UTANG 50 MILIAR ANIES: DEMOKRASI TERBUKTI MAHAL DIONGKOS

Demokrasi ternyata memang mahal diongkos. Sepekan ini jagad Twitter diguncang dengan surat utang 50 miliar Anies Baswedan kepada Sandiaga Uno. Surat utang tersebut diduga dimunculkan kembali karena kepanikan pihak lawan terhadap popularitas Anies sebagai calon presiden  di media sosial yang lebih besar.

Tak lama secara blak-blakan Anies menjawab bahwa pada masa Pilkada DKI, banyak sumbangan untuk mendukung ia dan Sandiaga maju sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Terkait pinjamannya kepada Sandi, menurutnya itu bukanlah uang Sandi, dan juga bukan utang jika berhasil menang di Pilkada 2017.

Hal tersebut karena, uang itu milik pihak ketiga, sedangkan Sandiaga Uno hanya menjadi pihak yang menjamin perjanjian tersebut. Jadi apabila mereka berhasil dalam pilkada saat itu, layaknya uang tersebut dicatat sebagai dukungan, namun jika tidak berhasil dalam pilkada maka dana tersebut akan dijadikan hutang yang harus dikembalikan (bogorraya.pikiranrakyat.com pada 12/2/2023).

Ternyata demikian pelik berurusan dengan jabatan ala demokrasi. Bursa semacam ini sejatinya telah menjadi rahasia umum. Politik uang adalah cacat bawaan yang dibawa oleh sistem demokrasi. Disebut cacat bawaan karena fitrah demokrasi memang meniscayakan hal demikian pasti terjadi. Kaidah tidak ada makan siang gratis benar-benar di aplikasikan dengan sempurna.

Jika kita ingat jargon kolosal pemilu demokrasi, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, sungguh sejatinya semua itu bohong. Coba kita dudukkan kembali, bagaimana bisa, misal seorang yang religius, adil, memiliki kemampuan memimpin dan memajukan ekonomi bangsa dibiarkan memimpin dalam sistem demokrasi jika ia tidak punya dana? Tentu tidak bisa. Demokrasi hanya membuka pintu untuk mereka yang punya uang.

Realitanya demokrasi itu adalah dari rakyat oleh rakyat untuk konglomerat. Hal tersebut karena yang memiliki kepentingan atas siapa yang layak duduk sebagai pejabat negara adalah konglomerat. Maka dana konglomerat akan mengalir kepada siapa saja yang bersedia menjamin mulusnya kepentingan-kepentingan mereka. Siapapun dia, tak terkecuali seorang Anies Baswedan sekalipun.

Jadi janganlah rakyat terperangkap dalam euphoria ini. Karena biaya politik yang mahal itu harus dikembalikan baik dengan modal maupun kebijakan-kebijakan yang menjawab kebutuhan konglomerat. Tak jarang semua itu malah harus dilakukan dengan melanggar aturan, prinsip moral dan etika. Sehingga akhirnya penjara pun dipenuhi para pemegang amanah yang tergelincir di jalan berliku demokrasi.

Mengapa Demokrasi Mahal di Ongkos?

Calon legislatif maupun eksekutif yang maju dalam sistem demokrasi harus mengerahkan segala sumberdaya yang mereka miliki termasuk sumber dana untuk membentuk citra diri yang baik dan merayu para pemilihnya. Semua itu dilakukan melalui program kampanye yang dilakukan secara massif. Kampanye ini mahal luar biasa.

Apalagi sistem pemilu saat ini telah mendorong pembiayaan politik terpusat kepada pribadi kandidat, bukan pada parpol yang menaunginya (candidate-centered campaigns). Sehingga fungsi partai politik hanya pada pencalonan saja. Eh, tetapi bukankah parpol mendapat suntikan dana dari negara? Dananya kemana? Ya, dana itu hanya boleh digunakan untuk kepentingan internal parpol seperti pendidikan politik dan kaderisasi tidak dibolehkan dimanfaatkan sebagai biaya kampanye si calon. Nah lo?

Sedikit berbeda jika si calon telah memiliki pengaruh sosial alias sudah  memiliki popularitas. Popularitas ini berperan sangat penting sebagai pendongkrak elektabilitasnya. Semakin tinggi elektabilitas maka peluang memanen suara semakin besar. Inilah alasan mengapa artis sangat berpeluang ketika masuk dalam bursa pencalonan.

Diluar semua itu, masih ada peran relawan dan saksi sebagai penggerak kampanye yang tidak akan maju kecuali jika dibayar. Menurut mereka yang pernah menerjunkan diri dalam kontestasi, dua elemen ini ternyata yang paling banyak menghabiskan dana selama masa kampanye berlangsung. Lucunya, nanti jika kandidat menang bisa-bisanya mereka harus menyetorkan sejumlah 10-30 persen gaji kepada partai, ini belum termasuk biaya-biaya hantu lainnya. Disebut biaya hantu karena terkadang seringnya tidak kasat mata.

Pokoknya seandainya dana tersebut dikalkulasi, baik dana kampanye di daerah maupun di pusat, paling sedikit kisarannya Rp 167 triliun. Dana sebanyak itu setiap lima tahun sekali “dibakar” atas nama pesta demokrasi. Mubazir.

Hal itu tersebab output dari pesta demokrasi adalah kebuntungan yang luar biasa bagi rakyat. Wakil rakyat yang dipilih justru yang mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang menyusahkan. Pemimpin yang dipilih justru adalah orang yang menerbitkan sejumlah kebijaksanaan yang menyengsarakan. Duh, kekecewaan rakyat berlipat-lipat.

Apakah Praktik yang Demikian Hanya di Indonesia?

Saya telah menyampaikan bahwa politik uang sistem demokrasi adalah cacat bawaan. Jadi di manapun dia berada sudah sunnatullah begitu adanya.  Laman voaindonesia.com pada 2/10/2020 menyampaikan bahwa sebuah badan pemerhati keuangan kampanye (Center for Responsice Politics) memperkirakan pemilu presiden Amerika tahun 2020 menjadi pemilu termahal dalam sejarah Amerika, dengan perkiraan biaya hampir mencapai $11 miliar atau sekitar Rp 164 triliun. Jumlah tersebut lebih besar 50 persen dibanding pemilu presiden tahun 2016.

Adakah Sistem Politik Yang Murah?

Tentu saja ada, yakni sistem politik Islam. Syariah Islam menyediakan tiga hari saja sebuah jabatan kepemimpinan boleh kosong. Dalam tiga hari tersebut, dibentuk panitia pemilihan yang akan menyeleksi dengan ketat calon-calon yang diajukan. Hingga di hari ketiga terpilihlah seorang Khalifah yang baru. Ini bukan retorika, bukan. Para sahabat Rasulullah SAW sepeninggal beliau, melaksanakan musyawarah di Saqifah Bani Sa`idah untuk memilih pengganti Rasululah sebagai pucuk kepimpinan politik Islam di seluruh dunia. Tiga hari saja hingga terpilihlah Abu Bakar As-Sidiq sebagai Khalifah pertama.

Jadi mau tetap dengan sistem demokrasi yang  ongkos politiknya mahal dan tidak pasti, kalau direstui konglomerat naik itupun dengan tumpukan balas budi yang menguras kewarasan, ataukah kemudian gagal dan merana kemudian berakhir di rumah sakit jiwa?

Pastinya seorang Muslim yang memegang teguh  perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW akan menyimpan suaranya untuk memilih dalam sistem politik Islam yang akan melanjutkan manhaj kenabian, mendakwahkan Islam hingga ke seluruh penjuru dunia.

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *