Ketika Ibu Mengukir Wajah Peradaban Dunia

 

“Mendeskripsikan ibuku berarti menulis tentang badai dengan kekuatannya yang sempurna. Atau warna pelangi yang menanjak dan jatuh.” ―Maya Angelou dalam novel I Know Why The Caged Bird Sings (1969).

_______________________

 

Banyak kutipan cinta kepada ibu. Keindahan tiada tara, yang mampu menyiapkan bahan baku peradaban. Ibu adalah sosok istimewa yang diamanahi Islam untuk membentuk generasi. Akan tetapi hal ini akan menjadi usang, bahkan tak bernilai, ketika dunia sekularisme hanya memandangnya sebelah mata. Bahkan memberinya ide kesetaraan, seolah perempuan mulia adalah yang setara tugas dan perannya dengan para pria. Atau mendapat label perempuan berdaya, ketika ia ikut mencari nafkah.

 

Ibu hanya mendapat sudut kecil di alam sekularisme. Maka tak heran, banyak peristiwa buruk melibas peran ibu, sebab ia dipaksa ke luar dari fitrahnya. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Desa Membalong, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung, ketika seorang ibu bernama Rohwana alias Wana (38) membunuh bayinya dengan cara menenggelamkannya ke ember berisi air, sesaat setelah dilahirkan.

 

Bayi tak bernyawa ini kemudian ia buang ke semak-semak kebun milik warga setempat. Wana mengaku tega membunuhnya karena tidak memiliki biaya untuk membesarkannya. Perempuan tersebut telah memiliki dua anak, sedangkan suaminya hanya bekerja sebagai buruh. (Kumparan, 24-1-2024).

 

Tampak bahwasanya himpitan ekonomi, berhasil mematikan fitrah keibuan. Lemahnya keimanan akibat penerapan sekularisme, yang berasaskan fashluddin ‘anil hayah, menjadikan individu jauh dari Islam. Akibatnya, hilang pula kesadaran terhadap hubungannya dengan Allah, ketika menjalankan aktivitasnya atau mengambil keputusan-keputusan di dalam hidupnya.

 

Penjagaan masyarakat pun melemah. Dalam kehidupan sekularisme, masyarakat hanya fokus pada diri mereka sendiri saja atau pada keluarganya, tanpa peduli orang-orang yang berada di sekelilingnya. Sehingga aktivitas kontroling atau pengawasan pun menjadi hilang. Tak lagi menghiraukan tetangganya. Tidak menasehati atau bahkan membantu meringankan bebannya.

 

Begitu juga halnya dengan negara, tidak akan turun tangan memperbaiki kondisi umat. Bahkan membebani masyarakat dengan beragam kebijakan dan aturan yang bertentangan dengan syariat. Akibatnya ketahanan keluarga hilang, sebab masing-masing keluarga dibiarkan mengatasi permasalahannya sendiri.

 

Islam Mengembalikan Fitrah Ibu
Berbeda dengan kehidupan Islam, negara wajib menjamin kesejahteraan ibu dan anak. Para ayah mendapat kesempatan luas untuk mencari nafkah, sehingga anggota keluarga yang berada dalam tanggung jawabnya dapat teriayah dengan baik. Sehingga ibu pun optimal melaksanakan amanahnya sebagai ummu wa rabbatul baiyt.

 

Negara pun wajib memberikan edukasi kepada warganya tentang peran mereka masing-masing di dalam keluarga, di tengah masyarakat dan dalam kehidupan bernegara. Melalui pemahaman inilah, mereka dapat beraktivitas dengan benar. Sehingga dipastikan akan terwujud khairu ummah.

 

Dengan menggunakan sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin kesejahteraan rakyat, individu per individu. Maka tidak akan terjadi kemiskinan atau kesempitan hidup, yang mengakibatkan seseorang gamang menjalani kehidupannya. Dalam Islam, ibu akan memberikan pengasuhan yang baik kepada anak-anaknya, sebab sistem pendukungnya yakni keluarga, masyarakat dan negara, berjalan sesuai aturan Allah SWT.

 

Anak-anak pun tumbuh besar dalam kasih sayang Allah. Dalam catatan tinta emas Islam, dijumpai para ibu hebat yang melahirkan karya hebat berupa generasi unggulan yang dikenang sepanjang masa. Salah satunya adalah ibunda Imam Syafi’i yang mengantarkankan putranya menjadi ulama besar. Beliau mewakili perjuangan para ibu dari tokoh-tokoh agama. Meski suaminya meninggal sebelum Imam Syafi’i lahir, ia membesarkan Syafi’i sendirian dan memotivasinya untuk belajar. Ia mengantarkan Syafi’i kepada guru-gurunya untuk belajar. Di usia 7 tahun Syafi’i telah hafal Al-Qur’an.

 

Ibunda Imam Taimiyah bahkan mengatakan dalam suratnya kepada sang putera:
“Demi Allah, seperti inilah caraku mendidikmu. Aku nazarkan dirimu untuk berkhidmat pada Islam dan kaum muslim. Aku didik engkau di atas syariah agama. Anakku, jangan kau sangka, engkau berada di sisiku itu lebih aku cintai berbanding kedekatanmu pada agama, berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin. Anakku, ridaku kepadamu berbanding lurus dengan apa yang kau persembahkan untuk agamamu dan kaum muslim. Sungguh, anakku, di hadapan Allah kelak aku tidak akan menanyakan keadaanmu, karena aku tahu di mana dirimu dan dalam keadaan seperti apa engkau. Yang akan kutanyakan di hadapan Allah kelak tentangmu, wahai Ahmad, sejauh mana khidmatmu kepada agama Allah dan saudara-saudaramu kaum muslim.”

 

Inilah ibu. Sosok luar biasa yang diciptakan Allah SWT untuk mengukir wajah peradaban dengan kasihnya, hanya akan tampak gemilang dalam pengaturan Islam. Banyak ulama besar dan negarawan yang mengisi peradaban dengan karyanya, karena peran ibu. Mereka dikenang sepanjang masa dan ilmunya dipelajari hingga akhir zaman. Tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Allahumma ahyanaa bil Islam.

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *