Ramadhan Menjelang Harga Menjulang, Haruskah Jadi Tradisi?

Ramadhan Menjelang Harga Menjulang, Haruskah Jadi Tradisi?

Setiap kali jelang Ramadhan, kenaikan harga seolah sudah jadi tradisi. Layaknya de javu,  terulang lagi dan lagi. Meski berat, publik selalu menerima seperti halnya menerima musim kemarau dan hujan yang datang silih berganti.

Namun, tak salah juga kiranya bila nalar kritis mulai dikedepankan dalam bentuk tanya, haruskah hal ini terus terjadi?
Idealnya tidak harus. Apalagi tiada seorang pun bisa membantah bahwa situasi pasca pandemi saat ini tampak begitu suram. Mulai dari daya beli masyarakat yang menurun tajam, hingga potensi kebocoran anggaran hingga ratusan triliun. Duh, miris.

Melansir dari situs cnnindonesia, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Tjahya Widayanti mengatakan kenaikan harga bahan pokok yang terjadi di awal bulan Ramadan ini dipicu oleh kenaikan permintaan dari konsumen. Yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa pedagang untuk mengerek harga bahan pokok. (cnnindonesia)
Alih-alih menawarkan solusi, pemerintah justru menghadirkan ironi. Padahal sejatinya pedagang juga bagian dari rakyat yang harusnya dirangkul dan diurusi.
Lepas dari ritual naiknya harga yang tiap tahun menyapa, baiknya kita menyimak apa dan mengapa terjadi, hingga di penghujung tulisan ini bisa kita bersama menarik kesimpulan harus bagaimana.
Memang hukum permintaan dan penawaran itu sifatnya sunnatullah. Saat permintaan meningkat maka penawaran pun tinggi, demikian sebaliknya. Seperti yang kerap terjadi jelang Ramadan dan Idul Fitri. Hal yang wajar dan alami adanya.
Namun permasalahan timbul bila dikelola ala kapitalisme. Sesuatu yang alami menjelma jadi momok yang menghantui. Prinsip kebebasan kepemilikan membiarkan mekanisme pasar berjalan liar tanpa aturan. Campur tangan negara nyaris hilang seperti tertiup angin.
Padahal ketika permintaan akan barang tertentu di suatu daerah meningkat misalnya, sementara tidak mampu dicukupi sendiri maka negara dapat meregulasi laju distribusi. Mengirimkan dari daerah lain yang berada dalam kondisi surplus. Bukan melepaskannya pada the invisible hand (tangan tak terlihat) yang rentan masuk angin di tengah jalan, yang berwujud antara lain penimbunan, monopoli hingga mafia kartel.
Usah heran karena sistem ekonomi yang bersandar pada kapitalisme tersebut dengan sendirinya memberikan kebebasan pada setiap orang dalam menguasai sumber daya. Akibatnya rawan menimbulkan kesenjangan karena modal yang akhirnya menjadi penentu keberhasilan.
Memang kacaunya mekanisme pasar tak selalu akibat permainan kotor para kapital pemegang modal. Adakalanya terjadi karena sebab alami seperti bencana alam yang menimpa suatu daerah. Hanya saja kembali lagi selama peran negara dipangkas atau gaib, selama itu pula mekanisme pasar akan timpang. Sebabnya tiada seorang pun di dunia ini yang ingin merugi, semua berambisi meraih untung. Utamanya pihak-pihak yang bergelut di dalamnya. Dari hulu hingga ke hilir, mulai pengusaha kecil hingga raksasa.

Solusi Islam Sesuai Fitrah

Islam satu-satunya agama sesuai fitrah. Bagaimana tidak, datangnya dari Allah Swt., Sang Maha Pencipta  melalui perantaraan utusan-Nya. Dengan sendirinya Islam hadir untuk menjawab segala permasalahan yang terjadi dalam hidup manusia. Sebab mustahil Allah zalim terhadap ciptaan-Nya. Termasuk dalam hal perekonomian.

Berbeda dengan ekonomi kapitalis berdasarkan akal manusia yang serba terbatas, maka ekonomi Islam tunduk pada syariat Ilahi sejak asasnya.

Maka bila terjadi kenaikan harga seperti yang terjadi saat ini tanggung jawab untuk mengatasinya dibebankan pada negara. Tak lain karena negara dalam pandangan Islam wajib menjamin kemaslahatan setiap individu rakyat.
Negara akan menjalankan kebijakan menurut syariah Islam yang memandang kelangkaan bukanlah merupakan persoalan utama. Namun masalah utamanya ada pada distribusi.

Berkaca dari sejarah akhir tahun 17 H paceklik pernah melanda Madinah. Khalifah Umar ra kemudian mengirim surat kepada Amru bin Al Ash, gubernur beliau di Mesir yang isinya:
“Dari hamba Allah, Umar, Amîrul Mukminin, kepada Amru bin al Ash: salaamun ‘alaik, ‘amma ba’du, demi umurku wahai Amru, tidakkah engkau peduli jika engkau dan orang yang bersamamu kenyang, sementara aku dan orang yang bersamaku binasa (karena kelaparan), (kirimkanlah) bantuan!”
Kemudian Amru membalas surat tersebut:
“Kepada hamba Allah, Umar, Amîrul Mukminin, dari hamba Allah, Amru bin al Ash, amma ba’du, aku penuhi seruan engkau, aku penuhi, sungguh telah kukirim kepadamu unta-unta (dengan muatan makanan di atasnya), yang awal rombongannya akan sampai kepada engkau, sementara ujung rombongannya masih ada di tempatku, wassalaamu ‘alaika wa rahmatullaah” (Imam As Suyuthi (w.911 H), Husnul Muhadharah fi Tarikh Mishr wal Qahirah, 1/156. Maktabah Syamilah)

Sementara jika seluruh wilayah dalam negeri keadaannya sama, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor dengan tetap terikat pada syariat Alah Swt.

Teladan terbaik tentu dari Rasulullah saw. Beliau sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi ghabn (penipuan harga) maupun tadlis (penipuan barang/alat tukar), serta mengharamkan penimbunan (ihtikar).

Dengan kata lain sosialisasi mengenai ekonomi berbasis syariah terus dilakukan negara pada walau syariat telah legal formal. Hal ini karena setiap kemaksiatan, apalagi yang terkait ekonomi, berisiko menghancurkan sendi-sendi kehidupan ekonomi.
Di sisi lain bukannya menyalahkan rakyat, penguasa dalam Islam harus siap menerima bila dikoreksi oleh rakyatnya. Untuk kemudian melakukan perbaikan. Sebagaimana khalifah Mu’awiyah pernah berkhotbah pasca pencabutan pemberian (subsidi) kepada masyarakat. Beliau menyeru dari atas mimbarnya agar rakyat mendengar dan menaatinya.
Mendengar hal itu maka berdirilah Abu Muslim seraya berkata,
“Tidak (wajib) mendengar dan ta’at hai Mu’awiyah).”
Muawiyah pun bertanya sebabnya dan dijawab oleh Abu Muslim, “Bagaimana engkau bisa menyetop subsidi, padahal dia bukan hasil kerja engkau, bukan hasil kerja bapakmu, bukan pula hasil kerja ibumu?” Subsidi pun seketika batal dihentikan. (Mawâridudh Dham’ân Li Durûsiz Zamân, 4/117).

Sudah tentu segala sesuatu yang baik hanya akan efektif bila bertemu dengan yang baik pula. Ekonomi berbasis syariah juga hanya dapat dirasakan maslahatnya jika ditopang oleh penerapan syariah kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Saatnya umat muslim sama-sama kembali meneladani Rasulullah saw. dan para sahabat yang tiada henti mengkaji, dan menyeru pada Islam. Wallaahu a’lam.

 

 

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *