Kapitalisasi Haji Tak Terhindari, Mengapa?

Suara Netizen Indonesia–Ibadah Haji 2024 sudah usai, ternyata masih meninggalkan cerita tak mengenakkan yang perlu   evaluasi. Sepertinya memang pemerintah tidak serius menangani ritual ibadah tahunan ini sebab semakin ke sini yang perlu dievaluasi semakin banyak. Mengapa tak belajar dari kesalahan yang  lalu?

 

Kritikan datang dari Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR yang mengungkapkan kondisi akomodasi jemaah yang memprihatinkan. Tenda jemaah haji Indonesia minim kapasitas hingga layanan toilet yang antre berjam-jam. Padahal di tahun 2023 juga pernah terjadi. Terjadi persoalan yang sama terkait akomodasi dan transportasi selama Armuzna (Arrafah, Muzdalifah dan Mina). Jemaah haji kita banyak yang terlantar dan kesulitan mendapatkan makanan ( CNN Indonesia.com, 20/6/2024).

 

Timwas DPR RI pun akhirnya mengusulka perlunya dibentuk Panitia Khusus (Pansus) Haji 2024. Salah satunya, guna memastikan penyelenggaraan ibadah haji berjalan lebih komprehensif dan terintegrasi. Hal ini disampaikan oleh Anggota Timwas Haji DPR RI Luluk Nur Hamidah. Tak bisa terus dibiarkan banyaknya keluhan  terkait ekosistem penyelenggaraan haji secara keseluruhan (rri.co.id, 27/6/2024).

 

Hidayatullah Ade Marfuddin, pengamat haji dari UIN Syarif menyoroti fasilitas layanan haji yang disediakan oleh pemerintah tak sebanding dengan biaya besar yang sudah dikeluarkan jamaah. Terbukti belum ada manajemen pelayanan haji yang ditata secara komprehensif oleh pemerintah selama ini. Semestinya inilah yang seharusnya jadi perhatian serius pemerintah.

 

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet pun turut bersuara,  dengan meminta Kementerian Agama dan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) untuk bertanggung jawab atas kondisi jemaah haji Indonesia di Mina, Arab Saudi.  Merujuk pada hasil laporan Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI yang mengungkapkan kondisi jemaah haji Indonesia di Mina sungguh memprihatinkan, terutama terkait persoalan tenda dan toilet (Bisnis.com,21/6/2024).

 

Menag RI Yaqut Cholil Qoumas meski mengakui memang ada beberapa hal yang perlu dibenahi namun secara umum ia  mengeklaim bahwa penyelenggaraan ibadah haji 1445 H/2024 M berjalan dengan sukses sesuai dengan sejumlah indikator.

 

Indikator pertama,  bahwa pelayanan jemaah haji pada fase kedatangan berjalan lancar.  Indikator kedua, pelayanan baik di Madinah maupun Makkah terkait katering, transportasi, akomodasi, termasuk pelindungan jemaah, dan bimbingan ibadah berjalan lancar.  Indikator ketiga, proses puncak haji selama di Armuzna berjalan lancar, berkat Ikhtiar mitigasi yang dilakukan PPIH bersama otoritas Arab Saudi (Bisnis.com,21/6/2024).

 

Sengkarut Ibadah Haji, Mengapa Terus Berulang?

 

Perbedaan pendapat antara Kemenag sebagai penyelenggara dan pihak pemerintah sebagai pengawas menunjukkan betapa buruknya pelayanan salah satu ibadah terbesar kaum muslim. Kuota jemaah haji Indonesia pasca pandemi sudah kembali normal, biaya hajipun semakin mahal, semestinya ada peningkatan pelayanan.

 

Nyatanya masalah masih bermunculan dari  banyak aspek, mulai dari kesehatan, imigrasi, hingga pelayanan Jemaah.  Semua memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dengan aspek periayahan yang optimal. Ironi bukan, negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia namun kalah dengan pelayanan haji dari negara kafir sebagaimana Inggris, Korea, Jepang dan lain-lainnya.

 

Beredar pula isu ada main mata kemenag dengan mengalihkan kuota haji reguler kepada haji plus. Akibatnya deretan antre jemaah yang sudah mendaftar tapi belum bisa berangkat semakin mengular, hingga 40 tahun. Wajar, jika saatnya tiba para jemaah haji itu berangkat, usia mereka susah uzur, tenaga lemah apalagi ingatan.  Menambah deretan persoalan dengan banyaknya jemaah yang sakit, meninggal dunia, dehidrasi hingga amnesia.

 

Ini adalah buah komersialisasi pengurusan karena negara kita  menerapkan  sistem kapitalisme. Semua diitung atas dasar untung dan rugi, demikian pula  penyelenggaraan ibadah tak luput dari ajang bisnis kelompok tertentu. Siapa lagi jika bukan pengusaha yang orientasinya hanya profit, bahkan penguasa yang pengusaha juga ikut terlibat.

 

Dampaknya jamaah tidak mendapatkan kenyamanan dalam beribadah di tanah suci. Usulan membuat pansus tak akan mampu menyelesaikan persoalan karena memang akar persoalannya bukan disitu, melainkan adanya paradigma pelayanan haji dialam sistem kapitalisme yang salah. Ibadah haji dianggap bisnis yang menguntungkan bukan pelayanan. Jika negara pelakunya, jelas fatal dampaknya.

 

Haji Mabrur Bukan Hanya Teoritis

 

Tentu kita harus keluar dari kondisi ini. Haji adalah ibadah yang harus bebas dari kapitalisasi bahkan pelayanan yang cenderung kastaisasi atau membedakan pelayanan sesuai dengan jumlah biaya haji yang dibayarkan, semakin besar semakin lux dan kelasnya VIP.  Hingga essensi ibadah haji itu sendiri tak tertangkap oleh para jamaah, jika demikian apa bedanya dengan tour atau pariwisata?

 

Islam menetapkan negara sebagai rain, pelayan rakyat, yang akan mengurus rakyat dengan baik sehingga nyaman apalagi dalam menunaikan beribadah.

 

Mahalnya biaya haji bisa jadi karena setiap negara menerapkan sistem nation state (negara bangsa). Dimana setiap negara muslim dibatasi oleh batas imajinasi yang ditetapkan kafir berdasarkan hasil kesepakatan perang dunia ke-2, dimana sekutu membagi negara muslim dengan maksud untuk memecah belah dan merusak ukhuwah Islamiyyah.

 

Mahalnya biaya juga berimbas pada pelayanan sebab negara melelang pelayanan kepada pihak kedua, sehingga aroma bisnis sangatlah kental.  Sementara Islam memandang sebagai pelayanan, maka bisa kita lihat pada masa kekhalifahan, siapa pun tidak membutuhkan visa untuk memasuki tanah suci karena wilayah ini adalah bagian dari kekhalifahan Islam. 

 

Khalifah sendiri bertanggung jawab penuh dalam melayani para tamu Allah Swt., Khalifah akan menunjuk muslim yang amanah untuk bertanggung jawab dalam mengelola urusan haji dengan menetapkan wilayah-wilayah mana yang dekat dari haramain untuk menjadi tempat persinggahan para tamu Allah.

 

Amanah adalah ciri pemimpin dalam Islam, karena dibangun atas kesadaran akan adanya hari penghisaban kelak.  Islam juga memiliki mekanisme/ birokrasi yang sederhana dan praktis serta profesional sehingga memberi kenyamanan pada rakyat.

 

Sebagai contoh kebijakan haji pada masa Utsmaniyyah, dimana saat itu, belum ada sarana transportasi dengan menggunakan mesin yang aman dan nyaman, baik darat, laut, maupun udara. Khalifah menetapkan wilayah-wilayah penting di sekitar tanah suci yang akan menjadi tempat untuk menyambut para jemaah.

 

Persiapan sarana haji telah dimulai tiga bulan sebelum musim haji. Dengan  koordinasi langsung di bawah pimpinan Sultan Utsmani. Dibentuk Lajnah Khusus, dengan kedudukan tinggi, yang berhubungan langsung dengan Ash-Shadr al-A’dham (semacam kepala pemerintahan) dengan  tugas utamanya adalah memonitor dan memperhatikan semua urusan rombongan haji di wilayah-wilayah Islam, serta menginstruksikan kepada wali di wilayah-wilayah itu untuk memenuhi kebutuhan mereka.

 

Semestinya, hari ini semakin canggih teknologi maka kenyamanan tinggi semakin mudah diwujudkan. Negara juga wajib mengedukasi rakyat agar mengutamakan mereka yang belum pernah berhaji untuk berangkat terlebih dahulu, dan mewajibkan hanya satu kali haji seumur hidup sesuai syariat, dengan demikian kuota tidak membludak dan benar-benar hanya mereka yang mampu dan belum pernah berhaji yang berangkat.

 

Maka, yang urgen dibutuhkan adalah sistem peraturan yang berlandaskan syariat saja, bukan kapitalisme. Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya, “Ibadah haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Siapa saja yang mengingkari (kewajiban haji), sungguh Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (TQS Ali Imran [3]: 97). Wallahualam bissawab. [SNI].

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *