Gudang Penuh, Perut Kosong: Kesenjangan Distribusi Pangan dalam Kapitalisme

Dilansir dari channel YouTube MMC Hub, Ombudsman Republik Indonesia melaporkan bahwa terjadi penumpukan stok sisa impor beras selama sekitar 1 tahun di gudang Bulog yang belum disalurkan ke pasar. Ketua Komisi 4 DPR, Siti Hediati Soeharto atau Titik Soeharto menyatakan bahwa beras impor yang sudah tersimpan hampir 10 bulan di Gedung Bulog menunjukkan tanda-tanda penurunan kualitas. Bahkan ditemui beras berkutu menunjukkan bahwa stok tersebut bukan dalam kondisi segar.
Temuan tersebut menjadi perhatian serius mengingat kualitas beras menjadi fundamental dalam menjaga kepercayaan publik dan stabilitas pangan nasional. Terlebih saat beras itu seharusnya sudah beredar di pasar atau melalui program bantuan, penemuan sisa beras impor di gudang Bulog menumpuk hingga lebih dari 1 tahun semakin memperparah momentum kelangkaan serta lonjakan harga beras di pasaran. Ombudsman pun mendesak agar cadangan tersebut segera dilepas ke publik agar kualitas tidak semakin memburuk dan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
Banyaknya stok beras di gudang Bulog per Agustus 2025 mencapai hampir 4 juta ton yang mayoritas dari impor. Sementara penyaluran melalui operasi pasar maupun bantuan pangan masih sangat terbatas menciptakan tekanan harga yang nyata di tingkat konsumen. Mengendapnya beras di gudang Bulog makin menguatkan realita bahwa distribusi beras di Indonesia hingga kini masih diwarnai berbagai persoalan yang tidak kunjung terselesaikan.
Masalah ini dipicu oleh banyak faktor, mulai dari fluktuasi jumlah produksi yang dipengaruhi cuaca dan musim panen, keterbatasan infrastruktur dan tingginya biaya transportasi, rantai pasuk yang panjang sehingga menambah biaya distribusi hingga kebijakan dan regulasi yang tidak tepat sasaran. Semua ini sesungguhnya berakar pada paradigma pengelolaan pangan yang diatur dalam sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, negara tidak berperan sebagai ro’in atau pengurus dan penanggung jawab urusan rakyat secara langsung, melainkan hanya berfungsi sebagai regulator yang mengatur dari kejauhan. Alhasil, urusan vital seperti pangan diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikuasai segelintir penguasa besar.
Para pelaku ini cenderung mengutamakan keuntungan semata dengan praktik-praktik seperti mengandalkan impor meskipun produk domestik tersedia, menetapkan harga yang merugikan petani kecil dan memegang kendali penuh atas distribusi pangan. Konsekuensinya, distribusi beras tidak merata, harga di pasar tidak terkendali, dan daya beli rakyat miskin semakin tertekan. Dalam sistem seperti ini, kepentingan rakyat ditempatkan jauh di bawah kepentingan komersial. Sehingga masalah distribusi dan keterjangkauan pangan akan terus berulang tanpa solusi mendasar.
Berbeda dengan kehidupan yang diatur dengan syariat Islam. Dalam pandangan Islam, negara bukan sekedar pengatur, melainkan ro’in atau pengurus yang bertanggung jawab penuh atas urusan rakyatnya. Tugas ini mencakup memastikan seluruh kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan dapat terpenuhi secara layak. Penguasa dalam sistem Islam wajib menjalankan seluruh aturan yang bersumber dari wahyu Allah Subhanahu wa ta’ala tanpa mencampurkan dengan hukum buatan manusia. Pemimpin yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh akan menjadi pemimpin yang amanah dan bertakwa, yang tidak akan mengkhianati kepercayaan rakyat dan membiarkan mereka menderita.
Prinsip ini ditegaskan dalam sabda Nabi sallallahu alaihi wasallam, “Imam atau pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya” Hadis riwayat Albukhari dan Muslim. Allah telah memerintahkan dalam Al-Qur’an agar para pemimpin hanya berhukum dengan wahyunya. Amanah kepemimpinan hanya akan terjaga jika seluruh hukum Allah diterapkan. Dalam sejarah pemerintahan Islam, model ini terbukti melahirkan kesejahteraan yang merata, stabilitas harga, dan distribusi kekayaan yang adil sehingga rakyat hidup dalam rasa aman dan berkecukupan.
Negara Islam akan memegang kendali penuh atas distribusi seluruh kebutuhan pokok rakyat, termasuk beras. Karena pangan merupakan salah satu aspek vital yang langsung menyangkut kelangsungan hidup masyarakat. Kendali ini bukan hanya sebatas pengawasan, tetapi mencakup pengaturan produksi, penyimpanan, transportasi, hingga penyaluran yang tepat sasaran. Dengan prinsip amanah dan tanggung jawab sebagai ro’in negara akan berupaya semaksimal mungkin melakukan pemerataan distribusi beras ke seluruh wilayah, baik daerah pusat maupun pelosok tanpa diskriminasi.
Berbagai langkah strategis akan ditempuh untuk memastikan distribusi beras optimal, merata dan berkesinambungan dengan menjaga kualitas beras agar tetap layak konsumsi saat sampai ke tangan rakyat. Semua ini dijalankan sebagai bagian dari kewajiban syariat untuk memastikan kebutuhan dasar setiap individu rakyat terpenuhi dengan cara yang adil dan transparan. Negara Islam juga akan mengupayakan terwujudnya kemandirian, ketahanan pangan, dan kedaulatan pangan sehingga tidak menggantungkan pasokan pada impor yang rentan terhadap fluktuasi harga dan ketidakpastian pasar global.
Untuk itu, negara akan mendorong produksi dalam negeri secara maksimal dengan memanfaatkan potensi lahan, teknologi, dan sumber daya manusia secara optimal. Pemenuhan kebutuhan rakyat termasuk beras akan dilakukan dengan mekanisme yang sederhana namun efektif melalui jalur distribusi yang singkat, proses yang cepat, dan dikerjakan oleh tenaga ahli yang berkompeten di bidangnya. Dengan sistem ini, penyaluran beras dilakukan secara tepat waktu dan tepat sasaran sehingga terhindar dari penumpukan stok di gudang yang berisiko menurunkan kualitas. Sungguh hanya khilafah yang mampu mewujudkan kemandirian pangan yang dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat.
Komentar