Gen Z di Persimpangan Digital: Antara Potensi Perubahan dan Ancaman Hegemoni Nilai
Era digital adalah keniscayaan yang tak terelakkan. Perkembangan teknologi informasi telah menghadirkan berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia, mulai dari akses ilmu pengetahuan, komunikasi tanpa batas, hingga peluang partisipasi sosial yang luas. Namun, di balik kemudahan tersebut, ruang digital juga membawa beragam pengaruh buruk, terutama bagi generasi muda yang tumbuh dan berkembang bersamanya.
Data menunjukkan jumlah pengguna internet Indonesia pada 2025 mencapai lebih dari 229 juta jiwa, dengan mayoritas berasal dari kalangan usia produktif, termasuk Generasi Z (cloudcomputing.id, 12/08/2025). Angka ini meningkat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Artinya, peningkatan angka ini menunjukkan transformasi perilaku masyarakat yang mengandalkan internet untuk berbagai aktivitas. Serta ruang digital kini menjadi arena utama pembentukan cara berpikir, bersikap, dan bertindak generasi ini.
Gen Z kerap dipersepsikan sebagai generasi yang rapuh secara mental, mudah tertekan, dan rentan krisis identitas akibat paparan media sosial. Tekanan untuk tampil sempurna, mencari validasi, dan membandingkan diri dengan orang lain menjadi persoalan nyata. Namun, di sisi lain, menilai Gen Z semata sebagai generasi lemah adalah penyederhanaan yang keliru. Faktanya, mereka memiliki potensi besar yakni kritis terhadap ketidakadilan, berani bersuara, dan mampu menginisiasi perubahan melalui media sosial. Fenomena aktivisme digital ala Gen Z menunjukkan bahwa ruang maya dapat menjadi medium perlawanan, advokasi, dan kepedulian sosial dalam skala lokal yang berdampak hingga global (glocal activism).
Meski demikian, penting disadari bahwa ruang digital tidaklah netral. Ia didominasi oleh nilai-nilai sekuler kapitalistik yang menjadikan kebebasan individu, popularitas, dan keuntungan sebagai orientasi utama. Algoritma media sosial bekerja bukan untuk membentuk manusia berkarakter, melainkan untuk mempertahankan atensi demi kepentingan ekonomi. Akibatnya, nilai-nilai hidup yang terbentuk sering kali menjauh dari agama. Muncul kecenderungan inklusif-progresif yang memposisikan agama sebagai sesuatu yang relatif, bahkan layak dipertanyakan dan dinegosiasikan sesuai selera personal. Tak heran jika Gen Z memiliki sistem nilai yang kerap berbeda dengan generasi sebelumnya.
Di satu sisi, ruang digital memang membuka peluang belajar tanpa batas dan memperluas wawasan. Namun di sisi lain, ia juga memicu problem kesehatan mental, krisis makna hidup, dan pergerakan yang cenderung pragmatis. Aktivisme digital sering kali berhenti pada simbol, tren, dan pencitraan, alih-alih melahirkan perubahan mendasar. Karakteristik sebagai digital native membuat sebagian Gen Z lebih fokus pada viralitas dan validasi sosial ketimbang konsistensi ideologis dan solusi sistemis.
Kondisi ini menunjukkan bahwa penting untuk menyelamatkan generasi muda dari hegemoni nilai sekuler kapitalistik di ruang digital. Penyelamatan ini tidak cukup dengan literasi digital semata, tetapi harus menyentuh akar persoalan yaitu paradigma berpikir. Paradigma sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan harus diganti dengan paradigma berpikir Islam yang memandang kehidupan secara utuh, bermakna, dan bertujuan. Islam tidak hanya mengatur aspek spiritual, tetapi juga menjadi landasan ideologis dalam menyikapi persoalan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Pergerakan Gen Z yang memiliki energi besar perlu diarahkan agar tidak berhenti pada respons emosional dan pragmatis. Dengan paradigma Islam, Gen Z dapat didorong untuk menawarkan solusi yang sistemis dan ideologis, bukan sekadar reaktif terhadap isu-isu yang viral. Aktivisme tidak lagi sebatas ekspresi, tetapi menjadi upaya sadar untuk memperbaiki tatanan kehidupan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Akhirnya, upaya menyelamatkan dan mengarahkan Gen Z tidak bisa dibebankan pada individu semata. Diperlukan sinergi antara keluarga, masyarakat, dan negara. Keluarga berperan menanamkan akidah dan kepribadian Islam sejak dini, masyarakat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya nilai kebaikan, sementara negara wajib menghadirkan sistem yang melindungi generasi dari kerusakan nilai. Tanpa sinergi ini, Gen Z akan terus berada di persimpangan: antara menjadi agen perubahan hakiki atau justru terseret arus besar hegemoni digital yang menyesatkan.
Komentar