Konsisten dan Komitmen
Persoalan menutup aurat hari ini ngeri-ngeri sedap. Bagi Kaum Muslim sudah tidak payah lagi mempersoalkan dalilnya karena jelas wajib. Namun beberapa pihak ada yang keukeuh mengatakan itu belenggu kebebasan perempuan, melanggar hak asasi, hingga perlu muncul SKB tiga menteri hanya berisi tidak boleh ada paksaan pada siswa menggunakan pakaian atau atribut keagamaan. Aneh bin ajaib…
Namun sebenarnya, apapun jabatan, profesi, agama atau pangkat kita yang penting dilihat rakyat itu konsisten dan Komitmen. Pun meskipun hanya ibu rumah tangga. Maka, seadainya si Fulan adalah ketua pengajian, maka menjadi wajib bagi dirinya untuk senantiasa menyelaraskan perbuatannya dengan jabatannya. Menjadi teladan keshalihan bagi jamaah dimana ia menjadi ketua.
Seorang guru juga demikian, terlebih guru ngaji, maka yang ia ajarkan tak boleh bergeser dari tauhid, jika melenceng ke sekuler, memisahkan agama dari kehidupan, sore ngaji pagi dugem atau sebaliknya tentu patut dipertanyakan keilmuannya.
Dari Ibnu Umar RA dari Nabi SAW sesunggguhnya bersabda: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggungjawabnya. Seorang pembantu rumah tangga adalah bertugas memelihara barang milik majikannya dan akan ditanya atas pertanggung jawabannya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya.” (HR. Muslim).
Menjadi pemimpin minimal adalah untuk dirinya sendiri, sebab seseorang yang layak menjadi pemimpin adalah orang yang dilebihkan Allah SWT dari yang lain, meskipun hanya kesempatan atau waktu untuk menjadi pemimpin meskipun ia tidak kapable misalnya. Tetap ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang waktu yang ia miliki.
Selain itu, sebagai Muslim ada kewajiban menyelaraskan setiap perbuatan itu dengan aspek ruhiyah. Sebab, sejatinya dalam Islam tidak ada pemisahan antara materi dengan ruh, jika perbuatan itu materi maka kesadaran ia akan hubungannya dengan Allah itulah Ruh. Sehingga aspek ruh adalah ia mewajibkan dirinya untuk selalu taat, tunduk, patuh dan terikat dengan hukum syara, dimanapun berada, kapanpun dan saat dengan siapapun maupun sendiri.
Susah? Jelas! Makanya hari ini banyak orang yang tak mau repot menyelaraskan perbuatannya dengan larangan dan perintah Allah SWT. Karena ribet, tak mendatangkan keuntungan materi, menjauhkan circle pertemanan, menghilangkan jamaah jika ia tokoh, menghilangkan follower jika ia pelaku medsos. Polisi korupsi, jual narkoba ,menjadi backingan tempat hiburan menggeser centeng dan tukang pukul.
Dosen korupsi, berbuat cabul, dan masih banyak lagi, semua profesi tak luput dari kemaksiatan, padahal semestinya mereka menjadi teladan bagi yang lain, minimal untuk lembaga atau komunitasnya. Bisa dipahami pula mengapa komitmen dan konsisten itu berat. Terlebih di era kebebasan hari ini yang dimotori sistem politik demokrasi. Dimana di dalamnya ada kebebasan berpendapat,beragama , berperilaku dan memiliki. Berbagai undang -undang yang disahkan wakil rakyat semua mendukung empat macam kebebasan di atas.
Allah SWT seolah jauh dan hanya muncul di saat shalat, teladan Rasulullah Saw juga hanya ramai saat Maulid Nabi, itu pun hanya Sunnah tertentu yang diambil. Padahal Muslim, inginnya mati dengan cara Islam, namun saat sehat enggan diatur Islam.
Komitmen dan konsisten berat, karena keimanan seseorang pun naik turun. Maka jelas butuh sistem yang solid, yang tidak berdasar pendapat manusia, melainkan Wahyu yang jelas keakuratannya. Sebab, manusia sendiri dalam menentukan maslahat untuk dirinya seringkali bertentangan bahkan menimbulkan perselisihan. Beda kepala beda pendapat.
Semestinya, di era kecanggihan teknologi sebagaimana hari ini, memacu manusia untuk berubah lebih baik karena dimudahkan saat ia memenuhi kebutuhan hidupnya. Ibadah mudah, perbandingannya , naik haji sudah via pesawat hingga bisa mempersingkat perjalanan, namun sekali lagi karena manusia dikuasai teknologi tanpa standar yang benar, akhirnya setiap detik hidupnya berjalan nanar tanpa tujuan jelas.
Kemudahan teknologi justru menjadi bumerang, menyerang Kaum Muslim dengan larut dalam budaya barat. Apapun menjadi konten, pun aib rumah tangga tak lagi butuh diselesaikan tapi malah diviralkan. Yakin, semua itu tidak akan dimintai pertanggungjawaban? Pemimpin yang bertakwalah yang kini kita butuhkan, bukan sekadar diangkat namun untuk melanjutkan sistem bobrok ini.
Setidaknya marilah bermuhasabah, menghitung diri sendiri sebelum dihisab Allah. Sebab di saat hari itu tiba, tak akan ada yang bisa mengelak, bahkan minta tolong. Syafaat dan tebusan tidak diterima karena kemaksiatan bertubi-tubi tak kunjung bertaubat hingga akhir hayat. Nauzdubillah…
Komentar