Halal Lifestyle Bukan Sekadar Gaya Hidup

Suara Netizen Indonesia–Bagi seorang muslim, memilih produk yang halal bukanlah sekadar gaya hidup atau tren kekinian, melainkan perintah Allah yang wajib ditaati. Islam tidak mempersulit umatnya, justru memudahkan.

 

Allah telah mengaruniakan segala yang baik di muka bumi untuk dinikmati, namun menetapkan beberapa hal sebagai haram,  seperti babi, bangkai, darah, khamer, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya yang artinya, Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.” (TQS. Al-Baqarah: 173)

 

Lebih dari sekadar larangan, konsumsi makanan haram juga berdampak langsung terhadap spiritualitas seorang muslim. Dalam hadits disebutkan bahwa barang siapa yang memakan satu suapan dari makanan haram, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari (HR. At-Thabrani). Bahkan, daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, tempatnya kelak di neraka (HR. Tirmidzi). Na’udzu billah min dzalik.

Baca juga: 

Di Darat Berebut Gunung, Di Laut Berebut Pulau

 

Dari sini, menjadi jelas bahwa halal lifestyle bukan hanya soal memilih makanan yang sehat atau mengikuti tren gaya hidup, melainkan bentuk nyata ketaatan kepada Allah SWT. Allah berfirman yang artinya, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”(TQS. Al-Baqarah: 168).

 

Namun dalam praktiknya, komitmen terhadap halal tidak cukup hanya dengan memilih produk yang berlabel atau bersertifikat halal. Karena label saja belum tentu mencerminkan jaminan proses halal secara menyeluruh. Halal sejatinya mencakup seluruh rantai proses: dari hulu hingga hilir dari asal bahan baku, metode produksi, alat pengolahan, hingga distribusi dan penyajiannya. Misalnya, makanan yang secara bahan halal, tetapi diproses dengan alat yang terkena najis, maka status kehalalannya bisa dipertanyakan.

 

Di sinilah peran negara sangat krusial. Negara tidak boleh hanya menjadi pengamat, tetapi harus aktif sebagai pelindung umat. Sertifikasi halal yang terpercaya, pengawasan ketat, dan regulasi yang menjangkau seluruh sektor konsumsi mulai dari makanan, minuman, obat, kosmetik, hingga produk konsumsi lainnya adalah bentuk tanggung jawab negara dalam menjamin hak umat Islam untuk menjalankan agamanya secara sempurna.

 

Namun peran negara tidak berhenti pada pengawasan dan sertifikasi saja. Negara juga memikul tanggung jawab besar dalam mendidik masyarakat yang masih minim pemahaman terhadap makna halal secara utuh. Banyak yang masih memahami halal sebatas “no pork, no lard”, padahal konsep halal menyentuh aspek spiritual, ekonomi, sosial, hingga gaya hidup secara menyeluruh.

 

Oleh karena itu, diperlukan program edukasi publik yang konsisten dan menyentuh akar masyarakat melalui sekolah, pesantren, media massa, kampanye digital, hingga pelatihan bagi pelaku usaha. Dengan edukasi yang kuat, halal lifestyle akan menjadi kesadaran kolektif, bukan hanya tren sesaat.

 

Lebih dari itu, penerapan halal lifestyle menuntut sebuah sistem hidup yang utuh. Ia tidak hanya memengaruhi tubuh, tetapi juga menyentuh hati, sistem ekonomi, dan membawa dampak terhadap keberkahan hidup seorang muslim. Makanan halal menjernihkan hati dan memperkuat kualitas ibadah. Rezeki yang halal menciptakan ketenangan batin dan menjauhkan dari murka Allah. Ekonomi halal mendorong keadilan, kejujuran, dan kebermanfaatan bagi sesama.

Baca juga: 

Ancaman Nuklir untuk Gaza, Potret Arogansi Adidaya?

 

Namun kenyataan hari ini menunjukkan adanya penyimpangan niat. Banyak pihak menjadikan label halal hanya sebagai strategi dagang demi mengejar keuntungan cuan menjadi motivasi utama, bukan keimanan. Produk halal dipromosikan bukan karena ingin menegakkan syariat, tetapi karena tahu segmen pasar muslim sangat potensial. Akibatnya, halal lifestyle bergeser dari nilai ibadah menjadi sekadar komoditas.

 

Padahal, halal lifestyle adalah wujud ketundukan hamba kepada Rabb-nya. Ini bukan soal gengsi atau citra diri, tetapi soal konsekuensi iman. Ketika seorang muslim benar-benar menerapkan gaya hidup halal karena Allah, maka Allah akan memberkahi hidupnya  dalam ibadahnya, rezekinya, keluarganya, dan masa depannya.

 

Kesimpulan

Halal lifestyle bukan tren, bukan simbol status, dan bukan pula strategi dagang. Ia adalah bagian dari iman dan bukti ketaatan kepada Allah. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan kesadaran individu yang kuat, edukasi publik yang masif, serta peran negara yang hadir dalam mengatur dan menjamin kehalalan produk dan layanan secara menyeluruh.

 

Dengan menjadikan halal sebagai prinsip hidup, seorang muslim tidak hanya menjaga tubuh dari yang haram, tetapi juga menjaga hati dari kerusakan, ekonomi dari kezaliman, dan hidup dari kehilangan berkah. Karena hidup yang halal, adalah hidup yang diridhai oleh Allah SWT. [SNI]

 

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *