Subsidi LPG Jadi BLT, Solusi atau Masalah Baru?

Suara Netizen Indonesia–Komisi 7 Dewan Perwakilan Rakyat DPR RI merekomendasikan agar skema pemberian LPG diubah dari subsidi pada produk menjadi subsidi langsung berupa uang tunai kepada warga yang berhak.

 

Masyarakat Indonesia yang termasuk dalam kategori penerima subsidi LPJ 3 kg nantinya bisa menerima bantuan berupa nominal uang hingga Rp 100.000 per bulan.

 

Wakil ketua komisi 7 DPR RI Edi Suparno mengatakan usulan itu tidak lain untuk membuat penyaluran subsidi menjadi lebih tepat sasaran agar tidak membebani APBN.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus rahadiansyah menilai rencana pemerintah untuk mengubah skema pemberian subsidi LPG tabung 3 kg menjadi BLT akan melahirkan masalah baru.

 

Menurutnya secara wacana bisa sangat efektif namun dalam implementasinya akan rumit karena LPG ini kaitannya dengan produktivitas perekonomian.

 

Harga gas LPG 3 kg akan naik tinggi bila dipasarkan tanpa subsidi. Dari komisi pemerintah 7 DPR RI mengungkapkan harga asli atau harga keekonomian dari tabung LPJ tersebut di dalam setiap tabung LPJ 3 kg ada subsidi pemerintah Rp 33.000. Jadi kalau harga sekarang sekitar Rp 20.000, keekonomiannya Rp 53.000.

Subsidi dalam bentuk BLT dianggap sebagai solusi agar subsidi tepat sasaran sehingga mengurangi beban anggaran negara dalam menyediakan subsidi energi. Pengurangan subsidi terhadap gas yang menjadi kebutuhan umat sejatinya merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme demokrasi di negeri ini.

 

Sistem ini telah menghilangkan fungsi negara sebagai pengurus umat atau Rain,  penguasa hanya bertindak sebagai pembuat regulasi atau regulator, untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu atau pemilik modal. Alhasil kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pun tidak memihak pada kepentingan rakyat.

 

Tidak bisa dimungkiri bahwa mahalnya harga gas LPJ di negeri ini adalah karena swasta atau swastanisasi sumber daya alam migas negara sendiri hanya berpikir memberi subsidi pada aspek distribusi. Sehingga harga di pasar tidak mahal dan sudah menjadi watak negara kapitalis mengurangi subsidi energi untuk rakyat.

 

Padahal, gas LPG bisa dijual dengan harga yang murah, karena biaya produksinya tidaklah semahal hari ini. Gas LPG seharga Rp 3.000 per kg sudah dihitung dengan keuntungan berkali-kali lipat yang diambil perusahaan migas. Murahnya gas LPG tidak dapat terwujud selama liberalisasi migas sebagai konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme tetap diterapkan meskipun negeri ini memiliki kekayaan migas.

 

Rakyat tidak bisa menikmati pemanfaatannya dengan murah bahkan gratis, karena liberalisasi migas menjadikan negara menyerahkan pengelolaan dan penjualannya kepada pihak swasta. Konsep pengelolaan ini tentu saja mencakup bisnis.

 

Inilah fakta pengelolaan migas di bawah sistem kapitalisme neoliberal,  perubahan kebijakan apapun yang dicapai pemerintah pada titik bawah tidak akan memudahkan rakyat memperoleh haknya terhadap sumber daya alam seperti migas yang sejatinya milik mereka.

 

Berbeda dengan sistem Islam, Islam menetapkan negara menjamin menyediakan kebutuhan pokok rakyat tanpa dibayangi dengan harga yang terus naik.

 

Negara harus memudahkan rakyatnya mengakses berbagai kebutuhan awam publik berbagai fasilitas umum dan sumber daya alam yang menguasai hajat publik, termasuk minyak dan gas atau migas.

 

Sistem ekonomi Islam meniscayakan ketersediaan migas yang merupakan sumber energi untuk semua rakyat dengan harga murah atau gratis.

 

Karena Islam, mewajibkan pengelolaan sumber daya alam oleh negara minyak dan gas merupakan jenis harta milik umum atau rakyat di mana pendapatannya menjadi milik seluruh kaum muslim dan mereka berserikat di dalamnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Daud)

Oleh karena itu, setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan sekaligus pendapatannya tidak ada perbedaan. Apakah individu rakyat tersebut laki-laki atau perempuan, miskin atau kaya, muslim atau nonmuslim.

 

Adapun pengelolaannya karena minyak dan gas tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan harus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan, dan misalnya serta memerlukan usaha keras dan biaya untuk mengeluarkannya, maka negaralah yang mengambil alih penguasaan eksploitasinya mewakili kaum muslim. Kemudian menyimpan pendapatannya di baitul mal kaum muslim.

Kepala negara adalah pihak yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya yang dijamin hukum-hukum syariah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.

 

Kaum muslim dimungkinkan untuk melakukan pembagian hasil barang tambang dan pendapatan milik umum dalam bentuk-bentuk sebagai berikut.

 

Pertama, untuk membiayai seluruh proses operasional produksi minyak dan gas, pengadaan sarana dan infrastruktur sejak penelitian eksploitasi pengolahan hingga distribusi ke SPBU. SPBU termasuk di dalamnya, membayar seluruh kegiatan administrasi dan tenaga, yaitu karyawan tenaga ahli direksi yang terlibat di dalamnya.

 

Kedua , diumumkan kepada individu-individu rakyat yang memang merupakan pemilik harta milik umum beserta pendapatannya. Khalifah tidak terkait oleh aturan tertentu dalam pendistribusian ini, khalifah dapat membagikan minyak bumi dan gas kepada yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus di rumah-rumah mereka, dan pasar-pasar mereka secara gratis.

 

Boleh saja khalifah menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang semurah-murahnya atau dengan harga pasar. Khalifah juga boleh membagikan uang hasil keuntungan harta milik umum kepada mereka.

 

Semua tindakan tadi dipilihnya dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat. Pengelolaan migas dalam Khilafah sungguh akan menyejahterakan rakyat dan mengembalikan hak-hak mereka. Wallahualam bissawab. [SNI].

Artikel Lainnya

LPG Melon (Kembali) Langka, Ada Apa?

Menyoroti kelangkaan gas melon 3 kg, Dr. Fahrur Ulum, M.E.I. ekonom dari Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) mengatakan, ini lebih karena kebijakan.
“Kelangkaan ini sebenarnya bukan semata karena faktor alam, tetapi memang karena kebijakan,” tuturnya di Kabar Petang.

Penyebab dari semua ini tidak lain karena kebijakan pemerintah yang terdapat pada sistem yang bukan berdasarkan pada Islam. Melainkan saat ini negara yang menerapkan sistem Kapitalisme, dimana pasti selalu mencari celah keuntungan dalam hal apapun, walaupun akan merugikan orang lain. Saat ini pelayanan negara kepada rakyat yang terjadi seperti pelayanan penjual terhadap pembeli (transaksional). Fahrur mencontohkan, subsidi pada 2023 berkurang 12% daripada subsidi pada 2022, sehingga masyarakatlah yang menanggung beban kenaikan harga.

Berbeda dengan sistem Islam, yang memosisikan gas alam, sumber daya alam, minyak bumi itu menjadi milik rakyat, yang pengelolaannya diserahkan kepada negara. Kemudian, dalam sistem Islam itu ada peruntukan dalam hal kepemilikan. “Secara filosofi kepemilikan dalam Islam dibagi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum, termasuk di dalamnya gas bumi, minyak bumi, tidak boleh dimiliki oleh negara yang kemudian dijual kepada rakyat karena pemerintah hanya mengelola saja sementara kepemilikannya milik rakyat,”.

Realitas Pahit : Rakyat Tak Terwakilkan Wakilnya

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, Kepala Staf Kepresidenan RI (KSP) Moeldoko mengatakan bahwa sebanyak 9,9 juta rakyat Indonesia saat ini belum punya rumah. Kondisi rakyat ini berbanding terbalik dengan kondisi wakil rakyat yang malah mendapat tunjangan rumah. ICW (Indonesia Corruption Watch) mengatakan, kebijakan pemberian tunjangan rumah bagi anggota DPR Periode 2024-2029 merupakan bentuk pemborosan uang negara. Ujar peneliti ICW Seira Tamara dalam keterangan tertulis, “ICW memandang bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara dan tidak berpihak pada kepentingan publik” .

Tentunya ini sudah menjadi rahasia umum dalam sistem demokrasi, bahwa para ‘wakil rakyat’ itu bekerja hanya demi materi saja. Perilaku para anggota dewan yang seperti ini mengarah pada indikasi kuat bahwa kinerja DPR itu tidak akan jauh-jauh dari kue kekuasaan.

Berbeda dengan Majelis Umat dalam sistem Islam yaitu khilafah, mereka menjalankan tugas atas dasar keimanan dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat, maka mereka menjadi para wakil rakyat yang amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Taala.

Mereka berupaya untuk riayatusy syuunil ummah (mengurusi urusan umat), kemudian muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) yang landasannya adalah amar makruf nahi mungkar. Sehingga tidak ada motivasi untuk memperkaya diri menggunakan uang rakyat atas nama wakil rakyat.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *