Zakat, Pendayagunaan atau Pengabaian Kewajiban?

Sebagai salah satu negeri muslim terbesar, tentulah potensi zakat di Indonesia sangat besar, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Waryono Abdul Ghafur mengatakan mencapai Rp327 triliun pertahun, hampir menyamai anggaran pemerintah untuk perlindungan sosial 2022 yang mencapai Rp431,5 triliun.

 

Apalagi saat ini sudah ada 512 Badan Amil Zakat, 49.132 Unit Pengumpul Zakat (UPZ), 145 Lembaga Zakat dan 10.124 amil. “Dengan sumber daya yang besar, saya optimis pengumpulan zakat di Indonesia akan terus meningkat,” ucap Waryono saat memberikan pengarahan pada Optimalisasi Pendayagunaan Dana Zakat Lazis Assalam Fil Alamin, di Jakarta, Rabu , 28 Agustus 2023 (kemenag.co.id,23/8/2023).

 

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas baru saja melantik Waryono sebagai Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf pada 11 Agustus 2023, menggantikan Tarmizi Tohor yang memasuki masa purnabhakti. Ke depan, Waryono berharap pemberdayaan zakat fokus pada tiga hal. Pertama, mewujudkan mukmin yang kuat iman dan ekonomi. Kedua, penguatan intelektual. Ketiga, penguatan teknologi.

 

Pemberdayaan Zakat Rakyat Sejahtera?

 

Masih menurut Waryono, zakat akan menjadi bagian strategis yang tidak hanya membantu negara secara langsung tapi juga dirasakan oleh Masyarakat. Mustahik (orang yang berhak menerima zakat) di Indonesia tercatat 10,7juta, dengan potensi zakat mencapai Rp327 triliun perlu dilakukan pemetaan agar penyaluran dana zakat tepat sasaran. Tidak overlapping hingga satu keluarga mendapatkan bantuan yang sama. Waryono juga mengingatkan bahwa kemiskinan tidak hanya mengenai persoalan ekonomi, namun juga melibatkan sektor lain, seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan lainnya.

 

Sepertinya ada pemaknaan yang keliru tentang dua hal, pertama tentang zakat itu untuk apa dan siapa, kedua fungsi negara yang sebenarnya. Memang, zakat adalah salah satu potensi finansial dalam Islam yang bisa dijadikan sebagai sumber pendanaan kesejahteraan rakyat. Namun zakat sesungguhnya memuat dalil yang lain tentang pungutan dan kepada siapa dibagikan. 

 

Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (TQS at-Taubah:60). 

 

Dalam hal ini zakat sepenuhnya menjadi pendapat pemimpin Islam untuk dibagikan kepada siapa, dan itu sudah ditentukan syara yaitu hanya kepada 8 asnaf sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran. Bukan yang lain. Bahkan jika dana zakat ditujukan untuk dapat melahirkan keluarga atau generasi masa depan yang thayyibah, bukan generasi yang lemah sungguh sangatlah dangkal. Pendapat yang tidak bisa diterima. 

 

Masalah ini jelas beralih kepada negara, sebab generasi thayyibah tidak mungkin lahir semata dari pendayagunaan zakat. Zakat tidak bisa berdiri sendiri menopang kesejahteraan umat. Melainkan harus menjadi bagian dari berbagai aspek dan dengan jaminan sebuah sistem yang baku dan bukan standar ganda. 

 

Inilah tabiat kapitalisme, melihat persoalan yang hakiki sangatlah samar, hanya di permukaan. Maka tak heran jika solusinya juga tambal sulam, semisal mendudukan pemerintah dan lembaga zakat sebagai regulator, yang hanya mengelola data secara transparan, akuntabel, tepat sasaran dan terstandar global agar Muzaki ( para pemberi zakat) tetap percaya kepada pemerintah dan lembaga zakat. 

 

Sebagai regulator, Kemenag bersama Lembaga Zakat harus dapat menjaga kepercayaan Masyarakat, terutama para muzaki. Sehingga mereka dengan kesadaran dan penuh semangat mau berzakat. “Pengelolaan zakat juga harus transparan, akuntabel, tepat sasaran, dan terstandar secara global,” tandasnya.

 

Islam Jaminan Sejahtera Hakiki

 

Syeikh Taqiyuddin an-Nhabani dalam kitabnya ” Nizomul Iqtisod fil Islam” halaman 325, bab Zakat, menjelaskan bahwa harta zakat adalah salah satu jenis harta yang diletakkan di Baitul Mal. Zakat hanyalah salah satu bentuk ibadah dan dianggap sebagai salah satu rukun Islam. Pengumpulan zakat tidak dilakukan karena ada-tidaknya kebutuhan negara dan kemaslahatan umat, seperti harta-harta lain yang dikumpulkan dari umat. 

 

Adapun obyek-obyek zakat dan pembelanjaannya semua telah ditentukan dengan batasan yang jelas. Karena itu zakat tidak akan diserahkan kepada selain delapan asnaf sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 60 di atas. Zakat dikelola negara, bukan lembaga zakat. Selain delapan asnaf samasekali tidak boleh diberi zakat. Demikian pula zakat tidak dialokasikan untuk urusan ekonomi negara. Ketika tidak ditemukan satu pun dari delapan asnaf maka zakat tidak boleh dikeluarkan untuk yang lain, melainkan tetap disimpan di kas Baitul mal untuk diberikan ketika salah satu dari delapan asnaf membutuhkan dan ditemukan. 

 

Sementara, perekonomian negara yang nantinya untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, terangkatnya kemiskinan, mudahnya akses pendidikan, murahnya kesehatan negara akan menggunakan pembiayaan dari kas Baitul Mal pos pendapatan umum dan negara. Dimana keduanya didapat dari harta yang kaum Muslim berserikat di dalamnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api“. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

 

Haram hukumnya menyerahkan kepada asing, sebab barang tambang, energi, kekayaan hutan, mineral, danau, laut dan lainnya adalah hak rakyat dengan negara sebagai wakil rakyat untuk mengelolanya. Dalam artian yang sesungguhnya, mendirikan industri guna mengelola secara mandiri tanpa bantuan pihak lain, asing bahkan aseng. 

 

Sepanjang sejarah Islam memimpin peradaban, terbukti mampu mewujudkan peradaban cemerlang, mandiri, super power. Keadaan yang belum ada banding hingga hari ini diabadikan oleh sejarahwan barat seperti Will Durant memuji kesejahteraan negara Khilafah. Dalam buku yang ia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, ia mengatakan,” Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka”

 

Maka, perlu untuk menjadi perhatian, ketika zakat didudukan sebagai penopang perekonomian bahkan jaminan kesejahteraan adalah sesuatu yang impossible. Ini hanya bentuk pengabaian penguasa kita hari ini sebagai dampak mereka menerapkan sistem kapitalisme, sistem yang bukan berasal dari Islam. Maka, jelas duduk perkaranya. Kesejahteraan tidak mungkin lahir dari sistem kapitalisme, yang terjadi malah penderitaan silih berganti. Wallahu a’lam bish showab. 

Artikel Lainnya

Anggaran Rendah, Bukti Ketidakjelasan Arah Pembangunan

Serapan Anggaran Masih Rendah, Bukti Ketidakjelasan Arah Pembangunan? | Serba-serbi MMC Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta kementerian/lembaga untuk menghabiskan sisa anggaran belanja APBN yang jumlahnya masih sekitar Rp1.200 triliun sampai akhir tahun ini. Serapan anggaran yang baru sebesar 61,6% pada bulan September lalu menunjukkan kinerja pemerintah yang tidak baik. Di sisi lain juga menggambarkan ketidakjelasan arah pembangunan, yang tidak berdasarkan kepada kebutuhan dan kemaslahatan umat. Inilah akibat dari penerapan sistem kapitalisme. Maka, bagaimana Islam menyelesaikan masalah ini?

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *