Menakar Program Makan Bergizi Gratis

 

Perdana pada Senin (6/1) program andalan Presiden Prabowo yakni Makan Bergizi Gratis (MBG) telah berlangsung di 26 provinsi di Indonesia. Di beberapa wilayah, tampak anak-anak antusias menyantap makan siang yang tersaji. Beberapa lainnya yang tidak mendapat jatah, terlihat kecewa. Namun ada pula yang tak berselera terhadap menu atau rasa makanan yang dihidangkan.

 

Adita Irawati, juru bicara Istana mengatakan MBG akan menyentuh sekitar 600.000 orang di wilayah perkotaan dan kabupaten, yang sudah pernah menjalani uji coba dalam beberapa bulan terakhir. Angka tersebut masih jauh dari target awal Badan Gizi Nasional yang sedianya akan menyasar 3 juta anak di tiga bulan pertama.

 

Di awal perkara, tim kampanye Prabowo-Gibran memperkirakan kebutuhan anggaran makan siang gratis sebesar Rp450 triliun per tahun dengan asumsi harga satu porsi makanan Rp15.000, yang akan diberikan setidaknya kepada 83 juta penerima: untuk usia dini, siswa SD, SMP, SMA, SMK, santri dan ibu hamil.

 

Setelahnya, istilah makan siang gratis pun dikoreksi oleh Presiden, menjadi makan bergizi gratis (MBG). Sasarannya juga berubah, tak cuma untuk meningkatkan IQ dan minat belajar, tetapi untuk menangani masalah stunting di Indonesia. Seperti kita ketahui, berdasarkan data World Bank tahun 2020, prevalensi kekerdilan (stunting) di Indonesia berada pada posisi ke-115 dari 151 negara di dunia. Tak hanya itu, besaran nilai makanan perporsi pun berubah menjadi Rp10.000. Bahkan di wilayah lain, ada yang di bawah itu. Pengadaan susu juga menjadi menu tambahan seminggu sekali, tidak lagi setiap hari.

 

Diperkirakan MBG hanya sampai Juni 2025, karena besarnya angka yang harus digelontorkan untuk proyek ini. Bahkan Ketua DPD mengusulkan menggunakan dana zakat, meski akhirnya ide ini ditolak banyak kalangan.

 

Sebagian orang menilai bahwa agenda ini perlu direncanakan lagi lebih matang, sebab masih terjadi perdebatan tentang penyediaan bahan baku, proses memasak, hingga distribusi. Belum lagi masalah menu, serta syarat mitra jasa boga dan pihak pengawas. Bahkan telah terjadi kasus penipuan, ulah oknum nakal terhadap beberapa pengusaha katering. Tampak bahwa proyek besar ini rawan disusupi kecurangan dan manipulasi.

 

Ternyata tak mudah menyelenggarakan agenda ini. Padahal MBG digadang-gadang sebagai program prioritas untuk memperbaiki kualitas gizi anak-anak di Indonesia, serta untuk SDM menggerakkan perekonomian. Maka tentu dibutuhkan upaya sistemik pula, demi mencapai tujuan mulia ini, bahwasanya generasi unggulan tak hanya sebagai penggerak perekonomian, tetapi mereka adalah agen perubahan.

 

Hanya saja, generasi muda saat ini dilanda berbagai krisis. Tak hanya stunting atau gizi buruk, akan tetapi bangunan keluarga pun rapuh akibat kemiskinan. Kondisi ini terjadi karena sistem kehidupan yang jauh dari tuntunan. Tanpa petunjuk Ilahi, manusia gamang menjalani kehidupannya. Solusi yang diambilnya pun acap kali pragmatis, tidak mengakar atau mendatangkan keberkahan.

 

Karenanya generasi memerlukan perbaikan di bidang-bidang lainnya seperti pendidikan, pergaulan, penjagaan keamanan dan kesehatan mereka. Asupan yang baik pada fisik, perlu dibarengi dengan input yang berkualitas pula ada pemikiran generasi. Tujuannya agar mereka menjadi profil pemuda produktif dan tangguh, mutiara umat, hingga kelak mampu membentuk konstruksi bangunan peradaban yang gemilang.

 

Islam Bagi-Bagi Makanan dan Menciptakan Kesejahteraan

Masyarakat dalam Islam memiliki kebiasaan bagi-bagi makanan. Tidak hanya kepada kerabat atau tetangga, juga kepada pengguna jalan saat Jumat tiba. Termasuk kaum papa yang mengais rezeki. Bahkan terdapat sejumlah masjid yang menyediakan makan siang gratis, atau makanan berbuka puasa ketika Ramadan.

 

Hal serupa itu pernah terjadi di masa pemerintahan Utsmani abad ke-14 hingga 19. Terdapat dapur umum (public kitchen), atau dalam Bahasa Arab disebut imaret yang merupakan salah satu bentuk kepedulian umat terhadap sesama.

Amy Singer dalam tulisannya menceritakan bahwa pihak kesultanan memberikan makanan gratis dengan jumlah banyak kepada individu yang kurang beruntung. (Serving Up Charity: The Ottoman Public Kitchen, yang diterbitkan oleh Journal of Interdisciplinary History 2005)

Dalam buku Constructing Ottoman Benefince: An Imperial Soup Kitchen In Jerusalem, Amy Singer memperlihatkan bukti-bukti bahwa penyelenggaraan dapur umum pada masa Turki Usmani tersebut, telah berjalan sesuai tujuannya, yaitu sebagai bentuk bantuan kepada sesama, orang miskin, musafir, dan pelajar.

 

Hingga kini satu-satunya dapur umum yang tersisa dari era Ottoman, terletak di distrik Eyüp Istanbul. Mihrişah Valide Sultan Imaret Didirikan pada tahun 1792, dapur umum telah membuka pintunya bagi fakir miskin selama ratusan tahun. Setiap hari, ratusan pemuda dan lansia berdiri di sana dalam antrean yang sangat panjang.

 

Sejahtera Tak Hanya dengan Makan Gratis

Islam memiliki mekanisme untuk membantu kehidupan masyarakat tak mampu, melalui pos zakat dan kas Baitulmal. Sedangkan bagi masyarakat yang mampu, negara menyediakan lapangan pekerjaan, beserta jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok warga, orang perorang, berupa pangan, sandang dan papan. Termasuk kebutuhan komunal lainnya, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan.

 

Perbaikan gizi pun tidak berdiri sendiri, tetapi dibarengi dengan perbaikan kehidupan masyarakat. Saat mereka sejahtera, maka tidak akan terdapat kasus gizi buruk. Bahkan setiap individu berusaha beraktivitas mulia, berkarya untuk meninggikan agama Allah. Penerapan Islam kaffah, meniscayakan atmosfer keimanan dirasakan semua warga.

 

Pembagian kepemilikan dalam Islam, merupakan jaminan terpenuhinya pendanaan bagi seluruh kehidupan warga. Maka tidak akan terjadi anggaran bocor, utang negara membengkak atau pencabutan subsidi akibat mengelola urusan rakyat. Hal tersebut merupakan karakter pemerintahan dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam HR Bukhari, “Seorang imam adalah penggembala (ra’in) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.”

 

Inilah sebaik-baik kepemimpinan dalam Islam, menjaga generasi dan membentuk mereka menjadi pemimpin yang andal. Di pundak merekalah harapan kebangkitan umat tersebut, kelak disematkan. Al imamu raa’in fa huwa mas’uulun.

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *