Perayaan Halloween Berujung Maut
Itaewon berduka, pasalnya perayaan Halloween pasca Covid-19 berubah menjadi bencana. Jalan sempit di Itaewon -distrik kehidupan malam yang populer di ibukota Korea Selatan-dipenuhi sekitar 100.000 orang saat perayaan. Tentu ini melebihi kapasitas, yang berakibat pada berdesakannya orang-orang hingga sesak napas tak tertahankan. Korban pun mulai berjatuhan, ada yang pingsan, luka-luka, hingga meninggal. Siapa yang mengira jika perayaan tersebut akan berubah menjadi tragedi mematikan yang menelan korban meninggal sejumlah 154 orang (bbc.com, 30/10/2022).
Sungguh miris, niat hati hendak bersenang-senang, apa daya pulang tinggal kenangan. Lebih memilukan lagi adalah banyaknya generasi muda yang menjadi korban tersebut. Usia rata-rata korban yang meninggal adalah remaja usia 20-an tahun dan mayoritas korban tewas adalah perempuan. Euforia perayaan pasca Covid-19 begitu luar biasa, sebab sebelumnya yaitu saat pandemi mereka hanya bisa di rumah saja. Namun sekarang dengan adanya kelonggaran berkerumun, membuat masyarakat bagaikan tahanan yang baru lepas dari penjara. Merayakan dengan gegap gempita, berduyun-duyun, melampiaskan kesenangan yang selama ini terpendam. Namun naas, nyawa hilang begitu saja dalam perayaan ini.
Tentu, sebagai manusia, kejadian di Itaewon membuat hati ikut merasakan sedih dan turut berduka, menyayangkan ratusan nyawa yang hilang hanya dalam satu malam. Namun, berduka saja tidak cukup, melainkan harus diambil pelajaran dari peristiwa ini dan dicegah agar kejadian serupa tak terulang lagi. Bukankah ini bukan pertama kalinya peristiwa menewaskan ratusan korban yang terjadi di dunia? Belum lama dari kejadian ini, Indonesia pun juga mengalami hal serupa, yaitu kejadian di Kanjuruhan Malang yang menewaskan ratusan nyawa pula. Tidakkah ini menyadarkan manusia bahwa ada sesuatu yang salah dalam tata kelola kehidupan di dunia?
Inilah gambaran kehidupan di bawah sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini telah meniadakan aturan agama dalam kehidupan, mengharuskan kehidupan dunia terpisah dari agama. Alhasil, aturan manusia lah yang dipakai, aturan yang berasal dari buah pikir manusia sendiri. Tak ada standar halal haram atau baik buruk dalam aturan kehidupan. Standar yang digunakan adalah terpenuhinya kebutuhan jasmani, kesenangan individu, dan kebebasan dalam apapun. Itu sebabnya segala bentuk aktivitas yang dapat membuat senang tak peduli halal haram akan tetap dilakukan. Begitupula dengan perayaan halloween ini yang sudah pasti tidak ada manfaatnya sama sekali, hanya untuk kesenangan, begitu disambut antusias oleh satu dunia tak terkecuali Indonesia.
Sungguh disayangkan, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam justru ikut-ikutan dalam perayaan yang sama sekali tidak mendatangkan manfaat, tidak membentuk karakter generasi muda, bahkan melanggar syariat islam. Hal demikian sama saja dengan tasyabuh bil kuffar yang haram dilakukan oleh umat islam. Namun, bukannya mencegah atau melarang perayaan, justru pemerintah membiarkan hal tersebut. Membiarkan masyarakatnya, generasi mudanya, terjerembab dalam jurang kegelapan adalah bentuk kezaliman penguasa. Ini menunjukkan penguasa tidak mampu menjaga masyarakatnya dari kerusakan moral dan degradasi karakter baik. Lantas hendak jadi apa generasi muda di masa depan jika di usia mudanya hanya dihabiskan untuk bersenang-senang?
Hal ini sungguh jauh berbeda dengan islam. Islam sangat bisa diterapkan dalam kehidupan dan harus diterapkan agar mendatangkan rahmat bagi semua umat. Oleh karena itu islam tidak boleh dipisahkan dari kehidupan, islam harus dijadikan standar dalam membuat aturan. Dalam islam, pemuda adalah aset agama dan negara yang kelak akan menjadi penerus di masa depan. Di tangan pemudalah kelak peradaban bangsa akan terbentuk. Apakah kelak mereka akan meninggalkan hukum Allah atau menerapkan aturan Allah? Itu akan tergantung pada bagaimana penguasa saat ini membina karakter pemudanya. Jika islam yang dijadikan sebagai dasar untuk membina karakter generasi, maka sudah pasti hasil gemilang yang akan didapatkan. Sebab standar perbuatannya adalah keridoan Allah SWT dan keyakinan bahwa setiap perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Potensi pemuda tidak boleh disia-siakan, sebab di tangan pemudalah masa depan akan ditentukan. Tentu kejadian demi kejadian yang menewaskan ratusan nyawa pemuda tidak boleh terulang lagi. Oleh karena itu potensi yang ada pada pemuda harus diarahkan dengan benar agar hidup mereka bisa berarti untuk agama dan negara, bukan untuk kesenangan pribadi. Maka, untuk menciptakan pemuda yang berkarakter harus dilakukan beberapa mekanisme, pertama pemuda harus dibina dengan keimanan agar terbentuk ketakawaan individu yang kuat. Kedua, pemuda juga harus dibekali dengan banyak ilmu dan tsaqofah agar kelak mampu menjadi pemimpin yang amanah, bertanggungjawab, dan mampu memberikan solusi yang solutif dengan menempatkan orang-orang sesuai dengan keahliannya. Ketiga, pemuda juga harus dibekali dengan kepekaan terhadap masalah umat, agar kelak tidak menjadi orang yang apatis apalagi individualis, yang tidak peduli dengan yang lain. Keempat, negara harus memainkan perannya sebagai penjaga generasi, menjamin generasinya dalam jalan yang benar dengan memberikan fasilitas pendidikan yang memadai dan berkualitas. Negara juga turut andil untuk menjamin lingkungan dan suasana masyarakat dengan suanana keimanan yang kuat. Itu semua hanya bisa diraih jika aturan yang digunakan dalam mengatur urusan umat adalah aturan islam, bukan aturan manusia. Wallahua’lam
Komentar