Kritik Mengemuka, Berujung Hukum Dibelah
Nama Bima Yudho Saputro mendadak viral, setelah seorang pengacara asal Lampung, Ginda Amsori Wayka resmi melaporkan tik toker asal Lampung itu ke Mapolda Lampung. Perkataan Bima dilaporkan terkait ujaran kebencian yang mengatakan Lampung merupakan provinsi dajjal yang asalnya adalah kritikan yang disampaikan Bima terkait dengan infrastruktur jalan di Lampung yang banyak rusak.
Perkembangan selanjutnya, laporan Ginda dihentikan oleh Polda Lampung, sebab dinilai penyidik tidak memiliki unsur pidana dan tidak memiliki unsur kebencian dan permusuhan. Hal itu dikatakan oleh Direktur Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Lampung Kombes Pol Donny Arif Praptomo dan Kabid Humas Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad (republika.co.id, 18/4/2023).
Menurut Donny, kata “Dajjal” yang disebutkan Bima Yudho Saputro tidak merujuk pada suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tertentu. Selain itu, polisi juga tidak menemukan kalimat lain yang memiliki makna lain yang dapat menimbulkan rasa benci atau permusuhan berdasarkan SARA.
Rupanya tak hanya pengacara Ginda yang merasa geram dengan kritikan pemuda Bima, Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi pun memilih jalur hukum dalam menyikapi kritikan Bima terkait kinerja pemerintah provinsi yang ia pimpin. Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra menyayangkan langkah Gubernur Lampung tersebut. Dhahana menilai konten yang disebarkan Bima di media sosial terkait kondisi infrastruktur Lampung masih termasuk kategori kritik meski terkesan eksplosif (CNN Indonesia, 18/4/2023).
Ia mengatakan kritik yang dilayangkan Bima merupakan bentuk kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.“Kritik adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang tidak hanya merupakan bagian penting di dalam sebuah pemerintah yang demokratis, tetapi juga elemen kunci di dalam Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh konstitusi kita,” katanya.
Kritik seperti ini telah diatur dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ‘Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat’. Demikian pula, pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvenan hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 dimana di sana dijelaskan, negara didorong untuk menjamin kebebasan berpendapat. Adapun kebebasan berpendapat tercantum dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 19 ayat (2).
Pasal 19 ayat (1) berbunyi ‘Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan / intervensi’. Kemudian Pasal 19 ayat (2) berbunyi ‘Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan baik secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya’.
Oleh sebab itu, Dhahana berharap Gubernur Lampung mempertimbangkan langkah hukum yang ditempuh dalam merespons kritik Bima. Lebih lanjut, Dhahana berharap daripada berperilaku menyita perhatian publik lebih baik mengedepankan dialog dengan publik dalam menjelaskan tantangan maupun kendala, kala mengimplementasikan program-program pemerintah merupakan langkah yang lebih positif dan konstruktif serta sejalan dengan semangat HAM.“Kebebasan berekspresi adalah syarat yang diperlukan untuk mewujudkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Hal ini sangat penting dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia,” ujarnya lagi.
Kapitalisme Mengikis Fungsi Negara Sebagai Periayah Rakyat
Melihat fakta ini seolah kita kembali ke masa pemerintahan Orde Baru ( 1966-1988) yang sangat memberangus suara kritik dan saran dari rakyat, tak peduli seberapa baiknya matan atau isi kritikan, tak peduli pula keluar dari lisan siapa, entah tokoh, pengusaha, ekonom, ulama, seniman hingga rakyat jelata sekalipun asal berseberangan pendapat dengan pemerintah akan berakhir minimal di bui, jika beruntung, jika tidak maka hanya tinggal nama sebab hilang tak jelas berkabar.
Pemerintahan Orde Baru berhasil didobrak oleh gerakan mahasiswa yang menandakan era baru yaitu Reformasi, sekitar tahun 1988 atau sering disebut era pasca Soeharto. Periode ini didirikan oleh lingkungan sosial politik yang lebih terbuka. Segala kritik dan saran rakyat kepada pemerintah lebih diterima. Kebebasan berpendapat kian dijunjung tinggi. Setiap orang bisa berbicara apapun. Namun, mengapa hari ini seorang Bima harus menerima perlakuan tidak manusiawi? Dilaporkan seolah seorang kriminal kelas berat. Bukankah kritik artinya sayang kepada pemerintahan ini? Mengapa buruk muka cermin di belah, kritik Mengemuka justru hukum dibelah. Bukannya muhasabah dan evaluasi, malah rakyat yang sengsara hendak di bui.
Inilah bukti betapa rezim hari ini sebetulnya sangat anti kritik, sebab sudah sekian lama rakyat menyuarakan ketidakadilan namun pemerintah bergeming. Terus saja memproduksi kebijakan yang samasekali tidak menyentuh kepentingan rakyat. Kemana arah pandangan penguasa tertuju? Tentu ke arah para kapitalis yang jelas mampu memberikan negara keuntungan. Meski jika diperhatikan lebih detil, kita tak pernah untung justru buntung, sebab hak-hak rakyat umum terzalimi, kekayaan alam, akses menuju faktor ekonomi tak bisa di ambil dengan mudah oleh rakyat dikarenakan berbayar.
Kalau sudah begini, bisakah kita menjawab pertanyaan Bima, mengapa Lampung tempat kelahirannya mendapati infrastrukturnya justru buruk selama bertahun-tahun? Mengikuti video yang diunggah Bima, banyak kemudian bermunculan video senada yang juga menceritakan betapa mereka warga Indonesia yang paling sengsara, terlebih saat menjelang lebaran, pemerintah dengan sigap menaikkan harga tiket berbagai moda transportasi, sementara infrastruktur mundur teratur.
Kita tahu pula, pembiayaan pembangunan di berbagai wilayah di negeri ini adalah dengan pajak. Yang kemudian dari dana pajak tersebut, dipergunakan untuk membangun pelbagai infrastruktur yang dibutuhkan rakyat, jika tidak ada hasil langsung bahwa penggunaannya benar-benar untuk membangun maka, wajar bukan jika rakyat tak lagi percaya dengan pelayanan negara benar-benar untuk rakyatnya. Jelas, pengurusan ala kapitalisme ini benar-benar telah mengikis habis fungsi negara.
Islam Adalah Maslahat Bagi Seluruh Umat Manusia
Dalam Islam, disebutkan bahwa tugas pemimpin adalah mengurusi urusan rakyatnya dengan syariat. Rasulullah Saw bersabda yang artinya, “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad). Maka, dipundaknya lah beban rakyat sejahtera atau sebaliknya. Jika tanpa bersandar kepada syariah tentulah sangat berat mengurusi urusan negara. Dan Allah sangatlah tahu kesulitan hambaNya, pun Allah tak akan memberikan cobaan bila hambaNya tak benar-benar siap dan sanggup.
Sistem lain, selain Islam yang pernah diterapkan di dunia jelas mendatangkan kerugian dunia akhirat, sebab bagi Muslim menjalankan seluruh perintah Allah adalah kewajiban, dan tugas negara adalah mempermudah amanah di atas. Hukum atau aturan hanya berasal dari Allah, sementara hari ini justru mengagungkan hukum buatan manusia, jelas mendatangkan lara di kemudian hari.
Negara, sesuai pendapat syariah melalui Khalifah akan menetapkan harta kepemilikan umum seperti tambang, sungai, laut, perairan, dan lain-lainnya haram diprivatisasi atau diserahkan ke asing pengelolaannya. Harus ditangani negara, sebab biasanya eksplore bahan tambang kepemilikan umum membutuhkan biaya yang besar, ahli di bidangnya dan teknologi terkini. Hasil eksplorasi akan dikelola, didistribusikan kepada rakyat atau dijual kepada negara lain yang tidak dalam status memerangi negara Islam secara praktis.
Hasil penjualan harta kepemilikan umum akan dikembalikan ke kas negara atau Baitul mal untuk selanjutkan dikeluarkan dari pos pengeluaran negara untuk pembiayaan infrastruktur yang berhubungan dengan kemaslahatan rakyat. Sekali lagi bukan karena kepentingan asing atau investor, sehingga akan dibangun banyak infrastruktur yang fungsinya benar-benar untuk kebutuhan rakyat.
Negara akan terbuka dengan kritik dan saran dari rakyat. Sebagaimana Rasulullah bersabda,“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud). Bagaimana jadinya, jika sebagai pelayan umat namun memberangus setiap keluhan umat?
Faktanya negara sangat terbuka dan menerima setiap masukan dari Muslim maupun non Muslim, seperti peristiwa seorang janda Yahudi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang protes terhadap kezaliman salah satu walinya di Mesir, Amr bin Ash RA. Sang wali membangun masjid nan megah namun merusak rumah sang janda, meski mendapatkan ganti rugi namun hati janda itu masih tidak bisa terima jika harta miliknya diambil negara.
Datanglah sang Janda ke Madinah, mengadukan pada pemimpin kaum Muslim, Umar bin Khattab, Umar pun mendengar keluh kesah sang Yahudi, lalu mengambil tulang dan menggambar garus lurus di atasnya dengan pedang. Serta meminta sang janda Yahudi itu untuk menyampaikan kepada Amr bin Ash di Mesir.
Disampaikannya tulang itu ke Amr bin Ash. Seketika , pucat pasi wajahnya hanya melihat tulang. Janda Yahudi bingung bukan kepalang. Mengapa Amr bisa begitu takut hanya dengan tulang. “Ketahuilah,” Amr memulai penjelasannya, “Umar memintaku berbuat adil dan lurus seperti lurusnya garis di dalam tulang ini.” Inilah bukti gemilangnya pemimpin dalam Islam, dikritik oleh rakyatnya yang non Muslimpun tak masalah, yang terjadi justru rakyatnya mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Kritik bukan sesuatu yang menghancurkan seseorang ke dalam nista. Namun, bisa jadi ia penyelamat sang pemimpin dari berbuat tidak adil. Maka sungguh tepat hadist yang disampaikan Rasulullah.
Tanpa kritik, bisa jadi akan ada banyak kesalahan yang dilakukan oleh penguasa. Pada saat di baiat sebagai khalifah, Umar bin Khattab jelas meminta kaum Muslimin mengawasinya. “Jika engkau salah, akan kuluruskan dengan pedang,” jawab salah seorang pemuda menanggapi pidato Umar. Umar pun menerimanya sebagai sebuah kebaikan meski harus berurusan dengan pedang jika ia menyeleweng.
Jika penguasa sudah menutup kritik dan saran dari rakyatnya, maka jelas akan berlaku otoriter, dan sebenarnya hal itu sudah bertentangan dengan konsep demokrasi itu sendiri yang mendewakan suara rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bukankah ini bukti batilnya demokrasi itu sendiri sebagai sebuah sistem politik? Demokrasi yang kemudian bekerja sama dengan kapitalis hanya melahirkan pemimpin culas yang hanya pandai memperkaya diri sendiri sementara abai terhadap nasib rakyat. Sudah semestinya kita cabut dan mengambil sistem aturan yang shahih, yaitu syariat Allah yang mulia. Wallahu a’lam bish showab.
Komentar