Miris : Anak Perempuan Menjadi Pelaku Bullying!

Suara Netizen Indonesia-Indonesia darurat bullying. Berita kasus bullying tak henti-hentinya menghiasi layar kaca televisi setiap hari. Jika sebelumnya bullying identik dengan pelaku dan korbam adalah laki-laki di usia remaja, namun sekarang bullying tak lagi mengenal usia dan jenis kelamin. Bahkan mulai melanda pada anak perempuan.

Lagi-lagi warganet dikejutkan dengan viralnya sebuah video yang menunjukkan ada seorang anak perempuan yang sedang dihajar habis-habisan oleh sekelompok remaja perempuan berjumlah 4 orang. Kejadian ini terjadi di Batam.

Terdapat 2 video yang beredar di media sosial. Dilansir dari kompas.tv, pada video pertama, korban mengenakan kaos putih dan celana hitam dihajar oleh sekelompok remaja putri. Pelaku menendang kepala korban dan menjambak rambut korban. Adapun, pada video kedua, korban mengenakan kaos hitam dan celana kuning. Pelaku menendang wajah korban hingga kepalanya terbentur ke pintu besi ruko (kompas.tv.com, 02/03/2024).

Motif perundungan kali ini adalah diduga karena kesal dan sakit hati akibat korban sering mengejek pelaku. Disamping juga ada dugaan si korban mencuri barang pelaku (Liputan6.com, 03/03/2024) . 

Bullying atau perundungan merupakan tindakan mengganggu, mengusik, atau menyakiti orang lain secara fisik atau psikis. Tindakan ini bisa dalam bentuk bentuk kekerasan verbal, sosial, atau fisik yang dilakukan secara berulang kali dan dari waktu ke waktu (halodoc.com).

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), bullying adalah penindasan atau risak (merunduk) yang dilakukan secara sengaja oleh satu orang atau sekelompok yang lebih kuat. Tindakan ini dilakukan terus menerus dengan tujuan untuk menyakiti.

Sungguh miris, anak perempuan di bawah umur menjadi pelaku bullying terhadap sesama anak perempuan juga. Kasus bullying yang semakin marak terjadi ini menjadi luka pilu yang mendalam bagi dunia anak. Dunia anak yang seharusnya penuh diliputi oleh permainan yang menyenangkan dalam masa pertumbuhannya kini berubah menjadi masa yang pilu akibat adanya kasus perundungan. 

Anak yang menjadi pelaku kekerasan menggambarkan betapa lemahnya pengasuhan orang tua hari ini. Kurangnya pengawasan dan perhatian kepada anak, dan bahkan orangtua sendiri kerap mali mencontohkan perilaku kekerasan di hadapan anak sehingga anak meniru, inilah yang menjadi salah satu penyebab semakin marak kasus bullying

Di sisi lain peran orangtua seharusnya optimal untuk menjadikan  rumah sebagai sarana pendidikan pertama bagi anak-anak, menjadi teladan baik bagi anak, serta pilar awal pembentuk karakter anak yang baik. Namun, karena beberapa faktor, salah satunya faktor ekonomi, akhirnya membuat orangtua pun lebih sibuk bekerja di luar demi mencari nafkah, hingga melalaikan peran utamanya dalam pendidikan anak di rumah, akibatnya anak menjadi kurang pengawasan dan perhatian. Hal inilah yang mendorong anak mencari sirkel lain di luar rumahnya yang membuat mereka nyaman dan puas tanpa mereka tahu apakah perbuatan mereka itu baik atau tidak.

Di samping peran pengasuhan orangtua yang semakin lemah, maraknya kasus perundungan yang terjadi pada dunia anak dan remaja ini juga merupakan buah dari gagalnya sistem pendidikan yang mencetak anak didik yang berkepribadian mulia. Sistem pendidikan yang berbasis sekuler-liberal yang diterapkan saat ini menjadikan generasi dididik memiliki kebebasan perilaku tanpa dasar iman dan takwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan sekuler telah menjauhkan pelajar dari nilai-nilai Islam. Walhasil, para pelaku bullying tidak lagi memiliki standar berpikir benar atas perbuatannya sehingga yang menjadi hasil dari pemikirannya justru berupa tindakan bullying.

Dari sisi hukum dan sanksi bagi pelaku bullying pun juga tidak memberikan efek jera. Karena pelakunya adalah anak-anak, maka yang diterapkan adalah hukum peradilan anak, dan anak sebagai anak berhadapan hukum, dengan sanksi yang lebih rendah. Model sistem peradilan seperti ini -yang merujuk pada definisi anak adalah di bawah usia 18 tahun- menjadi celah banyaknya kasus bullying yang tak membuat jera pelaku. Akibatnya, pelaku bullying pun semakin banyak.

Oleh karena itu, masalah perundungan atau bullying ini tidak berdiri sendiri namun merupakan rentetan akibat dari penerapan sistem kehidupan yang salah yaitu sekuler-kapitalisme. Sehingga penyelesaiannya pun harus komprehensif secara sistemik.

Penyelesaian kasus bullying harus dari akarnya yaitu dengan menjadikan islam kembali sebagai rujukan dalam menerapkan aturan kehidupan. Islam menempatkan keluarga sebagai tempat pendidikan dan pembentukan karakter yang terpenting bagi seorang remaja. Di rumah, orangtua berperan harus bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya dalam berkata dan bersikap. Orang tua hendaknya membekali anak-anak mereka dengan menanamkan keimanan kepada Allah dan mengajarkan ketundukan kepada ajaran Islam sejak anak kecil. Karena itulah, orang tua, khususnya ibu, harus membekali dirinya dengan Islam untuk diajarkan kepada anak mereka. 

Penting sekali menanamkan akidah dan syariat islam pada anak salah satunya melalui sistem pendidikan yang berbasis islam. Dengan sistem pendidikan Islam, mereka akan tumbuh menjadi sosok berkepribadian Islam tinggi dan mulia. Menjadi penyebar risalah mulia serta menjadi penegak peradaban.

Islam juga memiliki sistem sanksi yang shahih yang mampu membuat jera para pelaku bullying. Batas usia anak-anak di bawah 18 tahun tidak menjadi dasar dalam memberikan sanksi, namun batas usia baligh-lah yang menjadi tolok ukur dalam memberikan sanksi. Sebab pada uska baligh itulah anak atau remaja sudah memikul tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya.

Usia baligh adalah usia dimana seseorang telah dikenai taklif atau beban hukum syariat di pundaknya. Sehingga jika dia melakukan tindakan kekerasan seperti bullying, maka sanksi yang dikenakan pun bukan sanksi ringan, sehingga efek jera itu dirasakan olehnya dan masyarakat sekitar. 

Lingkungan masyarakat pun harus terbina dengan akidah Islam pula. Sehingga pencegahan bullying bisa disinergikan antara rumah, sekolah, dan lingkungan. Bahkan, jika hendak benar-benar kukuh, selain di keluarga, sekolah, dan masyarakat yang islami, jelas membutuhkan peran negara yang menerapkan Islam secara kafah. [SNI]

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *