Tinggalkan Sistem Rapuh, Sistem Imperialisme
Suara Netizen Indonesia–Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah berkisar di atas Rp16.000 pada pekan ketiga April, seiring meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran di Timur Tengah.
Dimana Iran menggempur Israel dengan lebih dari 300 rudal dan drone pada Sabtu (13/04) sebagai balasan atas serangan Israel ke Konsulat Iran di Damaskus dua minggu sebelumnya.Bila konflik berlarut-larut, sejumlah pakar khawatir akan muncul dampak berantai yang dapat mengguncang ekonomi Indonesia.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah sikap The Fed (bank sentral AS) untuk mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi. Selama suku bunga The Fed masih tinggi, investor global akan lebih tertarik menaruh uangnya di pasar AS, sehingga memicu arus keluar modal asing dari negara-negara berkembang seperti Indonesia. Josua Pardede, kepala ekonom Bank rupiah menambahkan, rupiah diprediksi akan terus terdepresiasi jika konflik ini terus memanas dan berlanjut (BBC.com, 21/4/2024).
Josua mengatakan, pastinya Investor ingin bermain aman dengan memindahkan modalnya ke aset-aset “safe haven” seperti surat utang dan dolar AS serta emas, investasi ini relatif stabil di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Investor juga menganggap Indonesia berisiko karena statusnya sebagai negara pengimpor minyak. Sekitar 90% impor Indonesia terdiri dari bahan baku untuk aktivitas produksi dalam negeri, konflik Israel-Iran dikhawatirkan mengganggu rantai pasok minyak global, terutama bila Iran memutuskan memblokade Selat Hormuz, yang kerap disebut sebagai jalur pengiriman minyak terpenting di dunia.
Maka pasokan minyak akan terganggu sehingga harga meroket. Indonesia pun butuh keluar uang lebih untuk mengimpor minyak dan neraca dagang bisa jadi defisit. Maksudnya, nilai transaksi impornya lebih besar daripada ekspor. Kenaikan harga minyak mentah pun dapat memicu tingginya laju inflasi, tak hanya di Indonesia tapi juga dunia. Tekanan inilah yang dapat melemahkan rupiah lebih jauh.
Situasi ini dapat menyebabkan defisit fiskal yang melebar di tengah menurunnya penerimaan negara akibat normalisasi harga komoditas, sehingga meningkatkan pembiayaan anggaran, yang pada akhirnya dapat meningkatkan imbal hasil obligasi Indonesia tambah Josua.
Teuku Riefky, peneliti makroekonomi di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia juga mengatakan pelemahan rupiah dikhawatirkan membuat harga barang-barang impor melonjak, termasuk bahan baku industri, serta memicu inflasi yang akhirnya melemahkan daya beli masyarakat dan perekonomian melambat.
Padahal penting bagi pemerintah untuk menjaga daya beli karena lebih dari separuh ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga, dimana pengeluaran atas barang dan jasa untuk tujuan konsumsi. Pemerintah biasanya mulai menggencarkan penyaluran bantuan sosial. Atau kompensasi BBM, dimana Pertamina ditugaskan menjual BBM tertentu dengan nilai di bawah harga pasar, dengan selisihnya ditanggung pemerintah. Inilah yang dimaksud sebagai kompensasi itu.
Sedangkan Bhima Yudhistira, ekonom dan direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan dampak kenaikan harga barang impor dan pangan kemungkinan akan terasa cepat. Berbeda dengan dampak yang ditimbulkan dari kebijakan mitigasi pemerintah untuk menambah subsidi energi atau Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga yang butuh waktu agak lama.
Adhi S. Lukman, ketua umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), juga mengatakan pelaku usaha dalam asosiasinya membutuhkan “banyak sekali” bahan baku impor. Karena itu, melemahnya kurs rupiah membuat biaya produksi dan ongkos logistik para pengusaha makanan dan minuman melonjak, harga barang juga akan meningkat dan korbannya adalah konsumen.
Upaya Pemerintah Zonk
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan mengambil kebijakan strategis dengan terus mencermati perkembangan global dan regional yang ada serta akan mengambil langkah-langkah yang kuat dan fokus dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
Kementerian Perindustrian, sebagaimana yang dikatakan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita akan segera berkoordinasi dengan para pelaku industri untuk menyiapkan kebijakan yang dapat memitigasi dampak dari konflik di Timur Tengah.
Salah satu kebijakan yang disiapkan adalah insentif untuk impor bahan baku industri yang berasal dari Timur Tengah. Ini penting untuk industri kimia hulu, misalnya, yang disebut mengimpor sebagian besar bahan bakunya dari kawasan itu.
Juga akan mendorong penggunaan barang produksi dalam negeri, serta penggunaan mata uang lokal untuk transaksi yang dilakukan pebisnis Indonesia dengan mitra asing. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan terhadap hard currencies, terutama dolar AS, mengingat skala ekonomi dan volume perdagangan antar-negara Asia terus meningkat, juga untuk meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pun meminta sejumlah BUMN yang memiliki utang luar negeri besar dalam dolar AS seperti Pertamina, PLN, dan Mineral Industri Indonesia (MIND ID). untuk mengendalikan impor serta bertransaksi menggunakan dolar AS secara terukur dan sesuai kebutuhan.
Di sisi lain, Bank Indonesia menyatakan akan terus berusaha menjaga stabilitas rupiah, termasuk dengan melakukan intervensi di pasar valuta asing, alias menjual cadangan devisanya untuk mendorong penguatan rupiah. Hal ini sebagaimana disampaikan Erwin Haryono, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia.
Hampir-hampir tak ada tindakan nyata selain imbauan dan pengamatan, padahal sudah menyangkut nasib bangsa dan rakyatnya. Miris!
Lemahnya Tatanan Perekonomian Dunia Kapitalisme
Pelemahan rupiah makin kuat. Dunia global mengalami kegoncangan yang sangat karena meski ada banyak faktor yang berpengaruh namun yang paling utama adalah ketergantungan pada dollar sebagai mata uang dunia. Dimana ada satu negara pengendalinya yaitu Amerika.
Inilah fakta yang tidak bisa dipungkiri, dunia berada di bawah imperialisme AS. Padahal AS sejatinya merupakan kekuatan semu yang rapuh di dalam, jika saja tak ada perjanjian baik internasional maupun regional, Amerika lemah, dan negara-negara yang berada di bawah ketiaknya akan merdeka dan mandiri mengatur urusan negaranya sendiri.
Dampak pelemahan rupiah akan dirasakan berbagai pihak dan makin menyulitkan kondisi ekonomi rakyat dalam berbagai aspek. Yang miskin akan semakin miskin dan yang kaya akan semakin kaya, apalagi ekonomi kapitalisme lebih bertumpu pada muamalah non riil, seperti saham, kripto, dan lain sebagainya. Akibatnya kekayaan hanya berputar pada orang-orang tertentu saja, atau mereka yang melek teknologi dan memiliki akses.
Sistem Mata Uang Emas Penyangga Kokohnya Ekonomi
Kapitalisme boleh dikata gagal menciptakan kesejahteraan. Sebab, dengan adanya krisis di belahan bumi lain, seluruhnya bergoncang bahkan melemah. Namun saja masih enggan mengambil Islam sebagai solusi. Sebab, jika kapitalisme dan sosialisme, dua sistem yang pernah diterapkan di dunia mengalami kegagalan mengapa tidak mengambil Islam?
Islam bukan sekadar agama pengatur akidah, namun juga syariat sebagai solusi bagi setiap persoalan manusia. Sejarah telah membuktikan ketangguhan bagaimana negara berdasar syariat telah mampu bertahan dari berbagai krisis dan bencana bahkan mampu membantu Inggris (Imperium kala itu) dari kelaparan berikut juga negara Irlandia yang mengalami gagal panen kentang, sehingga kelaparan melanda, sebab kentang makanan pokok mereka.
Kuncinya adalah penggunaan sistem mata uang berbasis emas. Sistem ini lebih stabil dan adil sehingga secara ekonomi akan aman. Hari ini, penggunaan fiat money (uang kertas) sebagai alat pembayaran yang sah sejatinya sangat rentan terhadap inflasi, sehingga nilainya akan terus turun. Hal ini karena fiat money sekarang tidak mengharuskan adanya cadangan fisik, seperti emas dan perak.
Dengan sistem mata uang emas ekonomi negara dan rakyat akan stabil dan membuat rakyat hidup tenang, emas dari sisi bahan baku cenderung stabil, tidak mudah rusak dan berharga dalam bentuk apapun. Emas memiliki syarat sahnya menjadi mata uang atau alat tukar yaitu pertama, mata uang tersebut harus dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai suatu barang dan jasa, yaitu sebagai penentu harga dan upah.
Kedua, dikeluarkan oleh otoritas yang bertanggung jawab menerbitkan mata uang tersebut dan ini bukan badan yang tidak diketahui keberadaannya (majhûl). Ketiga, mata uang tersebut harus tersebar luas dan mudah diakses oleh masyarakat luas dan tidak eksklusif hanya untuk sekelompok orang tertentu saja.
Saatnya beralih menerapkan ekonomi Islam yang bukan sekadar label namun praktik sesuai syariat dengan sebelumnya mencabut sistem kapitalisme yang memang bukan berasal dari Islam. Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar