Bansos, Sejahtera Ala Demokrasi?
Sejak akhir tahun lalu, bansos Presiden Joko Widodo sudah berderet, dari bantuan pangan beras 10 kilogram (kg), BLT El Nino Rp 200 ribu per bulan, hingga yang terbaru BLT mitigasi risiko pangan Rp 200 ribu per bulan. Alasan utamanya untuk memperkuat daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah.
Penguatan daya beli ini perlu dilakukan di tengah kenaikan harga pangan, presiden mengakui, meroketnya harga pangan terjadi di berbagai negara bukan hanya Indonesia (detik.com, 2/2/2024).
Bantuan sosial yang diberikan menurut Jokowi, sama sekali tak ada kaitannya dengan politisasi pada paslon tertentu dalam Pemilu 2024. Sebab, bantuan sosial itu sudah banyak diberikan jauh-jauh hari sebelum Pemilu 2024, bahkan ada yang sudah diberikan sejak September tahun lalu.
Dan pemberian BLT menurut presiden lagi, mekanismenya sudah sesuai, yaitu mendapat persetujuan dari DPR, sehingga bukan kesepakatan sepihak saja, dimana dana semua bantuan sosial ini dari dana APBN. Warga banyak yang mempertanyakan mengapa urusan bansos saja hingga presiden yang turun, sementara menteri sosial, tidak nampak. Lebih nyinyir lagi, warga ada yang bertanya, mengapa jika bansos atas nama presiden, sedangkan utang luar negri atas nama rakyat?
Politisasi Bansos Keniscayaan Dalam Sistem Demokrasi
Publik kini sudah lebih kritis, terbukti dari setiap kebijakan mereka mengeluarkan pendapat, kristik, mencemooh dan lainnya. Namun inilah wajah demokrasi yang sebenarnya.
Pasalnya dalam demokrasi, kekuasaan menjadi tujuan yang akan diperjuangkan dengan segala macam cara. Oleh karena itu setiap peluang akan dimanfaatkan. Hal itu wajar sebab dalam sistem demokrasi meniscayakan kebebasan berperilaku, dan ini sebagai salah satu pilar dari empat pilar dalam demokrasi (kebebasan memiliki, kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat).
Apalagi sistem ini jelas mengabaikan aturan agama dalam kehidupan. Asasnya sekuler, ada tiga kekuasaan di dalam demokrasi yang harus kita cermati. Yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif. Legislatif inilah salah satu lembaga yang sangat krusial, dimana di dalamnya diakui seorang manusia atau kelompok tertentu boleh membuat undang-undang.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar fakta ini menjadi ironi. Pun semua pejuang yang telah gugur memperjuangkan kemerdekaan tentulah tujuannya hanya satu, penjajahan harus dihapuskan di muka bumi. Dengan semangat jihad yang berkobar, digerakkan oleh para ulama, adalah agar kita hanya menyembah Allah swt. Bukan yang lain.
Namun, nyatanya undang-undang kita dikuasai pengusaha yang dalam sistem demokrasi juga menjadi keniscayaan adanya kerjasama yang mesra antara penguasa dengan pengusaha. Pengusaha inginkan bisnisnya lancar, penguasa inginkan kampanyenya sukses mendudukkan dia sebagai penguasa, tentu dengan sokongan dana dari pengusaha.
Di sisi lain, dengan kesadaran politik yang rendah dari masyarakat kita, bahkan termakan oleh info rendahan seperti politik itu kotor, politik itu permainan dan lain sebagainya, semakin membuat masyarakat semakin enggan mendekat kepada politik. Ditambah dengan rendahnya pendidikan, anak didik hanya diarahkan pada kesuksesan nisbi. Dunia saja, dengan banyak materi maka itulah kesuksesan, digiringlah pada pendapat bahwa sekolah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Atau sebaliknya, tak perlu nilai akademik sempurna namun cukup kreatifitas dan inovasi, dunia digital menanti. Ujung-ujungnya mereka berputar pada dunia konten kreator yang kebanyakan kontenya sampah sebab tak sesuai syariat. Padahal sebagai muslim wajib hukumnya terikat dengan apa yang diperintah dan dilarang Allah swt.
Kemiskinan yang menimpa, sulitnya akses pekerjaan bagi pria, dan mudahnya pekerjaan bagi wanita, memaksa sebuah keluarga akhirnya bertukar peran, ayah di rumah, sedang ibu bekerja. Dampaknya menjadi lebih buruk setiap harinya, lahirlah masyarakat akan berpikir pragmatis, tak paham dengan hak dan kewajibannya sebagai manusia dan hamba Allah swt. Lebih buruknya mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
Islam Akan Wujudkan Kesejahteraan Tanpa Bansos
Kemiskinan menjadi problem kronis negara. Hal ini karena negara mengadopsi demokrasi sebagai sistem politiknya. Padahal selain asasnya yang cacat, karena meyakini sekulerisme (pemisahan agama dari pemerintahan) , demokrasi juga menjadikan penjajahan dalam bentuk baru yaitu menjadikan penguasa jongos pengusaha, termasuk ketika hendak mengelola sumber daya alam atas nama investasi.
Padahal, seharusnya negara yang berkewajiban mengentaskan kemiskinan dengan cara komprehensif dan dari akar persoalan, bukan hanya sekedar dengan bansos berulang, apalagi meningkat saat menjelang pemilu. Rasulullah Saw bersabda,”Sungguh manusia yang paling Allah cintai pada Hari Kiamat kelak dan paling dekat kedudukannya dengan Dia adalah seorang pemimpin yang adil. Sungguh manusia yang paling Allah benci dan paling keras mendapatkan azab-Nya adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR at-Tirmidzi).
Keadilan inilah yang tak ada dalam demokrasi, sebab semua ditakar berdasarkan kehendak siapa yang berkuasa. Sedangkan Islam mewajibkan negara yang menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu, dan Islam memiliki berbagai mekanisme. Di antaranya adalah dengan pengelolaan kepemilikan umum dan negara, hasilnya dikembalikan kepada rakyat baik dalam bentuk langsung maupun tak langsung.
Islam juga menetapkan kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Sehingga penguasa akan mengurus rakyat sesuai dengan hukum syara. Dengan pendidikan yang berdasarkan akidah, mampu mewujudkan sumber daya manusia berkepribadian Islam, termasuk amanah dan jujur.
Negara juga akan mengedukasi rakyat dengan nilai-nilai Islam termasuk dalam memilih pemimpin, sehingga umat memiliki kesadaran akan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang muslim yang menjadi pemimpin pun jelas berkualitas karena iman dan takwanya kepada Allah serta memiliki kompetensi, tidak perlu pencitraan agar disukai rakyat. Tanpa pula perlu bansos terus menerus karana dana yang terkumpul di Baitulmal lebih dari cukup membiayai sebuah negara. Wallahualam bissawab.
Komentar