Nikah Dini, Salahnya Dimana?

Suara Netizen Indonesia–Dalam kegiatan Indonesia Marketing Festival 2024, di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu 31 Juli lalu, Kemenag bekerja sama dengan Markplus mengadakan acara Bimbingan Remaja Usia Nikah (BRUN). Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah, Kementerian Agama (Kemenag), Agus Suryo Suripto mengajak mahasiswa berpartisipasi menjadi agen cegah kawin anak (Republika.co.id, 1/8/2024).

 

Menurut Suryo  mahasiswa memiliki peran strategis, meluas, dan optimal dibandingkan dengan segmen masyarakat lain. Sebagai akademisi, mahasiswa memiliki daya nalar yang kuat untuk mengkritisi kondisi sosial, termasuk masalah keluarga seperti tingginya kasus kawin anak, stunting, dan angka perceraian. Peran mahasiswa  sangat strategis sebagai agen perubahan di masyarakat (agent of change).

 

Kemenag disebut Suryo, sudah menjalin kerja sama dengan sejumlah universitas dan akademisi di Indonesia, termasuk Universitas Islam Negeri Malang. Pelatihan untuk menjadi agen pencegah kawin anak ini bekerja sama dengan sejumlah universitas dan akademisi di Indoneia,  tujuannya  mengubah pandangan bahwa nikah muda itu menarik. Pandangan tersebut dinilai sebagai pola pikir yang salah.

 

Suryo menjelaskan, Ide  ini , telah diperkuat dengan regulasi hukum yaitu Gerakan Keluarga Sakinah Kepdirjen Bimas Islam Nomor 1.099 Tahun 2023, yang mengatur pelibatan masyarakat, termasuk akademisi, dalam membangun ketahanan keluarga. Menjadi asesmen dan pemahaman bagi mahasiswa bahwa akan ada masalah yang dihadapi ketika mereka berkeluarga.

 

Imbauan agar tidak menikah di bawah umur sebenarnya bukan ide baru. Berulang kali pemerintah mengkampanyekan larangan ini dengan segala “risiko” yang akan dihadapi mereka yang nekad menikah di bawah usia yang diperbolehkan pemerintah.

 

Wakil Presiden Ma’ruf Amin tahun lalu pernah  menegaskan bahwa pernikahan anak di bawah umur tidak maslahat. Sebab, pernikahan di bawah umur tidak baik dari segi kesehatan mulai dari kematian ibu dan anak, nantinya akan muncul anak stunting hingga masalah sosial yakni menambah angka kemiskinan (republika.co.id, 25/1/2023).

 

Cukup ekstrem memang dampak yang disampaikan wakil presiden Ini, bisa jadi pendapatnya ini didasarkan data dari   Badan Peradilan Agama (Badilag), dimana permohonan dispensasi nikah atau kawin anak pada tahun 2022 ada kurang lebih 50.000 permohonan dari berbagai daerah.

 

Padahal kata Ma’ruf, sesuai Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia, syarat nikah Kantor Urusan Agama (KUA) adalah minimal usia 19 tahun. Meskipun agama tidak melarang, namun masyarakat perlu memahami tentang bahaya dari pernikahan usia dini. Disinilah pentingnya ada edukasi. Sebab, data selanjutnya memperlihatkan mereka yang tadinya meminta dispensasi menikah berakhir dengan perceraian.

 

Dimana penyebabnya adalah pasangan muda , sang istri  yang sebenarnya masih harus menempuh pendidikan  malah menjadi tenaga kerja wanita, sementara sang suami yang seharusnya menanggung nafkah keluarga malah menjadi pengangguran karena tidak memiliki keterampilan dan pendidikan yang memadai.

 

Apa Penyebab Akarnya?

 

Menghukumi fakta begitu saja tanpa mengaitkannya dengan fakta yang lain adalah kebodohan, bak menepuk air terpercik muka sendiri. Sangatlah jelas bagaimana pemerintah tidak serius menangani masalah pernikahan, perceraian bahkan keluarga. Padahal keluarga adalah institusi terkecil dalam masyarakat yang menjadi penyangga peradaban sebuah bangsa.

 

Sudahkah ada data yang membandingkan berapa pasangan yang menikah di usia belia namun tetap awet tanpa perceraian? Lantas jika agama tidak melarang menikah dini, mengapa masih dilarang bahkan seolah menjadikan pernikahan dini sebagai kambing hitam penyebab stunting, perceraian, bahkan hingga kemiskinan?

 

Bahkan menjejali dengan pendapat berkeluarga atau membina rumah tangga baik usia dini ataupun matang  membuka masalah baru jelas lebih salah. Dan tidak juga mereka yang memilih menikah dini dipersalahkan, yang seharusnya kita kerjakan adalah mencari akar persoalan mengapa pernikahan dini dianggap biang kerok seluruh persoalan manusia.

 

Meski mahasiswa adalah agent of change banyak juga yang justru pemikirannya mundur dengan misalnya memilih menikah tapi tidak berniat memiliki keturunan, memilih hubungan relasi yang lebih bebas tanpa ikatan, bahkan tak sedikit yang memilih berzina. Semua bermula dari pemikiran liberalisme dan hedonisme yang diadopsi dari kafir barat.

 

Kedua pemahaman itu landasannya sekular atau meniadakan peran agama samasekali, berbagai aturan yang semestinya ditaati sebagai bentuk keimanan dan ketaatan perlahan ditinggalkan sebab dianggap merepotkan atau kuno, samasekali tidak sesuai zaman.

 

Sistem pergaulannya sekular, ditambah sistem perekonomiannya pun sekular yaitu kapitalisme, yang jelas mengartikan kebahagiaan adalah sebanyak mungkin mendapatkan kepuasan jazadiyah. Itulah mengapa kapitalisme terus memproduksi baik hal-hal yang memanjakan nafsu menumpulkan akal.

 

Hal-hal yang berbau pornografi pornoaksi, mulai dari bacaan, pakaian, tontonan dan lainnya terus menerus digencarkan, hingga siapapun yang terpapar otomatis Gharizah Nau’nya ( naluri melestarikan jenis) akan gelisah dan tanpa pemahaman agama yang benar mencari pemuasan. Padahal gharizah ini hanya halal dipenuhi dengan ikatan pernikahan.

 

Pendidikan, kemenag juga secara intensif meracuni pemikiran generasi dengan moderasi beragama. Islam digambarkan tidak sesuai zaman, sehingga dikodifikasi sedemikian rupa seolah wajah baru Islam yang baru inilah yang mewakili Islam Indonesia, lebih toleran, tidak merasa agama yang benar sendiri dan yang terparah Alquran bukan satu-satunya hukum bagi kaum Muslim.

 

Dengan berbagai cara kemenag memasarkan ide moderasi beragama ini hingga begitu antusias mendapatkan pujian dari Israel dengan statusnya “ utusan Islam moderat”. Dampaknya tentu pada ketiadaan kesiapan generasi membina rumah tangga.

 

Kapitalisme juga membawa dampak lainnya yaitu hilangnya peran negara menjamin kesejahteraan rakyatnya, seluruh urusan dipindahkan kepada swasta baik asing maupun lokal, yang mana ini menyangkut penguasaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat. Lapangan pekerjaan sulit, belum lagi  negara yang juga harus punya dana untuk operasional tapi tak punya sumber daya alam akhirnya  menetapkan pajak, mengurangi subsidi, melakukan utang luar negeri hingga pengurusan urusan rakyat menjadi sulit.

 

Keluarga mana yang akhirnya tidak berantakan, jika peran ayah sebagai pencari nafkah bertukar dengan ibu? Bahkan anak pun terlibat tak bisa melanjutkan pendidikan karena harus bantu mencari nafkah, kalau sudahpendapatan cupet, bagaimana tidak muncul kurang gizi hingga Stunting?  Dankeadaan sulit ini tak hanya menimpa keluarga dengan usia pasangan saatmenikah sesuai undang-undang ataupun yang di bawah umur.

Baca juga: 

Beban Keluarga Bertambah Bisakah Bahagia?

 

Di sinilah zalimnya sistem batil yang terus menerus diterapkan. Padahal para penguasa itu kebanyakan muslim, yang tentu paham bagaimana konsekwensi keimanan ketika menjadi pemimpin yang tidak adil malah justru menyengsarakan rakyatnya.

 

Rasulullah saw.bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [HR. Bukhari dan Muslim].

 

Islam Ciptakan Keluarga Samawa

 

Jelas dalam Islam bahwa berzina adalah haram, sebagaimana firman Allah SWT. Yang artinya, “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.” (TQS Al-Isrā’ 17: 32). Rasa suka yang fitrah pada pria dan wanita, tidak kemudian disalurkan begitu saja tanpa aturan. Dan satu-satunya jalan menyatukan hasrat itu adalah pernikahan.

 

Tidak menikah pun masalah akan ada, maka yang dibutuhkan adalah pendidikan untuk membangun kerangka berpikir yang benar tentang berumah tangga. Dalam Islam, menikah adalah ibadah. Bukan semata menyatukan dua manusia.

 

Negara, dalam syariat mengharuskan ada tindakan pertama membangun serta menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam. Dimana pelajaran akademi disandingkan dengan pemahaman bagaimana menjadi pribadi yang pola pikir dan pola sikapnya  berdasarkan Islam.

 

Berkaitan dengan sistem pergaulan laki-laki dan perempuan, ajaran Islam mewajibkan menutup aurat, melarang khalwat, melarang komunikasi yang tidak ada kebutuhan syar’i antara keduanya, juga mewajibkan untuk menundukkan pandangan, atau dengan kata lain melarang pacaran dan pergaulan bebas (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham Ijtima’i fil Islam).

Baca juga: 

Gamang Diawal Akhirnya Ikut Mengawal

 

Terkait batasan usia, Islam  tidak ada batasan.  Artinya, berapa pun usia calon suami istri, tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia belum balig sekalipun. Inilah yang kemudian menjadi persoalan, batasan anak dalam sistem sekuler yaitu di bawah 19 tahun sesungguhnya malah menimbulkan masalah baru.

 

 Sebab secara  fikih, balig berkisar usia 15 tahun (laki-laki) dan 9 tahun (perempuan). Tidak tercapainya keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah bukan karena umur mereka yang masih dini, melainkan karena mereka tidak disiapkan secara matang untuk memasuki pernikahan.

 

Negara juga wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Secara mandiri tanpa bekerja sama dengan kafir apalagi menyerahkan sepenuhnya pada perjanjian kerjasama atau investasi.

 

Negara juga wajib menegakkan hukum secara tegas, di antaranya bagi pezina yang belum menikah, wajib didera 100 kali cambuk dan boleh diasingkan selama setahun. Sedangkan bagi pezina yang sudah menikah, maka harus dirajam hingga mati. Berdasarkan hadis Rasulullah saw. Bahwa ada seorang laki-laki berzina dengan perempuan. Nabi saw. memerintahkan menjilidnya. Kemudian ada kabar bahwa ia sudah menikah (muhshan), maka Nabi saw. Pun memerintahkan untuk merajamnya.

Baca juga: 

Berharap Ada Keadilan Dalam Sistem Demokrasi, Ilusi!

Sedangkan bagi siapa saja yang  memfasilitasi orang lain untuk berzina dengan sarana apa pun dan dengan cara apa pun, baik dengan dirinya sendiri maupun orang lain, juga akan dikenakan sanksi. Menurut Islam, sanksi bagi mereka adalah penjara lima tahun dan hukum cambuk. Jika orang tersebut suami atau mahramnya, sanksinya diperberat menjadi 10 tahun. (Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 238).

 

Semua itu tidak bisa diterapkan jika sekularisme masih dipertahankan. Maka, hukum mana yang lebih baik? Manusia atau Allah SWT? Wallahualam bissawab. [SNI].

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *