Ketika Tradisi diatas Syariat
Viral di media sosial sebuah video yang memperlihatkan suasana hajatan bak met gala yang dihadiri pesohor dunia, acara digelar di Madura, dan dihadiri tamu undangan dengan memakai kiloan emas, penampilan bertabur perhiasan, ada yang panjang kalungnya bisa mencapai Rp30 cm dan menjuntai mulai dari leher hingga perut. Berat kalung tersebut belum termasuk dengan cincin, gelang, dan aksesoris kepala yang diduga juga memiliki bobot serupa.
Terlihat para tamu yang hadir menjadi sorotan usai saling bersaing memamerkan perhiasan yang terpampang di tubuh mereka. Selain ibu-ibu, anak-anak perempuan di hajatan tersebut juga terekam mengenakan pakaian yang tak kalah meriah. Hal ini mengingatkan sebuah video yang juga viral di tahun 2022 lalu, memperlihatkan suasana di sebuah pesawat yang mengantar pulang ke tanah air jamaah haji asal Sulawesi Selatan.
Terlihat dalam video itu para ibu-ibu Bugis merias wajahnya dan mengganti bajunya dengan pakaian adat, yang menarik mereka jug mengenakan perhiasaan yang ukuran dan jumlahnya mencolok. Rupanya, bagi jemaah haji Bugis, mengenakan pakaian mencolok sepulang berhaji tidak untuk pamer, tapi melestarikan tradisi yang sudah ada sejak zaman pendahulu mereka. Hal itu dikatakan Salmah (56) seorang jemaah haji asal kloter UPG 7. “Ini tradisi orang Bugis. Tidak semua orangkan bisa ke haji. Makanya ketika pulang ke Tanah Air dalam keadaan sehat dan selamat, kita pakai begini. Sebagai rasa syukur karena sehat,” kata Salmah.
Hasbiah, salah satu jamaah haji mengaku ia tak tahu persis apa pesan dari tradisi ini. Dia hanya berusaha menjalankan amanah orang tua untuk melakukan hal serupa.”Pesan orang tua pakai tradisi ini sebagai penanda orang yang baru pulang haji,” kata Hasbiah (tribunnews.com,18/5/2023).
Tradisi Lebih Tinggi dari Syariat, kemunduran Berpikir
Menggunakan perhiasan bagi wanita tidak ada larangan dalam agama. Secara fitrah wanita memang identik dengan perhiasan, halal baginya berhias menggunakan perhiasan. Namun, segala sesuatu yang berlebihan pun menentang syariat sebaiknya tidak dilakukan, sehingga hal yang boleh tidak berubah menjadi haram.
Seringkali tradisi diikuti tanpa pengetahuan yang cukup mengapa harus mengikuti. Perhiasan emas seringkali pula dijadikan investasi oleh masyarakat kita. Karena memang emas termasuk dalam logam mulia yang nilainya tidak pernah turun. Hingga syariat menetapkannya juga sebagai mata uang. Sistem hari ini yang lebih banyak menjadikannya sebagai komoditas, sedangkan uang diganti kertas atau logam tanpa ada cadangan emas atau yang lebih dikenal dengan fiat money.
Karena hari ini menjadi komoditas, seolah orang yang memiliki perhiasan emas terbanyak lah yang sejahtera, terpandang dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari masyarakat biasa. Sungguh pemikiran yang sangat rendah, sebab kemuliaan seseorang bukan ditentukan dari seberapa mentereng penampilannya. Kebaikan hati, pemikiran yang cemerlang serta adab yang santun masih menjadi nilai tertinggi untuk diterima masyarakat manapun.
Inilah fakta ketika kita hidup di era kapitalisme liberal, agama bukan lagi menjadi standar perbuatan. Melainkan banyaknya materi yang mereka miliki dan kuasai, entah bagaimana caranya. Para wanita pun terseret dalam makna mengenakan perhiasan yang tidak lagi syar’i. Padahal Allah SWT berfirman, yang artinya, “… dan janganlah mereka memukulkan kaki-kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ….” (Qs an-Nur :31). Makna ayat ini adalah adanya larangan bagi seorang Muslimah membunyikan perhiasannya yang bertujuan menarik perhatian orang lain, utamanya lawan jenis.
Meskipun bukan lawan jenis, namun dengan mempertontonkan perhiasan secara berlebihan menunjukkan tak ada empati terhadap saudaranya yang lain, yang kurang beruntung serta hidup kekurangan. Dan tentu saja kapitalisme meniscayakan hal ini terjadi, individualisme menjadi perangai yang menghiasi perilaku mereka yang memiliki harta banyak.
Di ayat yang lain, Allah juga melarang para wanita Muslimah berhias sebagaimana orang-orang jahiliah “Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku se perti orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (Qs al-Ahzab:33). Kebebasan berperilaku inilah yang diartikan sebagai jahiliah. Sebab Islam sudah mengatur sedemikian rupa agar wanita meskipun menggunakan perhiasan namun tak kehilangan kemuliaannya. Bukankah ironi, sepulang dari tanah suci dan menjadi tamu Allah atas izin Allah namun membuka aurat hingga tabaruj dengan alasan tradisi? Lebih parah lagi, suaminya merasa itu bukan sebuah kesalahan.
Jika beberapa waktu lalu viral flexing dari kalangan pejabat, ternyata masyarakat juga terpapar dengan ide jahiliah ini. Islam datang untuk mengubah kebatilan menjadi sesuai syariat. Sejatinya bukan untuk kemuliaan siapapun kecuali manusia itu sendiri. Allah tak membutuhkan apapun dari makhluknya sekalipun manusia sedunia ini menjadi kafir, Allah dan kehilangan kekuasaan dan KeagunganNya.
Islam Aturan Sempurna di Dunia
Seorang pemimpin dalam sistem Islam adalah periayah, pengurus urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,” Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.“(HR al-Bukhari dan Ahmad). Maka, pemimpin harus memastikan seluruh kebutuhan asas rakyatnya terpenuhi secara makruf, adil dan mudah. Hingga kesejahteraan bukan lagi barang langka.
Penjagaan negara tak hanya meliputi kebutuhan pokoknya, tapi juga sekunder dan tersiernya. Pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier, semisal hiburan atau perhiasan, sama seperti pemenuhan kebutuhan pokok, tidak boleh melanggar syariat. Justru hal-hal yang mubah akan didorong untuk menjadi wasilah mendekat kepada Allah SWT. Sekaligus juga sebagai ucapan syukur atas karunia yang telah diberikan kepada Allah SWT. Sebab wanita shalihah adalah perhiasan dunia itu sendiri. Wallahu a’lam bish showab.
Baru tahu ada budaya memamerkan perhiasan seperti itu di Bugis. Agak lebay dan norak sih kalau dilihat nilai estetisnya. Alhamdulillah agama sudah mengatur agar kita sebaiknya tidak seperti itu.
Tulisan yang menarik Mbak Rut.