Rakyat Menjerit, Simpati Negara Makin Irit

Suara Netizen Indonesia–Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-80 baru saja digelar di Istana negara 17 Agustus 2025 lalu. Tak hanya acara rutin pengibaran Bendera Merah Putih tapi juga atraksi militer dari TNI-Polri mulai dari helikopter hingga 8 jet temput F-16 melakukan aksi flypass di atas Istana Kepresidenan.

 

Berbagai penampilan seni dan budaya juga ditampilkan, seniman dan musisi terkemuka di tanah air diberikan kesempatan untuk menunjukkan bakat mereka. Semua senang, semua bergoyang.

 

Tema besar tahun ini yakni Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju. Sayang, tema bagus, perayaan bagus namun tak dibarengi dengan evaluasi bagus, sudahkah kita benar-benar merdeka? Berbagai peristiwa ironi terus kita dengar, baca dan lihat. Seperti misalnya pernyataan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, yang juga keponakan Presiden Prabowo.

 

Ia mengajak generasi muda untuk tidak hanya mengandalkan pemerintah dalam mencari pekerjaan, itu sama saja masih menggunakan pola pikir dan mentalitas era kolonial. Seharusnya, anak muda berani menciptakan peluang sendiri dengan menjadi entrepreneur.

Baca juga: 

Stimulus Disana, Genjot Pajak Disini

 

Kreativitas bisa menjadi modal berharga untuk membuka usaha, mulai dari bisnis kuliner hingga fesyen. Rahayu juga menekankan pentingnya membaca peluang di sektor-sektor baru di era teknologi, termasuk agroindustri yang diprediksi terus berkembang karena isu ketahanan pangan kini menjadi prioritas nasional.

 

Rahayu juga mendorong generasi muda untuk lebih bijak mengelola keuangan, dengan cara berinvestasi, bukan sekadar menabung. Rahayu mencontohkan langkah Presiden Prabowo yang meresmikan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) untuk mengelola dana besar dalam mendukung megaproyek, seperti hilirisasi bauksit. Investasi semacam inilah yang berpotensi memberi keuntungan berlipat ganda sekaligus membawa nilai tambah signifikan bagi perekonomian Indonesia (halo.denpasar, 20-8-3/2025).

 

Apa yang disebutkan Rahayu terlihat mudah, semudah ia memandang persoalan karena ia kaya sejak kecil. Sehingga sikap peka dan kritisnya tak tumbuh sempurna. Berapa juta generasi muda fresh graduate dengan berbagai gelar berusaha mencari pekerjaan atau wiraswasta. Dan bukan hanya modal yang menjadi persoalan, namun jenis pekerjaan yang tak sesuai, syarat yang terlalu rumit, hingga banyaknya perusahaan yang justru melakukan efisiensi karyawannya karena kalah saing di pasar nasional maupun internasional.

 

Danantara? Belum menghasilkan apapun mengapa sudah dikampanyekan sebagai contoh investasi terbaik? Jangan lupa, danantara dibiayai dari BUMN yang mengelola kekayaan alam milik rakyat. 

 

Gelombang PHK susul menyusul, apa yang dilakukan negara? Bansos, BLT dan berbagai subsidi memang digelonyorkan, tapi di sisi lain pajak diperluas obyek yang dipungut, berbagai harga kebutuhan pokok naik, biaya kebutuhan publik juga naik ( air, listrik, BPJS dan lainnya), negara malah membuka kran impor hingga petani dan pengusaha menjerit, beras berlimpah tapi harga mahal, daya beli masyarakat pun menurun hingga tabungan terpakai untuk biaya hidup.

 

Bisakah negara lebih serius mengatasi semua persoalan di atas? Bisa, namun hanya janji, kita lihat setiap lembaga berebut pengaruh dan anggaran, mereka mengeluarkan kebijakan asbun (asal bunyi) bukan karena ingin melayani masyarakat, namun karena menjaga isi dompet sendiri. Asal Bapak Senang menjadi motto ketika mempertahankan kursi jabatan.

 

Masih hangat ketika Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, memberi saran agar warga Indonesia mencari kerja di luar negeri untuk mengatasi persoalan pengangguran terbuka sekaligus tukar pengalaman, karena budaya di luar negeri lebih disiplin dan profesional. Dan bagaimana jika kita tagih janji 19 juta lapangan pekerjaan yang pernah disampaikan Gibran Rakabuming Raka saat masih masa kampanye Pilpres 2024?

 

Kini saat Gibran benar-benar sudah menjadi wakil presiden, janji itu diungkit kembali oleh publik. Terlebih di tengah maraknya PHK serta tingginya pengangguran sepanjang awal 2025 ini (detik.com, 16-6-2025).

 

Kapitalisme Tak Akan Pernah Bisa Wujudkan Sejahtera

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran naik menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025. Jumlah itu bertambah 83,45 ribu orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Bisa dibayangkan pertambahan jumlahnya di bulan Agustus ini.

 

Pertambahnya jumlah pengangguran, menurut catatan BPS diikuti oleh adanya tambahan angkatan kerja sebanyak 3,67 juta orang menjadi 153,05 juta orang. Dari jumlah itu, yang sudah bekerja hanya 145,77 juta orang atau bertambah 3,59 juta orang dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

 

Sementara itu, sejak awal 2025 hingga bulan Mei, tercatat 26.455 orang terdampak PHK. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, mengatakan PHK tertinggi terjadi di wilayah Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Riau.

 

Menurut Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, investasi paling berpengaruh ke penurunan angka tenaga kerja. Investasi yang menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi justru tidak mampu menghadirkan tenaga kerja yang signifikan (deindustrialisasi) . Pertumbuhan ekonomi pun tidak berdampak langsung pada peningkatan tenaga kerja.

Baca juga: 

Kapitalisme, Genjot Obyek Pajak, Catut Zakat

 

Nailul menilai, realisasi 19 juta lowongan kerja sulit dicapai berdasarkan data di atas, jelas saat ini yang terjadi 1 persen pertumbuhan hanya menyerap 120 ribu tenaga kerja. Artinya per tahun hanya akan ada 600 ribu tenaga kerja yang terserap.

 

Sementara menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, masalah pada industri manufaktur menyumbang tingginya angka PHK dan berimbas pada naiknya pengangguran.

 

Esther mengatakan industri manufaktur banyak membutuhkan bahan baku impor. Namun, menguatnya dolar AS memicu kenaikan biaya produksi dan harga barang ikut meningkat. Saat harga barang semakin mahal, maka permintaan pasar akan menurun (detik.com, 25-5-2025).

 

Semakin digali penyebabnya, akan semakin terlihat jelas kelemahan Sistem Kapitalisme yang tengah diterapkan hari. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menilai bahwa dua ideologi ekonomi terbesar yaitu kapitalisme dan komunisme-sosialisme telah gagal memberi keadilan bagi orang banyak. Dia meyakini ekonomi Islam atau syariah bisa menjadi alternatif konkret.

 

Sayangnya, ia masih menjadi menteri keuangan dalam sistem yang gagal ini, ironi bukan? Kapitalisme sebuah sistem yang berfokus pada kepemilikan modal seseorang sehingga ia bisa menguasai faktor-faktor ekonomi. Tak ada batasan kepemilikan, apalagi halal haram. Maka bisa kita lihat peran negara sangat signifikan ketika berbicara investasi, dibuatlah payung hukum agar eksploitasi atas nama investasi, PSN, hilirisasi dan lainnya bisa berjalan legal.

 

Makna negara menguasai sektor-sektor ekonomi yang menjadi kepemilikan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945 benar-benar disalahgunakan sebagai kewenangan penuh menawarkan hingga menjual seluruh kekayaan negeri ini kepada asing. Berganti negara memungut pajak kepada rakyat sebagai bentuk partisipasi membangun negeri. Maka, disinilah awal mula bencana yang tak berkesudahan. Pajak semakin tinggi, pengangguran kian banyak, apalagi tingkat kriminalitas. Hukum pun bisa dibeli sehingga tak ada keadilan, berapa banyak koruptor dan pembunuh di negeri ini yang cepat bebas karena ada sistem remisi atau pengurangan masa tahanan. lengkap sudah penderitaan rakyat.

 

Jangan Hanya Sebut, Tapi Terapkan

 

Pengakuan Menkeu Sri Mulyani semestinya tidak hanya menjadi wacana. Tapi harus dikaji lebih mendalam sehingga benar-benar muncul kesadaran yang benar dalam diri masyarakat bahwa hanya Islam yang menjadi solusi. Tentu bukan Islam substansial, pelekatan istilah semata namun praktik tetap kapitalisme sebagaimana hari ini, dan bisa jadi yang dimaksud Sri Mulyani sendiri.

Baca juga: 

Gaza, Pelaparan Sistematis dan Momentum Kebangkitan Umat

 

Allah SWT. berfirman yang artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allâh”. (TQS al-Ahzâb 33:21).

 

Ayat di atas menjadi dalil bahwa kaum muslimin telah memiliki sosok teladan sepanjang masa, tak perlu sibuk menggodok hukum lain, sebab peradaban yang dibangun Islam susah terbukti mampu bertahan hingga 1300 tahun lamanya. Tak hanya menghasilkan kesejahteraan, ilmuwan yang mumpuni, pelayanan kesehatan gratis bahkan hingga menjadi mercuar peradaban dunia.

 

Kekuasaan dalam Islam bukan kebanggaan semata namun amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Sang Pemilik Kekuasaan Sesungguhnya. Maka, jika ia sebagai pemimpin sebuah negara atau urusan yang berhubungan dengan kebutuhan rakyat namun menipu dan terus menerus membuat kemudaratan, meski hanya lisannya, ia akan dilaknat Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.,”Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt. Untuk mengurus urusan rakyat lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Bukhari).

 

Sudah selayaknya sebagai muslim di negeri dengan jumlah penduduk terbesar di dunia beragama Islam mengambil Islam secara kâfah. Wallahualam bishowab. [SNI].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Pengelolaan Tanah Terlantar oleh Negara dan Harapan Pengentasan Kemiskinan

Penarikan tanah terlantar bisa menjadi celah pemanfaatan tanah bagi oligarki. Ini berarti kesempatan masyarakat miskin untuk berkembang semakin kecil. Rakyat kembali menjadi korban, sementara pengusaha mendapat kemudahan. Di sisi lain, pengelolaan tanah selalu dikaitkan dengan ketersediaan anggaran, seolah kepemilikan tanah hanya bermanfaat jika menguntungkan secara finansial. Padahal, tanah adalah sumber kehidupan. Tidak seharusnya tanah tunduk pada kepentingan bisnis dan investor.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *