Buruknya Kapitalisme, Anak pun Jadi Komoditas

Suara Netizen Indonesia–Mengikuti berita penculikan anak, Bilqis Ramdhani , 4 tahun, sangat menguras emosi. Ia diculik oleh pasangan suami istri Adefrianto Syahputra S dan Mery Ana di Taman Pakui Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu, 2 November 2025 (Tribunnews.com, 16-11-2025). 

 

Sejak hari penculikan, Bilqis terus berpindah tempat hingga salah satu pelaku merasa keberatan dengan biaya perawatan Bilqis dan menawarkan pada sepasang suami istri, warga Suku Anak Dalam, Bagendang dan Ngerikai. Pasangan penculik memalsukan dokumen surat pernyataan seolah-olah ditandatangani orangtua Bilqis, yang menyerahkan anak karena tidak mampu (kompas.com, 14-11-2025).

 

Dengan polosnya, Begendang merelakan tabungan hasil kerjanya selama setahun berkebun, jual beli babi ke pengepul, dan kerja serabut lainnya, untuk diserahkan kepada pelaku agar bisa merawat Bilqis karena saat bertemu pertama kali Bilqis terlihat tak terawat. Nilai uang ganti adopsi selama perawatan tak tanggung-tanggung, Rp85 juta. 

 

Kemana Negara?

 

Kasus Bilqis bukan satu-satunya kasus penculikan anak di negeri ini. Sebelum dan sesudahnya semakin banyak kasus yang terungkap. Banyak keluarga yang kehilangan, dan masyarakat pun cemas. Rasa aman tercabut begitu saja, kemana negara? Maraknya penculikan anak atau orang jelas menunjukkan fakta gagalnya negara menciptakan lingkungan ramah anak.

Baca juga: 

Abraham Accords, Satu Langkah Dua Kehendak Terlampaui, Mungkinkah?

 

Di Sidoarjo Jawa Timur, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Sidoarjo pada Agustus lalu menangkap sepasang kekasih asal Slema Yogyakarta, BDN (23) dan ADR (22), terkait kasus penculikan balita MZA, asal Sedati, Sidoarjo. Motif pelaku, menurut AKPB M.Z.Rofik adalah ingin merawat anak tersebut dan meminta ibu korbanmenyelesaikan tanggungan hutangnya (beritajatim.com, 12-8-2025).

 

Dan kasus penculikan Bilqis, otomatis membuka catatan penting di Pusiknas Bareskrim Polri, periode Januari hingga 12 November 2025 menunjukkan, terdapat 50 korban berusia di bawah 20 tahun yang dilaporkan menjadi korban penculikan, atau 22,62 persen dari total 221 korban penculikan di Indonesia pada periode tersebut.

 

Sebanyak 28 polda menangani kasus penculikan, dengan lima wilayah tertinggi yaitu Polda Metro Jaya 38 kasus, Polda Aceh 23 kasus, Polda Sumatra Utara 22 kasus, Polda Sulawesi Selatan 15 kasus dan Polda Jawa Barat 14 kasus (pusiknas.polri.go.id, 13-11-2025). 

 

Jumlah itu bukan sekadar angka, tapi menyangkut nyawa manusia dan maraknya sindikat TPPO ( Tindak Pidana Perdagangan Orang). Sebuah sindikat kejahatan serius yang melibatkan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan cara ilegal seperti ancaman kekerasan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan, demi tujuan eksploitasi.

 

Eksploitasi ini dapat mencakup perbudakan, kerja paksa, eksploitasi seksual, atau perdagangan organ tubuh. Dalam kasus Bilqis hingga melibatkan masyarakat adat, tempat yang semestinya bebas dari tindak kriminal, namun menjadi tujuan pelaku menutupi kejahatannya. 

 

Sekuler Kapitalis Akar Masalahnya

 

Jika rasa aman sudah tercabut, maka bisa dipastikan sudah tidak ada lagi jaminan keamanan bagi anak di ruang publik. Hukum di Indonesia terbukti lemah dalam menghentikan tindak penculikan dan perdagangan anak. Tak hanya di dalam negeri, di luar negeri pun kita menghadapi ancaman yang sama. 

Baca juga: 

Hari Toleransi Internasional, Keberagaman Modal Pembangunan

 

Meski pemerintah berhasil memulangkan 554 warga negara Indonesia (WNI) korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) penipuan daring (online scamming) dari Myawaddy, Myanmar dan meskipun Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Polkam) Budi Gunawan mengatakan, pemulangan ini adalah wujud dari kehadiran negara dalam melindungi warganya (setneg.go.id, 18-3-2025). Tetap saja pemulangan ini seharusnya tak terjadi, jika saja pemerintah sigap dan peka melihat persoalan yang dihadapi rakyatnya. 

 

Kapitalisme sekuler ini memang sangat keji, manusia pun dijadikan komoditas perdagangan, meski ilegal, praktik ini tak usang karena zaman, terus ada. Kejahatan ini seringkali menyasar golongan rentan seperti anak, masyarakat adat, dan masyarakat miskin. 

 

Payung hukum tentang penculikan dan perdagangan orang memang telah ada, hanya saja, sanksinya sangat tidak menjerakan. Pasal 83 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan pelaku penculikan anak diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit 3 tahun, serta ancaman pidana berupa denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta. 

 

Cabut Kapitalisme Sekuler

 

Islam sebagai agama yang sempurna memandang keamanan dan jiwa manusia adalah salah satu dari maqasid syariah atau tujuan diterapkannya hukum-hukum Islam, yang secara utama bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah keburukan bagi umat manusia. 

 

Maka, penjagaan ini berupa jaminan dari negara, dimana negara wajib menerapkan hukum syara. Hanya syariat Allah yang memiliki sanksi tegas terhadap segala bentuk pelanggaran hukum syara, semisal penculikan dan perdagangan orang ini. 

 

Hukuman bagi pelaku penculikan adalah takzir, yaitu hukuman yang ditetapkan oleh Khalifah. Hukuman bagi pembunuhan ataupun perusakan tubuh adalah kisas, yaitu hukuman balasan yang seimbang bagi pelakunya.

Baca juga:

Abraham Accords, Simpul Penjajah Cerai Beraikan Muslimin

 

Negara juga bertanggung jawab dalam membentuk masyarakat yang bertakwa dan sejahtera. Karena mayoritas motif penculikan adalah kesulitan dan tekanan ekonomi. Sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan kian mempeparah keadaan, dengan hilangnya ketakwaan, manusia tak lagi berpikir halal haram ketika kebutuhan ekonomi mendesak. 

 

Andai saja para pelaku tersebut beriman pada Allah Swt. dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah Swt. telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk-Nya, mereka tidak akan melakukan cara haram untuk mendapatkannya. Rasulullah saw.bersabda, “Imam/Khalifah adalah penggembala (raa’in), dan dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.”(HR. Bukhari dan Muslim).

 

Maka, langkah yang ditempuh negara adalah membuka lapangan pekerjaan di dalam negeri seluas mungkin. Ini bisa terjadi jika negara mengelola secara mandiri potensi kekayaan alam yang luar biasa dan tidak menjualnya kepada asing baik atas nama investasi, hilirisasi, konsesi dan lainnya. 

 

Pengelolaan SDA akan meniscayakan tegaknya industrialisasi pendukunh ketahanan pangan, sekaligus memberikan pendapatan luarbiasa kepada Baitulmal, dengannya juga negara mampu menjamin pemenuhan kebutuhan komunal seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. 

 

Masyarakat yang sejahtera dan ketakwaannya senantiasa dijaga negara akan mewujudkan peradaban yang manusiawi, tidak menjadikan anak sebagai komoditas. Semua itu bisa terlaksana, jika syariat Allah saja yang diterapkan dan sistem kufur dicabut. 

 

Allah swt.berfirman,” Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS Al-A’raf Ayat 96). Wallahualam bissawab. [SNI].

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *