Wakil Rakyat Mesum Bagaimana Nasib Rakyat?

Suara Netizen Indonesia–Pernah dengar ada yang berkata, ” Yang penting memilih pemimpin atau wakil rakyat, jika mereka berbuat dosa kan mereka yang tanggung, bukan kita rakyatnya”? Sungguh naif, sementara kita sudah dikaruniai Allah SWT akal yang bisa membedakan baik dan buruk. Memilih wakil rakyat atau pemimpin memang bukan perkara siapa orangnya, tapi sebenarnya apa misi visinya juga. Karena lima tahun ke depan merekalah yang mengesahkan kebijakan untuk kita. 

 

Jika kebijakan itu salah maka jelas berpotensi merugikan rakyat satu Indonesia, bukankah kita bisa mencegah sebelumnya jika kita paham essensi memilih pemimpin?  Sehingga tidak ada alasan seperti memilih kucing dalam karung. 

 

Namun, kita harus sadar kita masih hidup di alam demokrasi. Memilih pemimpin tak penting orang atau apa visi misinya, melainkan mudahkah ia berkolaborasi dengan beberapa pihak yang di tangannya ada berbagai kepentingan? Bisakah ia menjadi boneka rezim yang siap melanggengkan kekuasaan zalim? Dan apakah ia bisa terus menjaga kondusifitas berbagai kepentingan antara rakyat, penguasa dan pengusaha?

 

Kita sudah melihat banyak bukti, mereka yang memiliki latar belakang kriminal bisa menjadi kepala daerah, pejabat hingga anggota parlemen. Untuk jabatan terakhir artinya ia menjadi perwakilan rakyat dalam pemerintahan, menyuarakan dan mengoreksi penguasa jika ada penyimpangan.

 

Pertanyaannya relakan kita terwakilkan oleh orang mesum? Rakyat saja untuk melamar pekerjaan atau mendaftar kuliah harus melampirkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) lantas mengapa para pejabat dan wakil rakyat tidak? 

 

Pelantikan anggota DPRD Kabupaten Singkawang, Kalimantan Barat usai dilakukan, menyisakan cerita miris, pasalnya meloloskan HA seorang politikus PKS untuk menjadi legislator periode 2024-2029. Padahal track record HA masih tersangka kasus kekerasan seksual anak di bawah umur. Mengetahui fakta ini, Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin berjanji akan akan mengecek kebenaran berita ini (republika.co.id, 20-9-2024).

 

Sementara Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh meminta untuk dilakukan penangguhan jabatan HA sebagai anggota DPRD sampai proses hukumnya selesai. Kasus yang menjerat tersangka HA bukan permasalahan ringan dan menyangkut kredibilitas lembaga legislatif.

 

DPRD Kabupaten Singkawang menurut Pangeran  bisa memproses HA dari sisi kode etik mengingat yang bersangkutan saat ini sudah dilantik menjadi anggota dewan. Apabila ditemukan adanya penyalahgunaan kewenangan atau manipulasi informasi maka tindakan tegas harus diambil. Apalagi ada bukti HA pernah mangkir dari panggilan polisi dengan alasan sakit yang disertai surat keterangan media. 

 

Dalam kasus itu , HA dikenai Pasal 81 juncto Pasal 82 Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, ditambah sepertiga tahun karena pelaku tokoh masyarakat. H juga dijerat dengan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

 

Hanya Islam Lahirkan Pejabat Negarawan

 

Seorang pejabat tentu adalah orang yang kualifikasi dirinya di atas orang kebanyakan, baik kecakapannya, kemampuannya hingga ketakwaannya. Jelas, jika ia seorang kriminal bahkan ia terlalu sering berpikiran mesum karena terus menerus terpapar informasi atau tayangan berbau pornografi atau pornoaksi tak layak menjadi pemimpin atau mewakili rakyat di pemerintahan. 

 

Secara medis saja menyatakan mereka yang kerap terpapar sebagai sakit mental, syaraf di otaknya banyak yang rusak sehingga ia tidak bisa berpikir benar atau realistis. Bagaimana bisa kemudian ia diberi beban amanah mengurusi rakyat atau setidaknya menjadi penyambung lidah rakyat, mengoreksi penguasa dan meluruskan penguasa yang mulai terlihat menyimpang dari syariat? Ia sendiri sudah rusak. 

 

Demokrasi juga melahirkan pemimpin yang rakus, opportunitis dan sama sekali tak punya hati, sebab biaya menjadi pemimpin atau wakil rakyat sangatlah mahal, inilah yang menjadikan tujuan mereka bergeser begitu kursi kepemimpinan teraih. Rakyat kembali harus gigit jari, sebab selama lima tahun masa jabatannya ia harus putar otak terkait bagaiman bisa balik modal dan lunas utang. Rakyat bukan lagi prioritas.

 

Masih hangat berita, pelantikan anggota parlemen juga memunculkan tradisi gadai Surat Keputusan (SK) pengangkatan para anggota itu agar mendapat pinjaman bank. Mereka yang gagal Nyaleg bahkan mengalami depresi hingga gila. Pinjaman itu  selain untuk bayar utang juga jaga citra sesuai mindset pejabat wajib kaya agar bisa Hedon. Masih hangat pula kasus siswa SMA Binus dibully oleh sekelompok siswa lain yang mengaku ayah mereka memiliki jabatan di negeri ini. 

 

Allah Swt. berfirman, “Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil “(TQS an-Nisa’ [4]: 58).

 

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Pada dasarnya, amanah adalah taklif (syariah Islam) yang harus dijalankan dengan sepenuh hati, dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika ia melaksanakan taklif tersebut maka ia akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Sebaliknya, jika ia melanggar taklif tersebut maka ia akan memperoleh siksa.” (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, III/522). Artinya, apapun amanahnya, lebih lagi jika amanah itu berupa kepemimpinan atau wakalah bagi rakyat. 

 

Dalam sistem demokrasi sangat mustahil terwujud. Itu sama saja dengan kita sengaja menjadikan diri kita sendiri  terjebak masuk lubang biawak jika tidak segera mencabut dan mengganti dengan syariat Islam. Terlebih ini adalah tuntutan akidah, bahwa setiap amal di dunia akan dimintai pertanggungjawaban. Termasuk bagaimana kita memilih wakil rakyat. Satu pemimpin zalim maka rakyat banyak yang menderita. 

 

Dalam Islam, menjadi pemimpin bukan permainan, juga bukan cara menghidupi diri dan keluarga, sebab penguasa tidak digaji, melainkan hanya diberi santunan sesuai kebutuhan. Majelis umat pun sebagai representasi rakyat tidak mengesahkan undang-undang, mereka hanya melakukan muhasabah Lil hukam ( koreksi dan evaluasi), sehingga tidak akan bisa dijadikan celah memperkaya diri sendiri dan juga bukan mereka yang doyan melanggar syara. Wallahualam bissawab. [SNI].

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *