Hijrah Berislam Kaffah, Menuju Khairu Ummah

SuaraNetizenIndonesia_ Perayaan tahun baru bagi kaum muslim, tentu tak hanya sebatas seremonial belaka. Tetapi lebih dari itu, memasuki tahun baru, adalah harapan memperoleh kebaikan, baik pada individu, masyarakat maupun negara. Maka perlu refleksi melalui muhasabah, kemudian menentukan arah yang tepat, menyandarkan aktivitas kita pada standar kebaikan yang benar.
Ibnu al-Qayyim mengutip Al-Hasan al-Bashri rahimahulLâh yang berkata, “Sesungguhnya seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama ia memiliki penasihat dari dirinya sendiri dan muhâsabah (introspeksi diri) menjadi bagian dari perhatiannya.” (Ibnu al-Qayyim, Ighâ-tsah al-Lahfân, 1/78, Maktabah Syamilah)
Muhasabah dalam Bahasa Arab (محاسبة) berarti introspeksi diri atau evaluasi diri. Secara harfiah, kata ini berasal dari akar kata “hasiba” (حسب) yang berarti menghitung atau memperhitungkan. Dalam Islam, muhasabah adalah aktivitas perenungan dan evaluasi perbuatan, sikap, dan perilaku diri sendiri, dengan tujuan untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh sebab itu kaum muslim wajib melakukan muhasabah, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Hasyr: 18. Hasan al-Bashri pun menyagakan bahwa muhasabah merupakan tanda kebaikan seorang hamba. Namun tak hanya berhenti pada memikirkan diri sendiri, karena kita pun harus memperhatikan kondisi umat.
Di dalam negeri, umat dilibas dengan berbagai persoalan baik ekonomi, sosial, keluarga, keamanan dan sebagainya. Hukum Allah diberi ruang khusus, hanya boleh ada di ranah privat, tidak dalam kehidupan umum. Maka wajar jika umat sendiri, yang berada di negeri dengan mayoritas muslim ini, justru bias terhadap identitasnya sendiri. Mereka tidak paham kepribadian Islam yang benar, yang harus melekat dalam dirinya.
Begitu pula yang terjadi di negeri-negeri lainnya, muslim Palestina, India, Myanmar, Xinjiang, dan Yaman, terpuruk sangat dahsyat. Bahkan menimpa harta dan nyawa mereka. Nyaris tak ada perlindungan. Para pemimpinnya negeri malah merapat dan bergandengan tangan, dengan musuh-musuh Islam. Padahal urusan umat adalah perkara besar yang harus segera diperhatikan. Negara wajib menjaga agama (hifzhud din), menjaga jiwa (hifzhun nafs), menjaga akal (hifzhul aqli), menjaga keturunan (hifzhun nasli), dan menjaga harta (hifzhul mali).
Maka ketika para pemimpin berpaling dari syariat, dan mengabaikan amanah kepemimpinan, yang dibebankan Allah SWT, saat itulah kehidupan menjadi jauh dari keberkahan.
Solusi Islam
Karenanya umat perlu memiliki visi dan misi kebangkitan hakiki, agar mampu melepaskan diri dari belenggu nista dan kembali pada hakikatnya sebagai umat terbaik (khairu ummah) dengan mengambil seluruh syariat, tanpa kecuali. Sebab kondisi sempit yang menimpa umat saat ini adalah akibat jauhnya mereka dari aturan Allah ta’ala.
Sebagaimana dahulu Rasul saw. hijrah menuju Madinah, adalah untuk melindungi agama Allah, dengan membentuk tatanan kehidupan baru, yang akan melahirkan kemuliaan umat. Sebab umat terbaik hanya akan lahir dari penerapan aturan terbaik, yakni Islam. Karenanya, hijrahnya kaum muslim saat itu bukan sekadar pindah tempat, melainkan bentuk nyata membumikan Al-Qur’an hingga nampak di setiap sisi kehidupan.
Saat hukum Allah diganti dengan aturan buatan manusia, maka dipastikan akan merusak umat, menyesatkan, memunculkan beragam persoalan baru yang tak kunjung habis dan menyebabkan kaum muslim kehilangan jati dirinya. Karenanya, satu-satunya cara untuk meraih kembali kemuliaan itu, adalah dengan penerapan Islam kaffah dalam sebuah institusi negara.
Sebagaimana Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. menetapkan awal penanggalan Hijriyah dimulai dari peristiwa hijrah Nabi saw. Beliau menyatakan:
بَلْ نُؤَرِّخُ لِمُهاجَرَةِ رَسُوْلِ الله، فَإِنَّ مُهَاجَرَتَهُ فَرْقٌ بَيْنَ الْحَقِّ وَاْلبَاطِلِ
Akan tetapi, kita akan menghitung penanggalan berdasarkan hijrah Rasulullah. Ini karena sesungguhnya hijrah beliau telah memisahkan antara kebenaran dan kebatilan (Ibn Al-Atsir, Al-Kâmil fî at-Târîkh, 1/3).
Sejalan dengan itu, Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Iqthisad Fi Al-I’tiqad menyatakan,
وَالْمِلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ “
“Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang”
Maka perlu melakukan konsisten melakukan perbaikan pada diri sendiri. Sejalan dengan itu kita pun melakukan aktivitas edukasi yaitu amr ma’ruf nahy munkar, untuk mengubah pemikiran umat, serta perbaikan terhadap negara agar menjalankan hukum Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan. Saat itu terjadi maka kita dapat kembali pada predikat kaum muslim yang hakiki yaitu umat terbaik, dan menyongsong keberkahan yang banyak, yang dijanji-Nya,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang mereka perbuat itu (TQS al-A’raf [7]: 96)
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [SNI]
Komentar