Dunia Bisu Melihat Pengungsi Rohingnya Terombang Ambing

 

Pernahkah kita membayangkan bagaimana rasanya terusir dari rumah dan harus berlayar ke tengah samudra yang tak bertepi demi menyelamatkan nyawa dan iman? Sedihnya, setelah berlayar dengan taruhan nyawa pun, tak ada yang mau menerima, diusir oleh pihak militer negara dengan alasan bukan urusan negaranya. Ini bukan potongan cerita novel atau imajinasi, tapi kenyataan pahit yang dialami para pengungsi Rohingnya.

Nasib Pengungsi Rohingnya

Dilansir dari laman detik.com (10/1/2023), Sebuah kapal yang membawa 184 pengungsi Rohingya, mayoritas perempuan dan anak-anak, mendarat di Kabupaten Aceh Besar pada hari Minggu (08/01). Ini adalah kapal kelima yang membawa pengungsi Rohingya ke Indonesia sejak bulan November 2022 yang lalu.

Ratusan pengungsi Rohingnya yang Terombang Ambing di lautan kini berada di Aceh. Mereka ditempatkan di tempat penampungan sementara milik dinas sosial di Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.

Mereka diusir dari Rohingnya, tak diterima India, Thailand, juga Malaysia. Hanya Indonesia yang mengijinkan mereka turun dari kapal. Walau Indonesia bukan negara tujuan para pengungsi ini, mereka sampai berucap lebih baik dibunuh daripada dikembalikan ke Rohingnya.

UNHCR mengatakan bahwa 2022 merupakan tahun paling mematikan bagi para pengungsi Rohingya sejak 2013 dan 2014, ketika lebih dari 900 dan 700 orang dilaporkan meninggal dunia atau hilang.

Hipokrit PBB

Sebetulnya Indonesia dan Malaysia tidak memiliki kewajiban secara hukum untuk membantu para pengungsi karena kedua negara ini belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, namun Malaysia menjadi negara tujuan utama bagi para pengungsi Rohingya karena berbagai alasan. Dan Indonesia menjadi ‘batu loncatan’ agar mereka bisa ke Malaysia.

Anehnya, pihak PBB lewat UNCHR nya tidak memaksa, mendorong negara lain untuk membantu para pengungsi ini. Bahkan, tidak bertindak tegas kepada pemerintah Myanmar yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan ini bertahun-tahun lamanya.

Sementara saat ada penduduk Aceh yang ‘tidak menerima’ keberadaan para pengungsi Rohingnya ini, UNCHR justru mengingatkan perlunya solidaritas sosial. Inilah Hipokrit lembaga dunia ini. Negara mereka tak ingin menerima para pengungsi, tidak juga mendesak dan menekan negara lain untuk menerima para pengungsi. Tapi, memberi ceramah tentang kemanusiaan dan solidaritas pada Indonesia.

Solusi Pragmatis

Solusi yang keluar dari  lembaga kelas dunia tidak solutif bahkan pragmatis. Yakni meminta untuk menyediakan tempat penampungan khusus bagi para pengungsi Rohingya. Akan berapa banyak tempat penampungan yang harus disediakan? Bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan mereka?

Para pengungsi juga butuh akan sandang, pangan, juga papan, dengan pendidikan, kesehatan juga keamanan. Siapa yang akan menjaminnya? Darimana dananya digunakan? Wajar jika negara lain enggan menerima para pengungsi bahkan mengecap mereka sebagai beban. Karena negara yang menampung menjadi pihak yang bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan para pengungsi.

PBB sebagai lembaga dunia yang terpandang pun tak berani bertindak untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan di Rohingnya.

Gara-gara Nasionalisme

Cinta tanah air sudah seharusnya kita lakukan. Tapi, nasionalisme justru menjadi racun yang membuat ketidakacuhan dunia pada kejahatan kemanusiaan ini. Tak tergerak empatinya melihat ratusan manusia berdesakan di dalam kapal, Terombang ambing tanpa kepastian. Kelaparan, kehausan, bahkan meninggal di dalam kapal.

Bukan urusan negara kami, dalih mereka. Pernyataan ini menambah jelas sekat negara akibat nasionalisme. Padahal, sesama manusia, bahkan sesama muslim. Namun, tak acuh akan kondisinya. Mereka berusaha mengamankan keadaan negerinya, rakyatnya, tanpa peduli saudaranya. Mereka khawatir keadaan akan rumit jika mereka membantu para pengungsi. Mereka khawatir terbebani dengan para pengungsi. Miris.

Saudara

Walau bukan keluarga. Tidak pula ada ikatan darah. Dalam Islam, kita dengan Muslim Rohingnya bersaudara, saudara seiman. Sakit mereka sudah seharusnya kita rasakan pula. Sebagaimana sabda Rasul, ” Jadilah kalian wahai hamba-hamba Allah orang-orang yang bersaudara. Orang Muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Tidak menzhaliminya, tidak membiarkannya dizhalimi,… ” (HR. Muslim)

Sebagaimana kita melindungi saudara kandung kita, sudah seharusnya kita juga melindungi saudara seiman kita, termasuk para pengungsi Rohingnya. Tentu tak bisa hanya mengandalkan individu untuk membantu para pengungsi ini. Tidak bisa pula mengandalkan masyarakat dan LSM kemanusiaan. Negara harus turun tangan mengatur kebijakan.

Tak cukup hanya Indonesia, seluruh negeri muslim harus bersatu mengecam dan bertindak tegas pada pemerintah Myanmar yang sudah menzalimi muslim Rohingnya. Sudah saatnya kita bersatu menegakkan kalimat tauhid di muka bumi. Menampakkan kekuatan muslim yang kini tengah tertidur. Jangan terlena keadaan, ayo bangkit wahai raksasa yang tertidur. Jadilah kuat, perkasa dan disegani seperti dulu lagi.Wallahua’lam bish shawab.

 

 

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *