TikTok ala Pengungsi Suriah
Siapa yang tidak kenal TikTok? Platform yang satu ini menjadi sangat populer di kalangan netizen. Para artis pun banyak yang memanfaatkan aplikasi ini, baik untuk branding, pemasaran atau sekadar mengekspresikan diri.
Melalui jejaring sosial ini, pengguna dapat mengedit, membuat dan berbagi klip video. Banyak musik latar pada aplikasi video sosial pendek, yang mendorong kreativitas, sehingga pengguna dapat membuat konten dengan menari dan bergaya bebas sesuka hati.
Namun apa yang terjadi ketika pengungsi Suriah menggunakan Tiktok. Jangan bayangkan mereka menari diiringi musik-musik lucu sehingga penonton terhibur melihatnya. Tidak. Mereka mengemis kepada warganet untuk mendapatkan hadiah virtual.
Tim BBC telah menemukan ada lebih dari 300 akun yang melakukan siaran langsung dari sejumlah kamp di Suriah. Pada siaran langsung yang dilakukan selama berjam-jam, mereka mengulang-ulang kalimat dengan Bahasa Inggris yang mereka tahu: “Please like, please share, please gift.” (BBCnewsIndonesia, 12/10/2020)
Melalui TikTok, mereka berharap bisa bertahan hidup. Selebihnya, mereka mendapat pertolongan dari bantuan kemanusiaan ala kadarnya, berupa makanan atau obat-obatan.
Ponsel, sambungan internet, dan akun TikTok untuk tayang setiap hari diperoleh dari Hamid, seorang makelar TikTok yang bekerja dengan 12 keluarga berbeda di kamp tersebut. Hamid mendapat imbalan komisi.
Hanya saja uang yang didapat para pengungsi setelah live berjam-jam, ternyata tidak utuh. Sebab muncul dugaan bahwa TikTok mengambil 69% dari total hadiah yang mestinya diperoleh oleh masing-masing akun tersebut.
Sementara TikTok sebagai aplikasi media sosial memiliki pertumbuhan tercepat di dunia, dengan lebih dari 3,9 miliar unduhan secara global. Perusahaan ini telah menghasilkan lebih dari US$6,2 miliar (Rp95 triliun) dari warganet yang berbelanja di dalam aplikasi. Angka yang fantastis. Berbanding terbalik dengan fakta miris pengungsi Suriah.
Saudara sesama muslim mengemis di aplikasi hanya untuk menyambung hidup. Padahal ketika dahulu terjadi Reconquista tatkala Granada jatuh, Sultan Beyezid II tidak hanya menolong kaum muslim, tapi juga menolong puluhan ribu pengungsi Yahudi dari Hispania untuk menetap di kota-kota kesultanan, termasuk Konstantinopel, Bursa, Damaskus, Kairo dan semenanjung Balkan.
Dekret Alhambra yang dikeluarkan Raja Ferdinand II dan istrinya, Isabella I, telah menghabisi banyak nyawa. Namun Khalifah justru memberi penghidupan yang layak untuk para imigran Yahudi Sefard. Bahkan, mereka pun dipersilakan tinggal di Yerusalem. Alhasil, populasi kaum Yahudi di Yerusalem meningkat pesat, yakni dari semula sekitar 70 keluarga pada 1488 menjadi 1.500 keluarga pada awal abad ke-16 dan merubah wajah demografi wilayah tersebut.
Bukti otentik berupa surat Rabbi Isaac Tzarfati kepada Dewan Yahudi Eropa Tengah, tahun 1453, “Negeri ini (Ottoman) dirahmati Tuhan dan penuh kebaikan. Di sini (saya) menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Kami (kaum Yahudi) tidak ditindas dengan pajak yang berat. Perniagaan kami dapat berlangsung bebas. Setiap kami dapat hidup dalam damai.”
Di wilayah Khilafah Utsmani, para pengungsi Yahudi merasakan kehidupan yang baik seperti halnya di tempat mereka sebelumnya, di Granada. Pemerintah Islam memenuhi seluruh kebutuhan dan hak mereka.
Maka para pengungsi Suriah yang mengemis melalui TikTok, adalah potret kaum muslim hari ini. Tanpa junnah, hidup terlunta-lunta. Tidak layak berharap pada TikTok atau pemimpin negeri muslim yang disekat oleh nation state. Sebab penolong mereka yang sejati hanyalah Khilafah.
Ya Abna’ul Mu’tashim, Ayna Anta!
Wahai cucu Mu’tashim, di mana kamu?’
Teriakan seorang perempuan Bani Abbasiyah yang dilecehkan tentara Romawi, didengar Khalifah Mu’tashim Billah hingga mengirim puluhan ribu pasukan untuk menyerbu Kota Amoria dengan panjang barisan yang tidak putus dari istana Khalifah. Dan melibas semua orang kafir yang ada di sana. Sebanyak 30.000 prajurit Romawi terbunuh dan 30.000 yang lainnya ditawan. Tsumma takuunu khilafatan ala minhajin nubuwwah.
Komentar