Dalam Sistem Kapitalisme, Keamanan dan Kenyamanan Transportasi hanya Ilusi?

Menjelang mudik lebaran 2025, pemerintah menawarkan berbagai program diskon tiket transportasi untuk memudahkan perjalanan pemudik. Program ini mencakup diskon tiket pesawat dan kereta api yang diharapkan dapat membantu mengurangi biaya perjalanan bagi para pemudik, untuk tiket pesawat terdapat diskon khusus yang berlaku dalam periode pembelian mulai 1 Maret hingga 7 April 2025. 

 

Diskon ini diberikan untuk penerbangan domestik dengan kelas ekonomi dengan besaran potongan harga berkisar antara 13% hingga 14%. Sementara itu PT Kereta Api Indonesia atau KAI juga menghadirkan promo diskon tiket bagi para penumpang salah satu programnya adalah diskon 25% untuk kelas ekonomi bisnis dan eksekutif. Selain itu pemerintah bersama PT Jasa Marga atau Persero TBK dan badan usaha jalan tol atau (BUJT) memberikan diskon tarif tol sebesar 20% di beberapa ruas tol strategis di pulau Jawa dan Sumatera. 

 

Sebagian pihak menilai bahwa kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang pro rakyat, namun sebagian lain merasa kecewa karena diskon tarif tol hanya membantu pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi, sementara 60% pemudik mengandalkan transportasi umum seperti bis atau kapal laut yang justru tidak mendapat diskon. Tak heran travel gelap menjamur di masyarakat. Meski harus dihadapkan pada tidak adanya jaminan keamanan ini, satu persoalan dalam perjalanan mudik belum lagi buruknya infrastruktur yang kerap memicu kecelakaan setiap musim mudik.

 

Selain itu kemacetan parah di jalur utama pun kerap terjadi berbagai persoalan yang muncul dalam sistem transportasi. Mudik tidak dapat dilepaskan dari permasalahan mendasar yang berkaitan dengan buruknya tata kelola transportasi yang berlandaskan sistem kapitalisme sekuler. Dalam sistem ini transportasi tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan publik yang harus dijamin oleh negara, melainkan sebagai komoditas yang dikelola berdasarkan prinsip keuntungan. 

 

Pengelolaannya sebagian besar diserahkan kepada pihak swasta yang berorientasi pada profit. Akibatnya Negara hanya berperan sebagai regulator yang kerap kali lebih mengutamakan kepentingan para pengusaha dibandingkan kesejahteraan dan keselamatan masyarakat luas. Ketika infrastruktur transportasi tidak dikembangkan secara merata dan layanan transportasi umum berkualitas hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu yang mampu membayar lebih, maka rakyat kecil yang bergantung pada angkutan umum harus menghadapi berbagai kendala. 

 

Seperti keterbatasan akses tarif yang tinggi serta minimnya jaminan keamanan dan kenyamanan dalam perjalanan mudik mereka. Sementara itu di sisi lain ketimpangan pembangunan yang ditandai dengan tidak meratanya infrastruktur serta minimnya fasilitas umum di daerah menyebabkan masyarakat terpaksa menggantungkan hidupnya di perkotaan. Kondisi ini mendorong banyak orang untuk merantau dan mencari pekerjaan di kota-kota besar, di mana peluang ekonomi lebih terbuka dibandingkan di kampung halaman mereka.

 

Akibat dari fenomena ini, tradisi mudik setiap tahun menjadi sesuatu yang tak terelakkan karena para perantau ingin kembali ke desa untuk merayakan momen bersama keluarga setelah sekian lama mencari nafkah di kota. Inilah dampak penerapan sistem kapitalisme di mana pembangunan lebih berorientasi pada bisnis daripada kemaslahatan rakyat. 

 

Dalam pandangan Islam transportasi merupakan fasilitas publik yang harus dikelola demi kepentingan masyarakat luas dan tidak boleh dijadikan komoditas yang dikomersialkan demi keuntungan segelintir pihak. Meskipun pembangunan infrastruktur transportasi memerlukan biaya besar dan proses yang kompleks negara tetap memiliki kewajiban penuh untuk mengelolanya tanpa menyerahkan kepada pihak swasta yang berorientasi pada profit. Bahkan haram bagi negara jika melakukannya. 

 

Apapun alasannya sebagai pelayan rakyat negara harus memastikan tersedianya sistem transportasi publik yang aman, nyaman, terjangkau serta beroperasi tepat waktu dengan dukungan fasilitas penunjang yang memadai. Di sisi lain Islam menegaskan bahwa kemajuan dan pembangunan adalah hak seluruh rakyat serta menjadi tanggung jawab utama negara. Oleh karena itu negara memiliki kewajiban untuk membangun infrastruktur secara merata di seluruh wilayah. Tidak hanya terpusat di perkotaan tetapi juga mencakup daerah pedesaan dan pelosok.

 

Dengan pemerataan ini berbagai potensi ekonomi di setiap daerah dapat berkembang secara optimal. Menciptakan peluang usaha dan lapangan kerja yang lebih luas, sehingga masyarakat tidak perlu bergantung pada kota besar untuk mencari penghidupan. Untuk merealisasikan pembangunan yang seperti ini negara wajib mengalokasikan anggaran yang bersifat mutlak dan tidak bergantung pada investasi swasta. Sehingga kebutuhan mobilitas masyarakat dapat terpenuhi tanpa terbebani biaya tinggi atau ketimpangan layanan pembangunan. 

 

Infrastruktur jalan dilakukan negara tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya dana di Baitul Mal, meski dana Baitul Mal sedang mengalami kekosongan, jalan tetap harus dibangun. Jika ada dana di Baitul Mal, maka wajib dibiayai dari dana tersebut. Akan tetapi jika tidak mencukupi maka negara wajib membiayai dengan memungut pajak atau dharibah dari rakyat. Jika waktu pemungutan dharibah memerlukan waktu yang lama sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka boleh bagi negara meminjam kepada pihak lain.

 

Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharibah yang dikumpulkan dari masyarakat. Pinjaman yang diperoleh pun tidak boleh ada bunga atau riba yang menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman. Penerapan sistem Islam ini akan mencegah adanya travel gelap juga terpeliharanya infrastruktur jalan dengan baik. Sehingga perjalanan aman dan nyaman serta mengurangi resiko kecelakaan karena faktor kerusakan jalan sungguh hanya penerapan aturan Islam di bawah naungan Negara Islam yakni Khilafah. Masyarakat dapat menikmati infrastruktur termasuk dalam transportasi yang baik aman dan nyaman.

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *