Ada Persatuan di Jember Fashion Carnaval?
Jember Fashion Carnaval atau JFC kembali digelar tanggal 4-6 Agustus mendatang. Tema yang diusung kali ini adalah Timelapse: Journey of the Earth. Akun Instagram resmi JFC, @jemberfashioncarnaval, menjelaskan akan ada sajian berbagai kostum yang merepresentasikan bumi sejak awal tercipta, hingga perjalanannya di alam semesta hingga detik ini berupa 10 subtema atau defile diantaranya Big Bang, Prehistoric, Empire, Religic, Invention, World War, Superstar, Upcycle, Metaverse, dan Nusantara (detik.com, 3/8/2023).
Ada banyak yang terlibat, selain artis, pelajar , binatang, juga ada beberapa komunitas dari berbagai kabupaten dan kota di Indonesia yang mengirim perwakilannya seperti Wonderful Archipelago Carnival Indonesia (WACI), Artwear Carnival, World Kids Carnival, Grand Carnival of Jember Fashion Carnaval, Stage Performing Art dan Pets Carnival.
Sebanyak 400 anak tampil dalam parade Kids Carnival di even Jember Fashion Carnival (JFC). Presiden JFC, Iwan mengatakan, penampilan anak-anak ini menyiratkan pesan persatuan. ” Jadi mereka ingin menyampaikan pesan bahwa kita ini adalah satu, We Are All One.” Iwan menambahkan, dalam parade itu juga hadir siswa yang berasal dari Jepang. Selain ikut defile, anak-anak itu juga menyanyikan lagu berbahasa Jepang. “Tadi ada siswa dari Jepang, yang melukis dari atas kereta yang dinaiki. Lalu ada juga yang menyanyikan lagu (berbahasa Jepang). Meski kita tidak tahu artinya, tapi inti pesannya adalah persatuan,” ujar Iwan (detik.com, 6/8/2023).
Jember Fashion Carnaval (JFC) tahun ini mendapat banyak dukungan salah satunya dari WINGS Group Indonesia. Karnaval fesyen ini akan memecahkan Rekor MURI pameran UMKM terpanjang.
Budaya Fashion Karnaval Peluang Cuan Bagi Kapitalisme
Jember Fashion Carnival merupakan event fashion yang melambangkan kreativitas anak muda di Kabupaten Jember. Ide ini digagas pertama kali oleh Dynand Fariz, seorang desainer fashion kelahiran Jember dan dilaksanakan pertama kali pada tanggal 1 Januari 2003. Lahirnya Jember Fashion Carnaval pada tahun 2001 bersamaan dengan didirikannya rumah mode Dynand Fariz, dan direalisasikan pada awal tahun 2002 dan diberi nama Dynand Fariz International High Fashion Center.
Meski sempat ditentang oleh Pemda Jember karena dianggap ikut-ikutan budaya Amerika, namun pada akhirnya program JFC disetujui juga, dan kini dianggap sebagai aset bangsa karena diakui dunia internasional. Menurut Director Program & Development of Jember Fashion Carnaval, David Susilo bahwa JFC merupakan sebuah investasi budaya dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. “Jadi tujuan konsep awalnya itu bagaimana JFC itu membangun peradaban bangsa, khususnya dibidang fashion dan karnaval,” ujar David.
Sejumlah penghargaan internasional telah diraih oleh JFC, termasuk menjadi Second Runner-Up pada International Carnaval de Victoria 2016 di Seychelles. Pada 2017, Jember dinobatkan sebagai Kota Karnaval pertama di Indonesia yang bertaraf nasional dan internasional oleh Kementerian Pariwisata.
Yang awalnya JFC dimaksudkan sengaja bentuk pelestarian budaya kini setelah dua dekade telah menjadi even bergengsi yang bisa dibanggakan di mata dunia. Dan tak bisa dipungkiri, inilah tujuan sejati mengapa izin bisa keluar dari penguasa, yaitu sisi ekonomi. Baik dari pariwisata maupun pelaku UMKM, secara usaha mikro kerakyatan ini memang butuh pasar agar bisa bergerak dan meraih keuntungan. Even adalah jalan bypass UMKM mendapatkan pasar bagi produk-produknya.
Dari sisi pariwisata, Wonderful Archipelago Carnival Indonesia (WACI) tahun ini kembali ikut memeriahkan Jember Fashion Carnaval (JFC) 2023. WACI adalah karnaval yang diinisiasi Kemenparekraf berkolaborasi dengan Jember Fashion Carnaval, untuk menyatukan budaya Indonesia melalui pagelaran karnaval spektakuler, yang dikuti berbagai macam perwakilan daerah di panggung JFC (detik.com, 4/8/2023).
Boleh dibilang, peluang mendapatkan cuan semakin terbuka lebar, even ini ajang menyatukan berbagai potensi, kemanfaat materi dibalut dengan fashion yang melenakan semua orang, termasuk rakyat karena yang bersatu bukan hati dan pikiran rakyat, melainkan berbagai peluang usaha, mulai dari kuliner, desainer, hotel dan penginapan, transportasi, destinasi pariwisata dan lainnya.
Persis sebagaimana gelaran piala dunia yang seolah menyatukan berbagai bangsa namun sesungguhnya disitulah bersatunya aliran deras uang dari berbagai sektor. Bahkan penodaan agama pun diperbolehkan. Yang bermain paling dominan tentulah pengusaha dengan modal besar. Tanpa terasa, kita berputar dalam permainan kapitalisme. Pun bagi Muslim, jebakannya tak sekadar pada sisi ekonomi, namun juga akidah. Sebab pada dasarnya karnaval bukan berasal dari Islam. Dasar digelar karnaval pun tidak dikenal dalam peradaban Islam. Bagaimana pula dengan pelanggaran syariat lainnya seperti ikhtilat ( bercampur baur), tabaruj, membuka aurat, tasyabuh ( menyerupai budaya kafir) dan lainnya?
Budaya Kafir Melencengkan Akidah Islam yang Shahih
Karnaval bisa berarti: suatu pesta besar atau pameran. Pesta di benua Eropa dan Amerika, terutama di bagian selatan untuk menyambut masa Pra-Paskah yang dirayakan umat Kristen. Dimulai dari minggu sebelum Rabu Abu sampai hari Rabu Abu sendiri (Wikipedia). Jelas, budaya karnaval bukan berasal dari Islam , ia termasuk pekerjaan yang melalaikan dari beribadah kepada Allah SWT, karena karnaval bagian dari ritual agama lain.
Bukankah Allah SWT telah jelas melarang kita untuk meyakini akidah agama lain di luar Islam? “Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (TQS al-Kafirun: 1-6).
Yang terjadi, bukannya berhenti malah menjadikan kegiatan ini sebagai budaya yang artinya dijadikan sebagai sebuah kegiatan rutin. Terlibatnya pelajar makin memprihatinkan, generasi penerus terjebak dalam budaya yang nir manfaat tapi dipaksakan kepada mereka dengan memberikan jargon bela Nusantara, bela bangsa, kreatifitas tanpa batas dan lain sebagainya.
Jelas potensi mereka menjadi agent of change tak akan tumbuh optimal,sebab dibangun atas dasar sekularisme. Pemisahan agama dari negara bahkan kehidupan. Nasionalisme dan persatuan. Ide yang sangat rancu, persatuan yang rapuh dan mudah digoyang jika muncul gangguan sekecil apapun. Jika asasnya salah, maka bangunan yang akan dibangun di atasnya pun akan rapuh. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang tak tentu arah, padahal hidup itu singkat dan problematika umat itu seabrek.
Islam Tak Anti Kreatifitas, Tapi Tetap Bertanggungjawab
Siapa tak suka keindahan? Keindahan digabung dengan kreatifitas akan menjadi sesuatu yang menarik. Allah SWT Sang Kreator ulung tiada duanya. Tentu sudah mashyur dalil yang menunjukkan kepada kita, jika dalam penciptaan langit, bumi dan seisinya ada “daya kreasi’ Allah. Tak cukup hanya menciptakan, bahkan mengatur dan mempergilirkan setiap waktu dan kejadian bagi hamba-Nya. Namun setiap penciptaan ada tujuannya.
Allah SWT berfirman yang artinya, ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku“. (TQS adz-Dzariyyat :56). Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yakni agar mereka mengakui kehambaan mereka kepada-Ku, baik dengan sukarela maupun terpaksa. Dan bentuk ibadah itu sendiri banyak, intinya dalam setiap perilaku dan perkataan tidak menentang syariat Allah.
Karnaval bukan cara Islam menyejahterakan hingga memuliakan umatnya. Melainkan dengan penerapan syariat Islam di berbagai lini kehidupan. Dalam hal ini negara yang mendapatkan mandat memberikan jaminan penuh enam kebutuhan pokok yaitu, sandang, pangan, papan, kesehatan , pendidikan dan keamanan. Pendanaan yang berbasis Baitul Mal, bukan pajak apalagi utang luar negeri. Kesejahteraan ini telah terwujud sepanjang 13 abad. Wallahu a’lam bish showab.
Komentar