Kepemimpinan Dalam Pusaran Kepentingan

Presiden Jokowi dalam sambutannya saat meluncurkan Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 di Djakarta Theater, Jakarta, pada Kamis, 15 Juni 2023 menyampaikan sedikitnya ada tiga hal pokok penting yang akan menjadi acuan untuk menggapai visi Indonesia Emas 2045. Pertama, stabilitas bangsa harus terjaga dengan baik karena tanpanya tidak ada negara yang berhasil menggapai kemakmuran.

 

Kedua, perlunya keberlanjutan dan kesinambungan kepemimpinan. Presiden menganalogikan, kepemimpinan pada sebuah bangsa itu seperti tongkat estafet yang harus bersambung dan bukan dimulai dari nol pada setiap kepemimpinan. “Kepemimpinan itu ibarat tongkat estafet, bukan meteran pom bensin. Kalau meteran pom bensin itu ‘Pak dimulai dari nol ya’ sama ditunjukkan ini. Apakah kita mau seperti itu? Ndak kan. Masa kayak meteran pom bensin, mestinya kalau sudah dari TK, SD, SMP, ini ya kepemimpinan berikut masuk ke SMA, universitas, nanti kepemimpinan berikut masuk ke S2, S3 mestinya seperti itu. Tidak maju mundur poco-poco, ndak,” jelasnya.

 

Ketiga adalah sumber daya manusia (SDM) yang menjadi kekuatan besar bangsa Indonesia. Presiden mengingatkan bahwa kekuatan besar tersebut jangan hanya unggul dari segi kuantitas, tetapi juga dari segi kualitasnya, baik secara fisik, skill, karakter, disiplin, hingga penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (presidenri.go.id, 15/6/2023).

 

Jokowi menambahkan, hilirisasi industri juga menjadi hal yang sangat penting. Jika hilirisasi industri–misalnya pada ekosistem industri kendaraan listrik–berhasil dilakukan, maka hal tersebut akan melompatkan Indonesia. Di samping itu, orientasi pembangunan yang Indonesiasentris juga penting dilakukan yakni dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang diharapkan bisa memeratakan ekonomi Indonesia. Sebab faktanya, sekarang 56 persen penduduk Indonesia ada di Jawa dan 58 persen Produk Domestik Bruto (PDB/GDP) Indonesia juga berada di Jawa. 

 

Kepemimpinan Kapitalistik: Bom Waktu

 

Sebuah negara atau peradaban, tentu maju mundurnya bergantung dari pemimpin dan regulasi yang dibawa oleh pemimpin itu. Sepanjang kapitalisme menjadi sistem pengaturan urusan rakyat, belum pernah negara Indonesia bahkan dunia mengalami kesejahteraan hakiki. Sebaliknya penderitaan dan kesempitan hidup marak dihadapi rakyat. Seolah anak ayam kehilangan induknya, pemimpin ada ,namun rakyat berjuang sendiri memenuhi kebutuhan pokoknya. 

 

Prinsip kapitalisme adalah materi, segala sesuatu diukur dari materi. Wajar, sebab asasnya adalah sekuler, atau memisahkan agama dari kehidupannya. Otomatis, manusialah yang paling berhak membuat peraturan bagi semua urusan. Ditambah dengan sistem politik demokrasi kesejahteraan semakin jauh dari jangkauan. 

 

Demokrasi memiliki empat pilar kebebasan yang sangat tidak manusiawi. Pertama kebebasan beragama, kedua kebebasan memiliki, ketiga kebebasan berperilaku dan keempat kebebasan berpendapat. Keempatnya benar-benar mengagungkan manusia sebagai pembuat hukum. Di alam demokrasilah kapitalisme mendapatkan panggung. 

 

Saat para kapitalis atau pemodal besar ingin mengeksploitasi hutan, tambang, gas dan bahkan lahan gambut untuk berkebun kepala sawit, pemerintah menggodok sebuah regulasi dan kemudian sahlah peraturan pemerintah dan lain sebagainya. Yang terparah adalah pengesahan undang-undang Omnibuslaw. Yang disahkan begitu cepat padahal seharusnya butuh waktu yang lumayan panjang, sebab Omnibuslaw berisi ringkasan undang-undang lama. Namanya ringkasan, maka akan ada evaluasi dan peninjauan ulang sejauh apa undang-undang lama ini bisa diringkas dalam satu pasal. 

 

Itulah mengapa, kepemimpinan dalam sistem demokrasi ibarat bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak menciptakan situasi cheos. Namun bebalnya, pendukung demokrasi selalu menemukan alasan untuk menutupi kelemahan itu dan kemudian tetap memiliki daya tarik di hadapan rakyat untuk terus berpihak. Jargonnya adalah demokrasi ajang untuk memilih pemimpin. Ada hak suara, yang jika tidak digunakan akan disalahgunakan oleh orang yang tidak berhak bahkan jahat. 

 

Faktanya, meskipun susah memilih “orang baik” nasib tak pernah beranjak membaik. Sungguh miris jika kemudian presiden mengibaratkan kepemimpinan bak seorang anak yang terus naik kelas. Bahkan tak boleh seperti pom bensin yang dimulai dari nol. Alasannya, kepemimpinan tidak berlaku hukum surut. Melainkan terus maju. Jika pemimpin itu terus maju dengan tetap membawa demokrasi, bersiaplah untuk terus kecewa. Fix! tak akan ada perubahan menuju kondisi lebih baik. 

 

Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan

 

Kepemimpinan dalam konteks bernegara adalah amanah untuk mengurus rakyat. Rasulullah saw. bersabda: “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari dan Ahmad). Maka, sangat penting diperhatikan dengan apa pemimpin itu kelak memimpin rakyatnya. Agar dengan sesuatu itu amanah mengurusi rakyat bisa terlaksana sempurna. 

 

Jadi bukan sekadar naik kelas atau tidak. Bahkan hal yang demikian tidak masuk hitungan. Kepemimpinan bukan main-main, sebab kelak menjadi amal dari pemimpin tersebut yang akan dimintai pertanggungjawaban. Mengurusi kemaslahatan atau kebutuhan rakyat yang menjadi amanah seorang pemimpin tentu harus sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya (syariah Islam). Karena itu selalu merujuk pada syariah Islam dalam mengurus semua urusan rakyat adalah wajib.

 

Allah SWT berfirman yang artinya,”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah perkara itu ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah)“(TQS al-Nisa’ [4]: 59). Jelas, kepemimpinan yang didasarkan pada prinsip kapitalisme demokrasi, yang memisahkan agama dari pengaturan negara adalah haram.

 

Maka, dalam Islam, agar terwujud kepemimpinan yang mampu meriayah urusan dan maslahat umat secara sempurna, membutuhkan pilar pemerintahan, yaitu pertama kedaulatan di tangan syara. Allah SWT berfirman yang artinya,” Katakanlah (Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” (TQS al- An’am:57).

 

Tidak ada makhluk yang berhak membuat hukum, pun manusia meskipun diberi akal dan segenap potensi. Hukum harus berasal dari zat yang tak berkepentingan terhadap apapun. Alam semesta dan seisinya adalah ciptaan Allah sudah selayaknya Allah-lah pengaturnya. 

 

Pilar kedua, kekuasaan di tangan umat, menurut sistem demokrasi kedaulatan rakyat adalah rakyat yang membuat aturan walaupun pada faktanya bukanlah seluruh rakyat yang membuat aturan, tetapi ada perwakilan, yang ternyata diangkat oleh para oligarki karena ada kontrak politik yang dijalankan maka wakil yang duduk dalam satu jabatan mendapat sokongan atau dukungan dari partai politik dan para pemilik modal. 

 

Jika demikian, mungkinkah hukum akan terbebas dari kepentingan? Jika sudah demikian, maka fakta yang mau atau tidak harus ditelan bahwa kepemimpinan hari ini berada dalam pusaran kepentingan. Menjelang pemilu lebih ganas lagi. Tak ada lawan atau kawan, yang ada adalah kepentingan abadi. Jika sudah begini adakah peran rakyat? Ada, setiap lima tahun, suara rakyat adalah emas yang akan diperebutkan. Setelahnya, sibuk lagi dengan berbagai kepentingan. 

 

Pilar ketiga, wajib mengangkat satu pemimpin (Khalifah) saja sesuai perintah Rasulullah Saw, ” dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Jika ada dua khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang dibaiat terakhir” (HR. Muslim 4905). Pemimpin tak boleh berbilang, inilah yang hari ini dijadikan senjata oleh kaum kafir, dengan ide nation state pasca ditandatanganinya perjanjian Skyes Pivot, dunia Muslim terbagi menjadi puluhan negara kecil, dengan kepala negara dan hari kemerdekaannya. Dimana setiap pemimpinnya justru tunduk kepada kafir penjajah. 

 

Pilar Keempat, fungsi legislasi di tangan Khalifah, dimana ada kaidah fikih ” pendapat imam menghilangkan perbedaan“. Maka, ketika imam atau pemimpin dalam Islam telah menetapkan hukum yang digalinya secara kuat melalui proses istimbath yang sahih, maka wajib bagi siapapun untuk tunduk, patuh dan terikat, meskipun sebelumnya dia telah mempunyai pendapat sendiri. Dengan ini, bukan bermakna kepemimpinan bersifat otoriter, Khalifah tetap menerima masukan dari majelis umat dalam rangka muhasabah Lil hukam

 

Demikianlah, semua yang semestinya diwujudkan hari ini adalah kepemimpinan yang berada dalam Rida Allah sebab telah disyariatkan, bukan yang lain. Wallahu a’lam bish showab.

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *