Derita Rakyat Untuk Sehat, Semua Berbayar
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengingatkan warga yang belum divaksinasi Covid-19 untuk mengikuti vaksinasi di tengah kembali bertambahnya kasus Covid-19 di Indonesia (kompas com, 18/12/2023).
Ma’ruf menuturkan, protokol kesehatan dengan memakai masker juga perlu dikembali diterapkan di tempat-tempat tertentu sesuai perkembangan kasus Covid-19. Direktur Surveilans Kekarantinaan Kesehatan Kemenkes, Ahmad Farchanny menyampaikan peningkatan itu mulai semakin tajam diakhir November dan awal Desember 2023.
Ahmad mengungkapkan total kasus aktif Covid-19 per 14 Desember 2023 adalah 1.499 kasus, bertambah dari data sehari sebelumnya yang berjumlah 1.219 kasus. Untuk itu, Kemenkes sudah menerbitkan edaran agar seluruh fasilitas pelayanan kesehatan meningkatkan kembali uji atau testing terhadap Covid-19. Edaran itu diterbitkan pada awal Desember ini dan ditujukan kepada seluruh Dinas Kesehatan tingkat provinsi/kabupaten/kota serta Rumah Sakit, Puskesmas, serta Kantor Kesehatan Pelabuhan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengingatkan kepada khalayak bahwa penanganan pasien COVID-19 tidak lagi gratis atau ditanggung pemerintah apabila sudah terjadi perubahan status dari pandemi menjadi endemi. “Ini hati-hati kalau sudah masuk endemi, kalau kena COVID-19 bayar. Saat ini masih ditanggung pemerintah, begitu masuk endemi, jangan tepuk tangan dulu, sakit COVID-19 bayar. Konsekuensinya itu,” ujar Jokowi saat menghadiri peringatan satu dekade Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) di Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (18/6).
Vaksin Covid-19 Berbayar, Dimana Peran Negara Sebagai Junnah?
Seolah menjadi pembuktian apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo, kini vaksin Covid-19 berbayar. Hal ini disampaikan oleh Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi , bahwa pemerintah akan memberlakukan kebijakan vaksin Covid-19 berbayar, namun pemerintah tidak menentukan besaran biayanya. Dan berlaku mulai 1 Januari 2024. Sungguh kado tahun baru yang luar biasa (kompas.com,31/12/23).
Menurut Nadia, harga vaksin Covid-19 berbayar akan ditentukan oleh masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang menyediakan vaksin Covid-19 berbayar. Dengan begitu, rumah sakit (RS) hingga puskesmas dibebaskan untuk menentukan sendiri harga vaksin Covid-19 berbayar. “Seperti vaksin influenza,” ujar Nadia.
Ia pun kembali menegaskan bahwa pemerintah tidak terlibat dalam penentuan harga vaksin Covid-19 berbayar. Ya kalau pemerintah ada penetapan seperti PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) atau tarif BLU-nya,” kata Nadia. “Kita tidak mengatur harga, tapi nanti kan ada e-katalog,” ujarnya lagi.
Semakin kesini, pelayanan kesehatan sudah semakin mirip market place, harga vaksin dibiarkan mengikuti pasar. Bahkan ada e-katalognya. Yang artinya, vaksin menjadi barang dagangan, negara penjualnya, rakyat pembelinya. Bukankah dengan begini peluang si miskin mendapatkan vaksin akan semakin sulit, belum lagi jika di daerah yang sinyal internet saja susah?
Menurut perkiraan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, harga vaksin Covid-19 kemungkinan mencapai ratusan ribu rupiah per dosis. Pada Februari lalu, Menkes menyebut bahwa vaksin booster Covid-19 kemungkinan akan dikenai harga Rp 100.000 per dosis. Dosis booster ulang ini rencananya diimbau untuk disuntikkan setiap enam bulan sekali. Namun demikian, kisaran tersebut masih akan kembali dihitung oleh Kemenkes.
Meski mulai berbayar mulai tahun depan, Nadia memastikan pemerintah tetap menyediakan vaksin Covid-19 gratis untuk kelompok tertentu. Program vaksin dengan nama imunisasi program ini tertuang dalam Peraturan Menkes (Permenkes) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Pedoman Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyatakan kebijakan vaksin COVID-19 berbayar yang rencananya mulai 1 Januari 2024 belum tepat untuk diberlakukan. “Justru pada akhir tahun ini ada peningkatan kasus COVID-19, ada 318 kasus baru dan satu kematian. Jadi, pemberlakuan kebijakan ini (vaksin COVID berbayar) dirasa kurang tepat waktunya,” kata Kurniasih.
Menurut dia, meski diatur batas terakhir vaksin COVID gratis hingga 31 Desember 2023, namun pemerintah bisa mengkaji ulang kebijakan itu. Setidaknya kebijakan menerapkan vaksin berbayar untuk COVID bisa ditunda hingga waktu yang pas (antaranews.com, 31/12/2023).
Kurniasih menambahkan COVID-19 adalah penyakit pandemi yang beralih menuju endemi. Persebaran penyakit ini masih ada dan nyata. Sementara dengan jumlah penduduk besar, amat mungkin masih banyak penduduk Indonesia yang belum mendapat cakupan vaksin. “Jika masih dibebani anggaran vaksin COVID, entah dosis ke berapa, tentu akan semakin memberatkan. Kita punya vaksin anak bangsa yang seharusnya bisa melayani kebutuhan anak bangsa,” jelasnya.
Memang benar, bahwa kesiapan setiap daerah tidak akan sama, seperti contohnya, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta yang mulai menerapkan vaksin COVID-19 berbayar pada 1 Januari 2024. Untuk itu, warga yang belum melengkapi vaksinasi segera mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah terdekat mumpung masih gratis ( dan gratis itu berjangka waktu).
Kepala Dinkes DKI Jakarta Ani Ruspitawati menyebut vaksin COVID-19 berbayar ini berlaku untuk penyuntikan semua dosis vaksin. Namun, ada beberapa kelompok yang tetap mendapatkan vaksin COVID-19 secara gratis, seperti warga lanjut usia dan kelompok rentan lainnya.
Ani menyebut vaksin COVID-19 berbayar ini berlaku untuk penyuntikan semua dosis vaksin. Namun, ada beberapa kelompok yang tetap mendapatkan vaksin COVID-19 secara gratis, seperti warga lanjut usia dan kelompok rentan lainnya.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI meminta masyarakat untuk segera memanfaatkan 4,1 juta dosis vaksin COVID-19 yang disediakan untuk mencegah peningkatan kasus menjelang perayaan Natal 2023 dan Tahun Baru 2024.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi mengatakan Kemenkes menerbitkan surat edaran tentang Kewaspadaan Terhadap Lonjakan COVID-19 bagi Pelaku Perjalanan Luar Negeri, khususnya yang mempunyai risiko tertular COVID-19 akibat interaksi dengan orang lain dari berbagai negara.
Menurut Nadia perkembangan kasus COVID-19 di Asia Tenggara sedang mengalami tren peningkatan, di antaranya Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Maka perlu ada upaya agar tingkat imunitas masyarakat tetap tinggi dengan memastikan tersedianya pelayanan vaksinasi COVID-19.
Pemerintah daerah juga diminta untuk menjamin ketersediaan vaksin dan logistik lainnya (antaranews.com, 12/12/2023). Pertanyaannya, bagaimana dengan wilayah lainnya yang jauh dari ibukota bahkan dari pinggiran?
Sungguh ironi, di tengah naiknya kasus Covid-19 pemerintah menetapkan vaksin covid berbayar, meski masih menyediakaan vaksin gratis untuk yang belum pernah mendapatkan vaksin dan kelompok rentan. Presiden hingga melarang rakyatnya untuk bertepuk tangan tanda senang, sebab jika status virus sudah menjadi endemi maka tak ada yang gratis, mengapa pernyataan tersebut yang tertangkap justru bukti lalainya negara dalam mengurusi rakyatnya?
Tak Ada Solusi Hakiki Selain Khilafah
Seharusnya negara memberikan vaksin gratis kepada semua rakyat mengingat penyakit ini termasuk penyakit menular. Di sisi lain, istilah kelompok rentan seolah menjadi alat pembungkam yang menghalangi pemberian vaksin pada yang tidak rentan.
Padahal sejatinya semua rakyat rentan sehingga peningkatan kekebalan tubuh penting untuk semua lapisan masyarakat. Rakyat masih butuh edukasi bagaimana hidup sehat, pencegahan jika terpapar dan lain sebagainya, dengan tingkat pemikiran yang hari ini rendah susah sekali mengajak fakyat untuk memikirkan maslahatnya.
Penetapan vaksin berbayar ini menggambarkan potret negara kapitalis, yang tidak meriayah ( mengurusi) rakyat dengan baik malah justru negara menjadi pedagang. Seolah rugi jika rakyat bisa hidup tenang dengan adanya jaminan nyata terkait kesehatannya. Ironinya, ruh kapitalisme yang hari ini berpengaruh justru hanya menyenangkan para pemodal besar yang sekaligus distributor vaksin bahkan produsennya.
Islam menetapkan negara sebagai rain dan junnah termasuk dalam membentengi masyarakat menghadapi serangan penyakit menular. Sebab kesehatan termasuk dalam kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).
Tak main-main ancaman Allah swt. terhadap pemimpin yang terus menerus menyusahkan rakyat. Jaminan kesehatan di negeri ini memang sudah sangat amburadul, segala sesuatunya serba membayar, BPJS kesehatan bayar, pelayanan rumah sakit bayar, pendidikan bagi tenaga kesehatan juga dokter bayar, fasilitas kesehatan bayar, obat-obatan tidak semua terkover BPJS maka juga bayar.
Bagaimana bisa negara kuat, jika ketahanan kesehatan dan aspek lainnya tidak mendukung? terutama rakyatnya yang sakit-sakitan, masih pula diwajibkan membayar pajak.
Negara Islam atau Daulah Khilafah akan memfasilitasi para ilmuwan untuk mengembangkan teknologi sendiri sehingga mampu mencukupi kebutuhan vaksin secara gratis. Hari ini bukan berarti negeri ini miskin dari tenaga ahli, namun karena ada penjajahan dari kekuatan global, kafir barat pengemban kapitalisme yang tak ingin negara-negara selain mereka maju dan mandiri. Negara-negara berkembang ini wajib meratifikasi aturan dan kebijakan organisasi dunia termasuk kebijakan kesehatan dan hak paten pembuatan vaksin.
Kesehatan adalah komoditas, para penjajahan kafir ini akan terus menekan negara-negara di dunia agar hegemoni atas mereka tak luntur. Pasar bagi produk-produk mereka tak hilang, padahal jika sudah bicara kesehatan sama artinya kita sedang bicara kehidupan. Siapapun yang sehat ia akan produktif. Lantas, sampai kapan kita bertahan dalam sistem yang terus menerus memasukan kita dalam penjajahan ? Wallahualam bissawab.
Komentar