Generasi Terlibat Kriminalitas, Sebuah Peringatan Keras
Suara Netizen Indonesia, Kondisi generasi muda hari ini, makin hari, makin memperhatikan. Bagaimana tidak, mereka jauh dari prestasi dan kebaikan, justru mereka lebih dekat dengan aksi kriminalitas yang sadis.
Lagi-lagi, berita yang miris dan menyayat hati hadir menghiasi berita kriminal. Seorang remaja berusia 14 tahun, tega membunuh ayah dan nenek, serta menikam ibunya dengan sadis menggunakan senjata tajam di rumah mereka di Jalan Lebak Bulus I, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (30-11-2024) dini hari.
Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Gogo Galesung menyampaikan, pelaku yang berinisial MAS, pada awalnya mengambil pisau di dapur dan masuk ke kamar ayah dan ibunya. Kemudian, MAS langsung menusuk sang ayah yang sedang dalam keadaan tidur. Setelah menusuk ayah dan ibunya, pelaku menusuk sang nenek yang terbangun saat peristiwa penusukan tersebut (beritasatu.com, 30-11-2024).
Kasus ini, menambah deretan panjang kebobrokan generasi dalam jeratan sistem kapitalisme. Semestinya, peristiwa memilukan ini menjadi peringatan keras, terutama dalam dunia pendidikan. Bagaimana seorang remaja bisa dengan sadis melukai hingga membunuh banyak nyawa?
Peringatan Keras
Menurut data yang diambil dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kasus anak yang berkonflik dengan hukum menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023.
Baca juga:
Lawatan ke Cina Pulang Membawa Cinta?
Pada tahun 2020 hingga tahun 2021, jumlah anak yang berkonflik dengan hukum berkisar 1.700-an anak. Pada tahun 2022, jumlah anak yang berkonflik dengan hukum mengalami peningkatan menjadi 1.800-an anak.
Sedang, per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Hal ini menunjukan bahwa terjadi tren yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun terkait keterlibatan anak pada tindakan kriminal.
Fakta dan data di atas menjadi peringatan keras bahwa kondisi generasi muda Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan membutuhkan penanganan yang paripurna.
Data di atas juga merupakan bukti bahwa kasus kriminalitas yang dilakukan generasi muda bukan hanya satu atau dua kali terjadi, tapi mencapai ribuan. Artinya, persoalan ini tidak bisa disebut sebagai persoalan personal belaka, melainkan persoalan sistemis yang membutuhkan solusi yang komprehensif.
Faktor Penyebab
Beberapa faktor yang memicu tindakan sadis yang dilakukan generasi muda:
1. Lemahnya keimanan individu
Generasi muda hari ini terjebak sekularisme sebuah akidah yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, mereka tidak lagi peduli halal-haram. Mereka bisa dengan enteng melukai orang lain dengan senjata tajam. Meraka tidak peduli dampak apa yang akan terjadi pada korban, apalagi terkait urusan pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.
Lemahnya iman pada diri mereka menjadikan setiap perbuatannya tidak terkendali dengan iman. Mereka lebih mudah tersulut emosi, bahkan hanya karena masalah sepele belaka, keluarga yang harusnya dicintai pun menjadi korban emosi yang meledak.
2. Krisis Identitas
Para pemuda kini tidak memahami terkait hakikat diri dan perbuatannya. Mereka tidak paham tujuan hidupnya di dunia. Mereka mengekspresikan naluri mempertahankan diri (garizah baqa’) dengan meluap-luap, tak jarang justru diekspresikan dengan jalan kekerasan.
Baca juga:
Pengangguran, Butuh Pekerjaan Bukan Pernikahan
3. Disfungsi keluarga
Kesibukan bekerja tak jarang menjadikan orang tua kurang dalam mendidik buah hatinya menjadi insan yang bertakwa.
Ide kesetaraan gender dan turunannya seperti pemberdayaan perempuan, kemandirian ekonomi perempuan, kesetaraan posisi telah merasuk dalam keluarga sehingga mengakibatkan peran ibu tergerus. Ibu dipaksa mencari kebahagiaan di luar rumah, sedangkan di rumah anak kehilangan kasih sayang dan didikan seorang guru pertama dan utama, yakni ibu.
4. Media yang liberal
Saat ini, media sosial dengan berbagai konten yang rusak dan merusak dibiarkan mengudara dengan bebas (liberal) oleh penguasa, termasuk gim dan konten kekerasan. Akibatnya, gim dan konten-konten tersebut ditiru oleh para pemuda.
5. Sistem Pendidikan yang sekuler dan liberal
Kasus kriminalitas yang banyak melibatkan generasi muda merupakan peringatan keras bagi dunia pendidikan.
Sistem pendidikan yang liberal telah menjadikan siswa bebas melakukan apapun, termasuk kekerasan. Kurikulum yang dirancang tidak ditujukan untuk membentuk insan yang bertakwa, tapi justru hanya ingin mencetak calon pekerja.
Tingkah laku anak didik bukan menjadi fokus. Sistem pendidikan yang sekuler memang tidak menjadikan agama sebagai pengatur kehidupan, termasuk pendidikan. Akibatnya, lahirlah generasi yang tujuan hidupnya harus dikejar, tanpa mempedulikan halal dan haram.
6. Negara tidak mampu mensejahterakan
Sistem ekonomi kapitalisme yang ditetapkan oleh negara telah gagal mensejahterakan masyarakat. Harga barang kebutuhan pokok begitu melangit, begitu juga dengan biaya pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, upah mereka begitu rendah, akhirnya harus pontang-panting mencari materi untuk bertahan hidup. Akibatnya, tugas utama mendidik anak menjadi terabaikan.
7. Lemahnya hukum buatan manusia
Meski sudah melakukan kekerasan dengan senjata tajam hingga melukai, bahkan menghilangkan nyawa orang lain, rupanya para pemuda pelaku tindak kekerasan ini tidak mendapatkan sanksi yang tegas, sebab mereka masih dianggap sebagai anak-anak. Definisi anak berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum genap berusia 18 tahun.
Meski sudah diamankan pihak kepolisian, mereka hanya dibina dan diberi wejangan, kemudian hidup bebas kembali. Padahal, besar kemungkinan mereka akan mengulangi perbuatannya. Kalaupun mengulangi perbuatannya, mereka hanya mendapatkan setengah dari masa hukuman orang dewasa. Tentu, hal ini tidak akan memberikan efek jera. Inilah salah satu bukti lemahnya hukum buatan manusia.
Beberapa faktor diatas merupakan faktor yang saling berlindan. Semua itu bermuara dari penerapan sistem kapitalisme-sekulerisme yang merusak fitrah manusia, termasuk mengubah karakter masyarakat menjadi masyarakat yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Inilah harga mahal yang harus dibayar atas penerapan sistem kapitalisme-sekulerisme yang rusak dan merusak ini.
Solusi Komprehensif
Islam merupakan agama yang sempurna dan paripurna. Islam menjadikan pemimpin sebagai raa’in, yaitu orang yang bertanggung jawab atas rakyatnya, termasuk dalam urusan membangun generasi.
Fakta telah membuktikan, makin jauh umat dari Islam, maka kerusakan generasi pun makin menjadi-jadi. Jika nilai-nilai sekuler makin dijunjung tinggi, kejahatan pun juga semakin merajalela. Masalah kerusakan generasi yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme-sekularisme harus diselesaikan secara sistemis pula. Sebab, peran sistem sangat dibutuhkan dalam membentuk generasi yang tangguh dan cemerlang.
Baca juga:
Hargai Nyawamu, Sob!
Kepemimpinan Islam bertanggung jawab penuh untuk melahirkan generasi cemerlang yang berkualitas, melalui penerapan Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini Islam mempunyai solusi yang komprehensif untuk membangun generasi yang cemerlang.
Pertama, negara akan memastikan ketaatan individu dengan melakukan pembinaan, menanamkan akidah yang kokoh yang akan menjadikan setiap pribadi menjadikan halal haram sebagai tolak ukur perbuatannya. Keluarga sebagai institusi terkecil harus merujuk pada pola pendidikan Islam. Orang tua harus memberikan teladan yang baik, perhatian, pila asuh yang baik, yang akan berdampak pada pertumbuhan dan kepribadian anak.
Kedua, Islam memerintahkan agar masyarakat senantiasa melakukan aktivitas amar makruf nahi munkar. Islam tahu betul, melaksanakan ketaatan dalam kesendirian adalah sesuatu yang berat. Maka dari itu, Islam mewajibkan aktivitas berdakwah untuk saling mengontrol perilaku individu.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan cara pandang masyarakat sekuler yang cenderung menormalisasi perilaku yang menyalahi aturan Islam. Bahkan, tak jarang mereka acuh tak acuh, seolah kemaksiatan yang terjadi bukanlah urusannya. Tak heran, generasi sangat dekat dengan kehidupan sekuler liberal.
Ketiga, peran negara. Negara semestinya menggunakan kurikulum pendidikan Islam yang berasaskan akidah Islam. Sistem pendidikan Islam akan mampu membentuk generasi menjadi generasi yang cemerlang dan berkepribadian Islam. Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok publik ini secara gratis dan berkualitas.
Negara juga harus menghilangkan setiap hal yang merusak keimanan setiap individu muslim, seperti memblokir gim dan konten porno dan kekerasan, menutup industri/produsen konten porno dan kekerasan dan memberi sanksi tegas bagi pelanggarnya dengan sanksi hukum Islam.
Islam tidak mengenal penggolongan anak di bawah umur sebagaimana sistem kapitalisme-sekulerisme, yakni berusia 12-17 tahun. Dalam pandangan Islam, anak yang sudah baligh, terikat penuh dengan hukum Islam. Ia sudah menjadi mukalaf (orang yang terbebani beban hukum) atas setiap perbuatannya, maka ia pun akan mendapatkan sanksi sesuai hukum Islam jika terbukti melakukan tindakan kriminal.
Selain itu, Islam juga memerintahkan setiap muslim untuk melaksanakan kewajiban menuntut ilmu, berfikir dan berjihad guna meningkatkan kemampuan intelektual warga negaranya.
Solusi yang komprehensif ini hanya dapat berfungsi optimal dalam negara yang menerapkan Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Sistem Islam terbukti mampu mencetak generasi yang unggul, baik dalam sains dan teknologi, juga ulama yang faqih fiddin. InsyaaAllah, keberkahan, keadilan, kesejahteraan dan ketenangan akan didapatkan.Wallahu a’lam bisshowab. [SNI].
Komentar