kekuasaan bukan sekadar jalan meraih keuntungan materi dan lainnya. Melainkan sebagai amanah sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Politik demokrasi sedemikian manis, membungkus kecacatan demokrasi dengan mengemas demokrasi layak menjadi cara satu-satunya memilih pemimpin. Hingga tidak nampak jelas keburukan demokrasi, padahal krusial dan haram untuk diterapkan. Yaitu bahwa demokrasi tidak menerapkan hukum Allah, setiap kali mengusung sosok pemimpin baru, mereka jelas-jelas tidak menyebutkan akan memimpin Indonesia dengan syariat.

Ya, pemilu dalam sistem demokrasi tidak hanya memilih presiden dan wakil presiden tapi juga wakil rakyat yang bakal duduk di parlemen. Dalam sistem demokrasi, fungsi parlemen adalah yudikatif atau pembuat hukum. Sebaliknya dalam Islam diyakini hanya Allah SWT satu-satunya yang berhak membuat hukum. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, “Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS Yusuf :40).

Disinilah letak kebatilan demokrasi, membuat hukum diserahkan kepada manusia, padahal manusia makhluk lemah dan terbatas. Pasti akan menimbulkan pertentangan dan perselisihan. Ujungnya tidak akan tercipta keadilan dan kesejahteraan.

Islam menjelaskan bahwa seorang pemimpin tak hanya dilihat dari ciri fisiknya, sebab jika demikian maka akan terjadi ketimpangan atau malah jatuhnya menjadi mudharat untuk rakyat. Ada 7 syarat in’iqod ( sahnya) seseorang bisa menjadi pemimpin , yaitu Islam, merdeka, baligh, pria, tidak gila, adil serta memiliki kemampuan mengemban tugas sebagai pemimpin . Syarat ini lebih menunjukkan keterbukaan bursa pemimpin yang benar-benar melihat hanya pada kualitas dan amanah.

Maka, tidak peduli berasal dari suku apa, budaya, bahasa, warna kulit , mata dan lainnya asalkan ia memenuhi kriteria 7 syarat in’iqad ia boleh mencalonkan diri sebagai pemimpin. Mengapa salah satu syaratnya harus Islam? Sebab hanya Islam yang memiliki konsep yang baku terkait pemerintahan yang adil dan mensejahterakan. Islam juga layak menjadi sebuah ideologi, sebab ia adalah akidah yang terpancar darinya peraturan hidup, dimana hal ini tidak ada dalam agama apapun.

Apakah ini artinya memarginalkan agama lain? Sebab hari ini Indonesia juga disibukkan dengan agenda moderasi beragama, bahkan yang masih hangat usai di gelar acara Multaqa Ulama Alquran Nusantara yang salah satu rekomendasinya adalah merevitalisasi Alquran. Ini pemikiran yang tak berdalil, jika muncul ketidakteraturan hari ini semata karena kaum Muslim sudah semakin jauh meninggalkan Islam.

Kita membutuhkan pemimpin yang selain sesuai syarat In’iqod. Pemimpin yang berani mengatakan akan menerapkan syariat Islam dan mencabut demokrasi. Perkataannya sebagai perwujudan dari kesadaran ia sebagai hamba Allah, yang kelak juga akan dimintai pertanggungjawaban. Lantas, adakah pilihan yang lain bagi kita jika Allah dan RasulNya sudah menetapkan sesuatu? Allah SWT berfirman, “Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata: Kami mendengar, dan kami taat. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An Nur: 51). Wallahu a’lam bish showab.

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *