Melestarikan Tradisi “Brandu” Nyawa Jadi Taruhan
Melestarikan Tradisi “Brandu” Nyawa Jadi Taruhan
Oleh : Indriani
(Aktivis Muslimah, DIY)
Berita yang mengejutkan sekaligus memprihatinkan beberapa hari belakang terpampang di sejumlah media. Yakni banyak warga wilayah Padukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Kabupaten Gunungkidul, DIY terjangkit virus antraks, dikarenakan mengkonsumsi daging sapi yang sudah mati. Melansir dari REPUBLIKA.CO.ID, GUNUNGKIDUL, menuliskan bahwa sebanyak 87 warga terpapar antraks. Hal tersebut pemicunya tak lain tradisi “brandu”, yakni membeli sekaligus mengkonsumsi binatang ternak (sapi) yang mati, baik dalam kondisi sakit ataupun mati. Sehingga, dengan melestarikan tradisi tersebut akan memberikan keringanan bagi para peternak dan kerugian bisa diminimalisir.
Apabila kita telusuri hal tersebut yakni “brandu” mengandung nilai humanisme atau qimah insaniyah yang cukup tinggi. Bisa jadi juga niatnya ikhlas karena menolong bahkan meringankan beban peternak dalam satu kawasan daerah. Namun, caranya tidak benar karena memang dalam pandangan syari’at Islam terdapat larangan memakan bangkai binatang. Segala sesuatu akan menimbulkan ke-mudhorot-an bila keluar dari rel syari’at Islam. Terlebih pengetahuan tentang kesehatan imbas dari mengkonsumsi bangkai binatang tidak banyak mereka ketahui.
Setelah menganalisa hal tersebut, kita dapat memberikan simpulan yakni dalam beraktivitas perlu tsaqofah yang mendasar. Baik berkaitan dengan cara yang benar dalam melakukan aktivitas bagaimana Islam memandang hingga informasi kesehatan dampak dari mengonsumsi makanan berupa bangkai binatang. Sehingga, ketika tradisi adat bertentangan dengan nilai syari’at, maka tidaklah boleh dilakukan sekalipun mengandung visi humanisme/qimah insaniyah.
Hal lain, yang perlu dikaji lebih mendalam yakni peran dari negara untuk mengurus para rakyatnya dalam mengkonsumsi makanan sehat. Begitu juga dengan resiko bagi para peternak yang sudah menghabiskan banyak modal untuk biaya ternaknya. Negara haruslah mengurus serta mengontrol sedetail mungkin kepada para peternak lokal hingga mampu menyajikan hasil ternak lokal kepada para konsumen.
Negara memungkinkan bisa lebih melayani rakyat, bila diatur secara komprehensif merujuk pada tatanan syari’at Islam. Sehingga sebagai peternak akan ter-support untuk terus maju dan melejit menjadi peternak yang handal penghasil sapi yang sehat. Tentunya dengan edukasi pengelolaan peternakan, berikut dengan produk-produk lainnya seperti sapi, keju, dan lain sebagainya. Para konsumen pun juga akan merasa aman, tentram hatinya sekaligus sehat dengan mengkonsumsi makanan halal dan thoyib.
Wallahu’alam bishowwab.
Komentar