Dahulu Koruptor, Bacaleg Kemudian?

Dunia Terbalik. Anda  ingat? Ini salah satu judul sinetron yang pernah kejar tayang di sebuah stasiun televisi nasional. Genrenya satire namun dikemas dengan kocak. Bercerita tentang apa yang tak lazim bahkan buruk tapi dipandang baik. Sebaliknya, yang seharusnya baik malah dianggap aneh bahkan buruk.

 

Merujuk ke kondisi sekarang, siapa sangka skenario serial di atas semakin lama jadi fenomena biasa. Salah satunya tampak dari sejumlah bakal calon anggota legislatif yang juga mantan terpidana. Termasuk mantan narapidana kasus korupsi dari total 67 orang di antaranya. Angka itu untuk tingkat pusat, belum termasuk skala provinsi maupun kabupaten/kota madya.

 

Luar biasa. Memang benar ada yang dinamakan kesempatan kedua. Tetapi harusnya tak berlaku untuk perbuatan khianat atas amanah sebagai pejabat publik. Sebab tak menutup kemungkinan akan mengulanginya lagi bila ada kesempatan dan rakyat kembali dirugikan. Hal itu dinyatakan setidaknya oleh beberapa lembaga independen yang menaruh perhatian terhadap masalah ini seperti ICW, Perludem dan JPRR (republika.co.id, 28/8/2023).

 

Apa hendak dikata, nasi sudah lama jadi bubur. Harus diakui dalam bangunan demokrasi, korupsi terlanjur menyatu bak ayam dengan telur. Tak bisa lagi dipertanyakan mana yang lebih dulu, mana yang muncul di akhir. Tingginya ongkos politik memaksa para kandidat calon penguasa berkolaborasi dengan oligarki yang siap menyuntikkan dana segar. Belakangan bahkan oligarki sendiri terjun langsung meramaikan pemilihan guna masuk dalam pemerintahan.

 

Di tengah nuansa ambisi dan syahwat kekuasaan, tak heran bila akhirnya etika terabaikan. Nilai-nilai luhur dan rasa keadilan terpinggirkan. Puncaknya, bahkan perkara halal dan haram sudah tak dipikirkan. Toh, aturan agama sejak dulu sudah dipisahkan dari kehidupan bernegara. Sampai di sinilah sekularisme jadi relevan.

 

Sebab hanya di alam sekuler perbuatan khianat bisa menjelma jadi terhormat. Selama ada kepentingan dan fulus yang terlibat, maka semua jabatan membuka peluang untuk diembat. Tak peduli bila untuk semua itu harus merampas hak rakyat untuk hidup sejahtera dan bermartabat.

 

Bila demikian, mudah dipahami mengapa setiap upaya memberantas korupsi tuntas ke akarnya seperti sia-sia. Selama demokrasi dengan pestanya berlaku, maka segala cara untuk memberangus korupsi dan turunannya ibarat pepatah, bagaikan menggantang asap. Demokrasi jelas sudah gagal membasmi korupsi dan membuat jera para pelakunya. Belakangan bahkan ada usulan untuk membubarkan lembaga anti rasuah di negeri ini alias KPK.

 

Dari sini jelas, sudah saatnya mengambil Islam sebagai solusi. Karena syariatnya merupakan pedoman untuk hidup yang diwariskan Baginda Nabi. Mencakup semua sisi kehidupan, bukan hanya salat, zakat, dan haji yang terkait diri. Melainkan Islam juga mengatur soal politik, ekonomi, sosial, keamanan, pendidikan, termasuk mengatasi tindak korupsi.

 

Dalam menangani korupsi, Islam mengedepankan upaya preventif sebelum kuratif. Terlihat dari beberapa poin berikut, Pertama, Islam mewajibkan negara memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, dengan begitu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder hingga tersier mereka. “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).

Kedua, dalam pengangkatan aparaturnya, negara yang menerapkan syariah kafah sudah tentu menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Dengan begitu, mereka memiliki kontrol diri, buah dari kokohnya keimanan.“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR Bukhari).

Ketiga, untuk mengetahui, apakah mereka melakukan korupsi atau tidak, negara juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka Khalifah sebagai kepala negara sesuai tuntunan Islam bisa merampasnya.“Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).

Keempat, syariat menentukan sanksi yang keras bagi para koruptor, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

 

Terlihat nyata, korupsi dalam Islam dipandang sebagai tindak kriminal. Mengutip seorang ulama pendiri Ma’had Syaraful Haramain, KH Hafidz Abdurrahman, beliau menuturkan bahwa begitu seorang dinyatakan sebagai tersangka apalagi narapidana lantaran kejahatan yang dilakukannya, maka sesungguhnya dia telah kehilangan salah satu kriteria yang menjadikannya layak sebagai pejabat, yaitu adil, tidak fasik. Sementara fasik adalah manusia yang melakukan kejahatan dengan terang-terangan, dan tidak mempunyai rasa malu lagi. Apakah fenomena koruptor menjadi Bacaleg masuk kriteria di atas? Silakan Anda menjawabnya sendiri. Wallaahua’lam.

 

 

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *