Bicara Asal, Solusi Tak Berdasar 

Suara Netizen Indonesia–Sungguh lisan seseorang adalah perwujudan dari apa yang dia pikirkan. Apa yang dia pikirkan, memiliki dasar, yang kemudian menjadi kepemimpinan berpikirnya. Namun lihatlah, betapa lisan para penguasa kita hari ini tak ada yang lebih baik selain menyakiti hati rakyatnya. Bagaimana mungkin tercipta rasa saling mencintai jika persoalan umat dianggap sesuatu yang remeh temeh, dikomentari tanpa memberi solusi yang berkelanjutan?

 

Saat peluncuran pembangunan “1.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG)” di Pondok Pesantren Syaichona Muhammad Cholil, Bangkalan, Senin, 25 Mei 2025, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengatakan bahwa 60 persen anak-anak Indonesia tidak pernah punya akses terhadap makanan bergizi seimbang. Dia bilang, sebagian besar anak-anak di Indonesia hanya mengandalkan makanan, seperti nasi dengan mi instan, bakwan, atau kerupuk (kompas.com, 27-5-2025). 

 

Dadan menegaskan, hal inilah yang ingin diubah melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dia menegaskan bahwa MBG memberikan makanan bergizi seimbang. Anak Indonesia 60 persen tidak pernah minum susu, bukan karena tidak tahu, melainkan karena tidak mampu membeli, “Ini sebabnya Bapak Presiden menyebut MBG sebagai program yang sangat strategis karena menyasar kualitas SDM kita untuk menyambut Indonesia Emas 2045,” ujarnya.

Baca juga: 

Kelaparan Senjata Baru Genosida, Siapakah Pengecut Sesungguhnya? 

 

Dadan kemudian mencontohkan anak-anaknya yang memiliki badan yang tinggi dan tulang yang kuat karena sejak kecil rutin minum susu. Menurutnya, tinggi badan bukan cuma masalah genetik, tapi juga asupan gizi yang cukup dan seimbang. Maka penting ada intervensi gizi pada remaja, khususnya para santri dan santriwati, untuk mencegah masalah tubuh pendek. 

 

Tak jauh beda dengan lisan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, apa yang ia sampaikan hingga memantik kontroversi karena menyebut orang bergaji tinggi biasanya akan lebih sehat dan pintar. Indikator gaji tinggi ini Budi anggap berada di level Rp 15 juta. Bila masyarakat memiliki penghasilan sebulan di level itu, ia pastikan merupakan orang yang pintar maupun sehat (cnbc.com, 21-5-2025). 

 

Semua Persoalan Akarnya Bermuara Pada Penerapan Kapitalisme

 

Apa yang mereka ucapkan memang benar dari satu sisi, dimana jika kesehatan dan pendidikan buruk pada sebuah negara bahkan hingga keluarga, maka masa depan juga tidak begitu baik. Namun jika kita telaah lebih mendalam, para penguasa kita hanya menunjukkan fakta perbandingan. Hanya menampakkan kesenjangan demi kesenjangan, seolah tidak melihat riil fakta di lapangan, mengapa rakyat sedemikian miskin sehingga banyak yang hanya memiliki pendapatan Rp 5 juta, hingga susu pun tak terbeli?

 

Dan dari jejak digital, mereka sudah menjadi pejabat negara cukup lama, sehingga bisa dikatakan gaji mereka di atas UMR, dan lebih tragisnya, dibayar oleh rakyat yang mereka perbandingan hari ini melalui pungutan pajak. Sungguh hati mereka telah mati, seolah sudah memperjuangkan perbaikan padahal justru membiarkan rakyat berjuang sendiri. 

Baca juga: 

Grup Fantasi Sedarah, Bukti Liberalisasi Semakin Parah

 

Negara kita hari ini mengadopsi sistem aturan Kapitalisme, dimana setiap kebahagiaan dan kesuksesan diitung dari banyaknya materi yang mereka dapat. Namun Kapitalisme tidak bisa memberikan keadilan, dimana seharusnya setiap individu rakyat mudah mendapatkan hak mereka di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lainnya, malah dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal baik berupa akses kepada penguasa maupun uang. 

 

Terlebih karena asasnya sekular, pemisahan agama dari kehidupan maka tak ada batasan halal haram, apa pun itu sepanjang bisa menghasilkan uang maka akan dijadikan sumber penafkahan. Maka, kita lihat, mereka yang hari ini terlihat kaya, sesungguhnya tidak benar-benar kaya, sebab di waktu yang lain terbukti mereka melakukan aneksasi, korupsi, gratifikasi dan perbuatan curang lainnya. 

 

Tak penting adab, apalagi pahala dan dosa, bahkan hingga halal haram. Otomatis peran negara pun diminimalisir agar para pemilik modal ini bisa mendapatkan tujuannya tanpa halangan berarti. Akhirnya mempermainkan aturan, dan hilanglah kedaulatan negara sebab para pemodal besar itulah yang akhirnya menjadi penguasa sesungguhnya. 

 

Jadi, jika hanya mempertontonkan retorika usang di hadapan banyak orang kemudian memberikan solusi yang sebenarnya malah menimbulkan masalah baru jelas sebuah kebodohan. Penguasa kita bukan berperan sebagai negarawan sejati. Malah bisa dibilang pecundang. 

 

Islam Saja Solusi Hakiki Wujudkan Sejahtera

 

Dalam pandangan Islam penguasa adalah raa’in (pengurus) sekaligus junnah ( perisai) bagi rakyatnya sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Makna bertanggungjawab adalah menjamin kesejahteraan rakyat individu perindividu. 

 

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukanlah pilihan utama dalam pandangan Islam, karena itu bisa dipenuhi oleh setiap kepala keluarga dengan baik jika mereka bisa mendapatkan akses perekonomian secara mudah. Artinya negara membantu mereka dengan membuka lapangan pekerjaan seluas mungkin misalnya dengan pembukaan industri pengelolaan SDA dan sekaligus memberi bantuan tunai, modal, material ( tanah misalnya) maupun pelatihan. 

 

Maka, pengelolaan negara ada pada harta yang secara syara ditetapkan sebagai kepemilikan umum seperti tambang, energi, hutan, laut dan lainnya dikelola negara. Demikian pula dengan harta kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, fa’i dan lainnya juga dikelola oleh negara. Dimasukkan dalam pos pendapatan Baitulmal dan dibelanjakan sesuai kemaslahatan yang dinilai Khalifah lebih utama..

Baca juga: 

Politik Permukaan, Tak Sentuh Akar Persoalan, Mimpi Perubahan

 

Selain itu ada zakat, dikumpulkan oleh negara namun dibagikan hanya untuk delapan asnaf (golongan) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Tidak ada pajak, tidak juga utang luar negeri yang berbasis riba. Sebab, rakyat bekerja sesuai bidangnya untuk swadaya dan swasembada untuk ketahanan nasional. 

 

Negara menjamin kebutuhan pokok rakyat terkait kebutuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Mereka yang tidak bisa bekerja karena uzur syari, tua dan sakit menahun misalnya maka akan disantuni oleh negara dari harta Baitulmal. Dengan demikian, tidak ada kesenjangan sosial sebab baik yang mampu atau pun tidak dari individu rakyat mendapatkan hak-hak mereka secara sempurna. 

 

Para penguasa berpegang erat pada syariat Allah, sehingga menjadikan dirinya sebagai pelayan umat karena takut mendapat azab Allah. Rasulullaj Saw. bersabda, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam). Wallahualam bissawab. [SNI].

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *