Tuntaskan Femisida dengan Islam

 

Kasus pembunuhan terhadap perempuan seakan tak pernah berhenti. Kini bahkan bermunculan dengan beragam kondisi. Salah satunya terjadi di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, seorang suami membunuh istrinya dengan disaksikan dua anak balita. Tragis. Komnas Perempuan menyatakan bahwa kasus ini masuk ke dalam kategori femisida. (Republika, 13-9-2023)

 

Beberapa waktu kemudian, Gregorius Ronald Tannur (31) telah menganiaya kekasihnya, Dini Sera Afrianti (28), hingga menyebabkan korban tewas, di tempat karaoke Blackhole KTV Surabaya pada Rabu (4-10-2023) malam. Kasus ini pun disebut sebagai femisida.

 

 

Istilah femisida belum akrab di tengah masyarakat. Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya. Karena itu, femisida muatannya berbeda dari pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi.

 

Dari definisi tadi, ada isu kesetaraan gender di balik terminologi femisida. Menurut penggagasnya, perbedaan femisida dengan pembunuhan lain adalah adanya latar belakang relasi kuasa yang mendorong dibunuhnya perempuan akibat identitas gendernya. Sebabnya, pada banyak kasus tampak kepuasan sadistis pihak pelaku terhadap korban. Juga adanya ketimpangan relasi kuasa, agresi, serta rasa superioritas terhadap perempuan. (Komnas Perempuan, 13-3-2020)

 

Jika mengikuti terminologi tadi, pada rentang waktu tahun 2016-2020 terdapat 421 kasus pembunuhan terhadap perempuan, yang terbagi atas 42,3 % kasus kejahatan yang dilakukan oleh suami, dan 19,2 % kekasih. Dari 421 kasus tadi, 25 kasus (5,94%) terjadi pada 2016, 34 kasus (8,08%) pada 2017. Pada 2018 terjadi kenaikan jumlah kasus hampir tiga kali lipat dibandingkan 2017. Pada 2019, kasus femisida di Indonesia tercatat 167 kasus (39,67%), dan pada 2020, sebanyak 95 kasus (22,57%). Pada 2022 terjadi 3.950 kasus terlapor, naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2021. (Laman Komnas Perempuan)

 

Ini adalah hasil pantauan di media oleh Komnas Perempuan. Angka-angka tersebut relatif masih tinggi. Tentu mengkhawatirkan, sebab kini tampak bahwa perempuan tidak aman, di manapun ia berada. Perangkat hukum telah disiapkan dengan berbagai pasal, namun belum menyentuh akar masalah. Maka perlu memperbaiki dari seluruh aspek, agar tuntas persoalan yang menimpa perempuan.

 

 

Solusi Sekularisme

Para feminis sudah sejak lama menyuarakan ide-ide kesetaraan. Mereka pun gencar menyampaikan solusi bagi masalah-masalah perempuan. Namun faktanya, sungguh jauh panggang dari api, permasalahan kekerasan terhadap perempuan tak kunjung reda, bahkan semakin kompleks. Begitupun dengan istilah femisida, para feminis menginginkan bentuk sanksi khusus terhadap tindak kejahatan jenis ini.

 

Mereka merasa perlu adanya kesetaraan untuk melindungi perempuan agar tidak terjadi dominasi laki-laki atas perempuan. Istilah femisida sendiri tentu bukan berasal dari Islam. Namun diperkenalkan pertama oleh John Corry, seorang sejarawan dan pembuat peta topografi asal Inggris, pada tahun 1801, dalam bukunya berjudul  A Satirical View of London at the Commencement of the Nineteenth Century. Ia menggunakan istilah femisida untuk menyebut pembunuhan terhadap perempuan.

 

Terjadinya perselisihan antar sepasang kekasih disebabkan kehidupan serba bebas yang diadopsi sebuah negeri. Dengan asas fashluddin anil hayah, Allah SWT tidak mendapat tempat dalam kehidupan sehari-hari. Alhasil seluruh perkara yang berkelindan, menjauhkan individu dari Rabb Al-Mudabbir. Maka endingnya menjadi mudah ditebak, yakni nasib perempuan yang semakin mengenaskan dalam sistem sekular kapitalisme. Tidak ada jaminan keamanan yang diberikan negara dalam sistem hari ini.

 

Begitu pun kampanye 16 HAKtP (Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan) yang digagas pertama kali oleh Global Women’s Institute pada 1991 yang disponsori Center for Global Women’s Leadership, yang merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia, tidak mampu memberi ruang aman bagi perempuan. Di Indonesia, aktivitas ini diinisiasi oleh Komnas Perempuan. Meski sekilas tampaknya ideal, namun belum menyentuh seluruh masalah, pada tataran aplikasi.

 

Demikian pula halnya tatkala setiap tahunnya, berlangsung kegiatan ini, sejak 25 November (Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan) hingga 10 Desember (Hari HAM Internasional). Salah satu seruan yang gencar disuarakan tahun ini adalah keharusan adanya ruang aman bagi perempuan melalui implementasi UU TP-KS, pun belum berhasil membuat para perempuan terbebas dari kasus-kasus kejahatan.

 

Solusi Islam

Dalam Islam, perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Islam memiliki berbagai mekanisme untuk menjaga kehormatan dan keselamatan perempuan dari segala bahaya. Maka Allah SWT menetapkan seperangkat aturan seperti kewajiban menutup aurat, batasan khalwat, larangan tabarruj dalam kehidupan umum, dan sebagainya melalui sistem pergaulan Islam.

 

Begitu pula halnya dalam Islam, tidak boleh terjadi dominasi laki-laki terhadap perempuan yang mengarah pada kekerasan. Peran laki-laki terhadap para perempuan yang berada dalam wewenang tanggung jawabnya adalah sebagai qawwam atau pemimpin. Ia akan melindungi, mencari nafkah, dan menjaga kehormatan keluarganya.

 

Penjagaan tersebut dilakukan sejak dari rumah, sebagai ruang privat, hingga kehidupan umum. Allah SWT mengaturnya di dalam banyak nash, beragam perlindungan terhadap perempuan. Pelanggaran terhadap hal itu, akan dikenakan sanksi yang bersifat jawabir (penebus) dan jawazir (pencegah). Pun tidak perlu pembedaan karena unsur keperempuanannya.

 

Pada Qur’an surat Al-Baqarah ayat 178—179, Allah SWT menyampaikan tentang qishas, untuk bentuk pembunuhan yang disengaja. Yaitu hukuman yang sama dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Sedangkan Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 92 tentang ketentuan sanksi bagi pembunuhan yang tidak sengaja, baik berupa kafarat, diyat atau membebaskan budak. Tidak dibedakan apakah kasus kejahatan tadi menimpa perempuan atau laki-laki.

 

Seluruh penjagaan tadi, ditegakkan oleh individu beriman, masyarakat yang kerap kali melakukan pengawasan berupa amr ma’ruf nahy munkar, serta negara melalui penerapan Islam kaffah dalam kehidupan. Inilah yang akan mengeliminasi beragam kasus kejahatan, menciptakan kondisi aman dan sejahtera, bahkan mengantarkan umat pada kebangkitan yang hakiki. Inna akramakum indallaahi atqaakum.

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *