Program Elektrifikasi untuk Rakyat Miskin, Rumit dan Tidak Solutif
Meski program ini masih sebatas pembahasan di Komisi VII DPR RI dan belum disetujui anggarannya. Namun Kementerian ESDM sudah mengumumkan wacana Bantuan Penanak Nasi listrik (BPNL) berupa pembagian alat penanak nasi bertenaga listrik atau yang biasa disebut rice cooker. Hal ini diungkap oleh Subkoordinator Fasilitasi Hubungan Komersial Usaha Ketenagalistrikan, Direktorat Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM Edy Pratiknyo. Dadan menyebut penerima bantuan rice cooker adalah masyarakat miskin yang membutuhkan. Penerimanya akan mengacu data dari Kementerian Sosial (Kemensos).
Dadan menjelaskan, program ini sebagai bentuk elektrifikasi, bukan program saingan dari kompor induksi. Tujuan dari program pembagian rice cooker ini adalah mendukung pemanfaatan energi bersih, meningkatkan konsumsi listrik per kapita, serta penghematan biaya memasak bagi masyarakat.
Masyarakat yang dimaksud adalah pelanggan listrik 450 VA- 900 VA yang masuk daftar penerima manfaat bantuan sosial dengan berdasar acuan data dari Kementerian Sosial. Kriteria ini dianggap cocok untuk menerima dan bukan orang kaya. Dadan menjelaskan kendalanya hanya dana untuk pengadaan rice cooker belum disetujui Kementerian Keuangan. Nantinya akan ada 680 rice cooker gratis, Kementerian ESDM mengalokasikan Rp500 ribu per masyarakat penerima manfaat (KPM). Sehingga jika ditotal, kebutuhan untuk program tersebut mencapai Rp340 miliar.
Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan anggaran program yang sedang diajukan menyesuaikan anggaran yang disetujui dengan dibagi sesuai paket harga rice cooker.“(Target penerima) tergantung harga rice cooker-nya. Pun volume rice cooker tergantung dari daya listrik yang dimiliki rakyat yang sudah terdaftar, dan harus memiliki kelistrikan yang andal. Sedang bagi mereka yang di luar daya 450 VA dan 900 VA, masyarakat yang berhak sesuai validasi oleh kepala desa termasuk pengguna LPG 3 kg.
Proyek kapitalisme Bersalut Jargon Hemat
Subkoordinator Fasilitasi Hubungan Komersial Usaha Ketenagalistrikan, Direktorat Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM Edy Pratiknyo mengatakan berdasarkan kajian yang telah dilakukan, menanak nasi dengan rice cooker lebih hemat dibanding menggunakan kompor gas dengan LPG 3 kg. Jika menanak nasi dengan kompor gas membutuhkan konsumsi energi sebanyak 2,4 kg per bulan dengan total biaya Rp16.800.
Sedangkan, jika dengan rice cooker konsumsi energi untuk menanak nasi hanya 5,25 KWH dan energi untuk memanaskan 19,8 KWH per bulan dengan biaya Rp10.396. Dengan demikian, ada penghematan sebesar Rp6.404 per bulan. Penggunaan rice cooker ini juga berpotensi mengurangi volume LPG sebanyak 19,6 ribu ton, menghemat devisa sebesar US$26,88 juta, serta meningkatkan konsumsi listrik sebesar 42,84 GWH atau setara pembangkit 54,74 MW.
Pertanyaannya benarkah masyarakat kita butuh rice cooker? Apakah kebijakan ini benar-benar diperuntukkan kemaslahatan rakyat atau sekadar proyek komersial kementerian ESDM yang terkait energi bersih, kelebihan quota listrik akibat kontrak dengan asing yang mau tidak mau harus diterima? Proyek ini terlalu banyak syarat, dan yang pasti tidak rakyat dengan angka voltase 400 VA-900 VA yang benar-benar memiliki kelistrikan yang solid. Dimana harus bergantian dengan penggunaan alat elektronik yang lain. Dan jelas, meski gratis program ini tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Lagi-lagi kapitalisme sedemikian manis membungkus kebijakan, seolah berbicara untuk kepentingan rakyat, faktanya sangat jauh dengan persoalan umat yang sebenarnya yaitu Kemiskinan, kesenjangan dan konflik. Untuk apa pembagian rice cooker jika kebutuhan pokok yang lain tak terbeli semisal listrik, air, pendidikan yang bermutu dan terjangkau berikut kesehatan yang murah. Tidak usah membedakan kaya dan miskin, karena seoalah orang kaya adalah anak tiri negara, kenyataannya yang miskin pun terbengkalai. Sebab negara hadir bukan untuk keduanya. Negara hadir hanya untuk korporate.
Baik dari hasil pertemuan G20 maupun APEC yang menghasilkan rekomendasi akselerasi transisi energi bersih hanyalah pepesan kosong negara maju kepada negara berkembang seperti Indonesia. Kemudian pemerintah kita begitu tergopoh-gopoh segera memenuhi keinginan para konglomerat negara maju, padahal akar persoalannya di depan mata. Negara-negara maju itulah penyebab krisis berkelanjutan, dari krisis ekonomi hingga krisis energi dan iklim. Ketamakan para pengemban ekonomi kapitalis itulah penyebabnya, namun mereka bak lempar batu sembunyi tangan.
Sistem kapitalisme hari ini, meniadakan keadilan dan memang tidak akan bisa terwujud, sebab negara sebagai institusi terbesar pelindung rakyat tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Negara hanya menjadi operator berbagai kepentingan pemodal, sehingga urusan rakyat jadi asal-asalan. Darimana korelasi pembagian rice cooker gratis bisa mewujudkan kesejahteraan?jika iya, mengapa tidak semua rakyat Indonesia mendapatkannya? Atau mengapa tidak semua rakyat miskin yang mendapatkannya?
Bisa dikatakan ini adalah kebijakan buang uang. APBN yang sebagian besar pendapatannya berasal dari utang dan pajak, sungguh sia-sia jika hanya untuk pembiayaan pengadaan rice cooker, padahal masih harus untuk biaya bayar utang berikut bunganya, juga untuk pembiayaan IKN, proyek kereta cepat yang membengkak karena salah hitung Cina dan lain sebagainya.
Islam Mensejahterakan Rakyat Secara Total
Pembiayaan biaya operasional negara memang tidak sedikit, oleh karenanya jika diambil dari APBN yang berbasis utang dan pajak akan sangat kurang, tidak stabil bahkan akan semakin membebani rakyat. Akan makin banyak objek kena pajak, berikut rakyat akan menghadapi kenaikan tarif pajak yang hari ini saja sudah sangat zalim karena dikenakan perkepala, perbenda bahkan pajak benda bukan materi sepanjang tahun.
Dalam Islam, pembiayaan negara berasal dari pertama pengelolaan kepemilikan negara seperti zakat, jizyah, kharaz , fa’i dan lainnya. Kedua dari pengelolaan kepemilikan umum seperti hasil tambang, hutan, laut dan apapun yang terkatagori kepemilikan umum sesuai syariat. Semuanya dikelola oleh negara, dikumpulkan di Baitul Mal dan dibagikan dalam dua cara secara langsung yaitu beruba bendanya maupun secara tak langsung melalui pembangunan berbagai fasilitas pelayanan umum seperti sekolah, masjid, rumah sakit, penerangan jalan, jalan tol, jalam raya, lapangan “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Sistem demokrasi hari ini sangat bertentangan dengan Islam, sebab jika ia bermualisme simbiosis dengan kapitalisme akan sangat menzalimi rakyat. Sebab, ketamakan dan sekulerisme yang dimiliki kapitalisme akan diamini oleh demokrasi sebagai bentuk kebebasan memiliki, berekspresi, berpendapat bahkan beragama. Maka bisa dipastikan, pemimpin yang lahir dari sistem ini tak akan benar-benar ada untuk rakyat. Berbagai perhitungan politisnya hanyalah untuk melanggengkan kursi kekuasaan mereka baik di pemerintahan maupun parlemen.
Tak mungkin ada dalam sistem Islam kebijakan yang asal-asalan dan samasekali tidak berhubungan dengan kepentingan rakyat. Sebab setiap pemimpin adalah orang pilihan yaitu teruji ketakwaannya. Mereka dengan lantang akan menerapkan syariat sebagai satu-satunya aturan bernegara. Satu-satunya solusi untuk menjadikan rakyat di bawah kepemimpinannya sejahtera dan bukannya malah menanggung banyak penderitaan. Solusinya adalah final, bukan solusi yang menimbulkan solusi baru. Pemimpin dalam Islam sangat yakin jika setiap kebijakannya akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Wallahu a’lam bish showab.
Ternyata hanya membebani APBN dan sama sekali tidak mempertimbangkan aspek kemaslahatan masyarakat
Bener banget mbak