Menyoal Simalakama Dana Desa
Desaku yang ku cinta, pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda, dan handai taulan ku
Tak mudah ku lupakan, tak mudah bercerai
Selalu kurindukan, desaku yang permai (Desaku karya L. Manik)
Desa, dulu seolah identik dengan alam yang indah, udara bersih, ditingkahi suara gemercik air dari mata air, pepohonan rimbun nan asri, serta jalan tanah berbatuan dan sarana hidup yang masih sederhana.
Sekarang? Sudah jauh berbeda. Terutama bila ditinjau dari aspek sarana dan prasarana kehidupan di desa. Ya, harus diakui anggaran yang dikucurkan dalam bentuk Dana Desa mampu mengubah wajah desa. Dari yang ‘perawan’ disulap cantik bagai primadona. Transportasi yang memadai, jalan-jalan yang mulus beraspal, kantor-kantor perangkat desa, baru sebagian saja yang tampak menyerap anggaran. Lainnya tentu masih banyak lagi. Maklum bila seluruh warga desa, baik yang menetap maupun yang urban menyambut gembira.
Sayang, kegembiraan tersebut seakan ternoda. Setiap kali tahun anggaran berakhir, setiap kali pula kita disuguhi kabar tak sedap. Apalagi kalau bukan tindak kecurangan dan penyelewengan. Mengutip data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terdapat 74.960 desa penerima dana desa pada 2022. Artinya rata-rata setiap desa memperoleh anggaran sebesar Rp907,1 juta.
Angka yang cukup fantastis tersebut di atas, faktanya cukup banyak yang diselewengkan. Menurut laporan ICW (Indonesian Corruption Watch), terdapat 155 kasus korupsi desa pada tahun 2022 pula dengan perincian, 133 kasus berkaitan dengan dana desa, sementara 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa. Akibatnya menimbulkan kerugian negara sebesar Rp381 miliar. Siapa saja pelakunya? Kepala desa menempati posisi ketiga yang paling banyak terjerat kasus korupsi. Sementara posisi pertama dan kedua adalah pegawai pemerintahan daerah dan swasta.
Sungguh sebuah ironi. Kenyataannya dana desa tak hanya sanggup mempercepat roda pembangunan berputar namun juga rawan memicu tindak korupsi. Bertambah parah lagi karena pelakunya tak sedikit justru figur yang diharapkan memimpin jalannya pembangunan desa. Di saat bersamaan justru menyeruak wacana revisi UU Desa yang poinnya berupa perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun. Duh, benarkah seperti kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, sudah ketahuan korupsi minta kuasa lebih lama?
Terus terang saja, korupsi sudah jadi budaya di negeri ini. Bukan lagi sekadar kekhilafan pribadi. Melainkan problem sistemis yang tak mudah begitu saja diakhiri. Bahkan menurut seorang jurnalis kawakan, Najwa Shihab, korupsi perkara lumrah di tengah kondisi kepartaian berbiaya tinggi.
Maka selama demokrasi masih diberi panggung untuk menginspirasi negeri, selama itu pula perilaku korup dan manipulasi jadi momok yang menghantui. Bagaimana tidak, persis seperti yang tersebut di atas, demokrasi meniscayakan ongkos yang mahal juga menyedot anggaran yang tak sedikit. Di titik ini, para pemodal mulai memainkan peran penting. Apalagi kalau bukan sebagai penyandang dana. Syaratnya tentu lazim dalam sistem kapitalisme-demokrasi, no free lunch alias tak ada yang cuma-cuma.
Wajar bila terpilih, rawan bermain mata dengan pemodal di belakang rakyat. Jargon dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat perlahan nantinya menampakkan wujud asli, dengan pemodal menempati posisi rakyat. Slogan pun seakan berubah, dari pengusaha oleh pengusaha dan untuk pengusaha. Khusus dana desa, akhirnya seperti memakan buah simalakama, dikucurkan memicu korupsi. Bila tidak, pembangunan yang terhambat.
Inilah sifat alami dari kapitalisme-demokrasi. Lihatlah, korupsi bukan hanya marak di tanah air, tapi terjadi di masyarakat mana pun yang menerapkan nilai-nilai yang bersumber dari ideologi Barat tersebut. Bahkan negara-negara Barat yang merupakan kampiun demokrasi-kapitalis juga marak mempertontonkan perilaku penyelewengan ini.
Lalu haruskah bertahan dalam sistem rusak yang hanya memicu kecurangan demi kecurangan? akal sehat sudah pasti menyatakan menolak. Sebab kapitalisme yang notabene ideologi buatan manusia nyata telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan yang merata. Gagap merespons pemenuhan kebutuhan setiap individu rakyat, yang bukan semata infrastruktur. Bahkan terlihat setiap kalinya hanya memproduksi koruptor-koruptor baru dengan wajah silih berganti.
Jika kapitalisme gagal dan gagap, mengapa tak berpaling pada Islam? Agama yang diturunkan Allah Swt. sebagai petunjuk hidup manusia. Bila diterapkan secara menyeluruh, Islam niscaya rahmat bagi seluruh alam.
Firman Allah Swt.,
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al Anbiya:107)
Dalam Islam, korupsi disebut dengan perbuatan khianat. Yaitu tindakan menggelapkan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Pengkhianatan ini tidak termasuk definisi mencuri, sebab mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam. Tetapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepadanya. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat).
Maka Islam mewajibkan negara menjatuhkan sanksi untuk pelaku khianat ini. Rasulullah saw, bersabda,
“Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan, orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.”(HR. Abu Dawud).
Sanksi bagi para koruptor disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Ragamnya mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau peringatan dari hakim, kurungan penjara, pengenaan denda, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk, hingga hukuman mati. Vonis tersebut nantinya bakal disesuaikan dengan berat ringannya kecurangan yang dilakukan.
Tetapi tetap saja mencegah lebih baik dari mengobati. Sebelum vonis berlaku tentu akar masalahnya terlebih dahulu harus dicabut . Apalagi kalau bukan dengan meninggalkan kapitalisme-demokrasi. Untuk selanjutnya mengambil syariah kafah sebagai solusi. Terutama karena itu konsekuensi iman yang sejati. Simalakama niscaya tak terjadi. Wallahu a’lam bish showab.
Komentar