Bina Hubungan Dekat, Investasi Semakin Lekat

Wakil Presiden Ma’ruf Amin bertemu dengan CEO dan general manager 10 perusahaan dari provinsi Fujian, Guangxi dan Shanghai, China. Ma’ruf mengajak para pengusaha itu untuk berinvestasi dan mengembangkan industri halal di Indonesia, sebab pansa pasarnya sangat potensial. 

 

Pertemuan itu berlangsung di Hotel Crowne Plaza Fuzhou Riverside, Fuchou, Provinsi Fujian, China, Jumat (15/9/2023). “Apresiasi atas sejumlah proyek kerja sama antara Indonesia-China dalam koridor kerja sama Two Countries Twin Parks (TCTP) yang telah berjalan dengan baik. Berbagai proyek kerja sama ini perlu untuk diperluas di berbagai sektor potensial yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak,” kata Ma’ruf saat bertemu dengan para pengusaha China ( detiknews, 15/9/2023). 

 

Ma’ruf mengatakan saat ini Indonesia telah memiliki 3 kawasan industri halal (KIH). Kawasan itu di antaranya Halal Modern. Valley di Serang, Halal Industrial Park di Sidoarjo dan Bintan Inti Halal Hub di Bintan. 

 

Investasi Halal Berdasarkan Kedekatan?

 

“Saya telah banyak mendengar tentang kedekatan Fujian dengan Indonesia dari aspek sejarah dan hubungan antar masyarakat,” kata Ma’ruf saat bertemu dengan Sekretaris Communist Party of China (CPC) Komite Provinsi Fujian/Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Provinsi Fujian, Zhou Zuyi. Ma’ruf menyebut masyarakat Tionghoa-Indonesia di RI banyak berasal dari Fujian sehingga tidak asing lagi dengan istilah “‘bakpao’, ‘capcay’ yang berasal dari bahasa Hokkian. Kedekatan sejarah dan budaya inilah yang diharapkan Ma’ruf dapat mempererat kerja sama. 

 

Dalam perkembangannya, tidak setiap mereka yang berasal dari Fujian beragama Islam. Di Provinsi Fujian, agama Islam mengalami penurunan dalam hal praktik semenjak periode Dinasti Ming, yang disebabkan oleh beberapa faktor misalnya, terputus dari komunitas utama Muslim yang pindah ke utara mengikuti pembangunan ibukota Beijing. Program pendidikan agama Islam (Jingtang Jiaoyu) yang dikembangkan oleh Hu Dengzhou (1522-1597) di utara Tiongkok tidak mencapai Fujian dan masyarakat di sana tidak bisa lagi mengerti kitab suci Quran. Faktor lainnya adalah serangan bertubi-tubi dari perompak Jepang di kawasan pesisir Fujian dan Zhejiang, ikut berakibat pada kehancuran komunitas Muslim di sana ( profilbaru.com). 

 

Artinya kini melihat Fujian lebih wajib melihat ia merupakan bagian dari pemerintahan Cina yang menetapkan sistem kapitalisme dalam memajukan perekonomian. Hal paling dekat lagi adalah kemudahan penawaran investasi. Sebab, salah satu yang paling menonjol dari sistem ini adalah penanaman modalnya ke negara-negara lain. Penjajahan gaya baru inilah yang menjadikan Cina tetap tegak berdiri, sebagaimana negara-negara pengemban kapitalisme lainnya seperti Inggris, Rusia, Amerika dan lainnya. 

 

Maka alangkah dangkalnya mindset penguasa kita, hanya karena tak asing dengan istilah “bakpao” dan ” cap cay” kedaulatan negara tergadai dalam sebuah investasi. Sekalipun bertajuk halal, tak akan sedikitpun menyentuh ketoyyiban, bahkan tidak pula kesejahteraan kehidupan kaum muslimin di negeri ini yang jumlahnya mayoritas. 

 

Investasi Halal hanyalah kedok penguasa agar terlihat mengurusi urusan rakyatnya, namun sebenarnya, hanya menyenangkan hati para pengusaha taipan, dan kita mendapatkan remah rengginang pajak yang tak seberapa. Kemiskinan tak akan terangkat, bahkan kedaulatan sudah bisa dipastikan hilang. Penguasa kita bukannya sibuk memperkuat ketahanan pangan nasional, sebaliknya sibuk menjajakan diri menawarkan investasi ke berbagai negara. 

 

Jika kita jeli, darimana datangnya impor beras padahal negeri ini menjadi lumbung padi terbesar di Asia ? darimana impor garam padahal garis pantai kita terpanjang di dunia ? darimana datangnya asap tebal kebakaran hutan untuk jutaan hektar kebun kelapa sawit padahal kita punya julukan paru-paru dunia? Dan lainnya, jelas dari investasi luar negeri. 

 

Termasuk peristiwa yang kian menghangat baru-baru ini, Rempang salah satu pulau di Kepulauan Riau. Itupun atas nama investasi yang digadang akan memajukan perekonomian dan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan baru. Namun rakyat asli di sana dipaksa hengkang. Pulau harus bersih demi sebuah proyek RPJPM nasional. Bukankah seharusnya setiap proyek atau pembangunan infrastruktur adalah untuk maslahat rakyat?

 

Kapitalisme versus Islam

 

Belum ada cerita pembuktian bahwa investasi benar-benar mensejahterakan rakyat. Pun 3 kawasan industri halal (KIH) yang sudah dimiliki negara. KIH adalah kawasan yang dibangun dengan fasilitas untuk mengembangkan industri yang memproduksi produk halal sesuai prinsip syariat. 

 

Disebut dengan kawasan industri dengan maksud menjadi kawasan tempat pemusatan kegiatan industri pengolahan yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan fasilitas penunjang lainnya yang disediakan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri. Tentu ini adalah industri besar, punya brand dan pangsa pasar tertentu, yang tidak semua rakyat yang ingin berbisnis mampu mengaksesnya. 

 

UMKM saja masih ngos-ngosan karena berbagai kendala, jelas ini hanya untuk pengusaha kelas menengah ke atas. Rakyat Kembali hanya mampu mengais rezeki remeh temeh. Berbeda dengan Islam, negara akan hadir sebagai periayah ( pengurus) seluruh urusan rakyatnya sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). 

 

Negara akan membuka lapangan pekerjaan seluas mungkin, dan mewajibkan setiap pria baligh untuk bekerja. Dengan berbagai kewenangan yang dimiliki negara seperti kepemilikan umum, kepemilikan negara, i’toul Daulah ( pemberian harta dari kepemilikan negara), subsidi, pemberian modal, pelatihan dan lainnya yang disimpan dan dikeluarkan dari Baitul mal, maka negara mampu menjamin pelaksanaan kewajiban tersebut. 

 

Negara akan mendorong stabilitas perekonomian dalam negeri, tidak asal ekspor impor. Begitu juga tidak asal investasi. Seluruh praktik-praktik non riil ala Kapitalisme, praktik riba dan setiap muamalah yang melanggar syariat akan dihapus. Jika masih kedapatan ada, maka akan dikenakan sanksi yang tegas. Semua ini karena asas negara dalam mengurusi rakyatnya adalah syariat. Dan negaralah penerapnya. 

 

Hubungan antar negara bukan berdasar sejarah dan kedekatan semata, namun mutlak berdasar syariat, apakah kafir muahid ( negara yang terikat perjanjian) atau kafir Muhariban fi’lan ( negara yang jelas-jelas menyerang Islam). Ketetapan ini tak mungkin lahir dari rahim kapitalisme, tapi pasti dari Islam. Wallahu a’lam bish showab. 

 

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *