Teman Sekelas, Belum Tentu Kebaikan Berbalas

Sungguh malang nasib seorang siswi SMPN 1 Kemlagi, Mojokerto, berinisial AE (13) setelah hilang selama satu bulan ditemukan dalam keadaan telah meninggal dunia. Lokasi penemuan mayatnya yang membusuk terbungkus karung putih ada di parit bawah rel kereta api (KA) Dusun Karangnongko, Desa Mojoranu, Sooko, Mojokerto.

 

Kapolres Mojokerto Kota, AKBP Wiwit Adisatria menjelaskan, gadis manis itu menjadi korban kebiadaban teman sekelasnya sendiri. Pelaku pembunuhan itu berinisial AAW (15). Dimana saat melakukan pembunuhan, AAW dibantu rekannya berinisial MA (19). Rencana awal, AAW diajak MA mencari sasaran begal karena butuh uang untuk biaya perbaikan HP. AAW pun mengusulkan AE menjadi target pembegalan, disamping itu AAW sendiri memiliki dendam pribadi terhadap korban. 

 

AAW merasa dendam karena saat tertidur di kelas, AE membangunkannya dan ditagih iuran kelas yang menunggak dua bulan sebesar Rp 40 ribu, kebetulan AE adalah bendahara kelas. Namun tragis, setelah AE meninggal di tangan AAW, MA justru melakukan pemerkosaan terhadap jasad AE sebanyak dua kali, saat AAW keluar rumah untuk beli tali rafia, yang nantinya digunakan untuk mengikat karung dan membuang mayat AE. 

 

Akibat perbuatannya, mereka dijerat pasal 340, pasal 338 juncto pasal 80 ayat 3 juncto pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan pasal 365 KUHP. 

 

Hukum Yang Tak Menjerakan

 

Bukan sinetron bukan pula film layar lebar, kronologis pembunuhan terjadi sedemikian lancar seolah mereka telah terbiasa melakukannya. Inilah bukti dampak buruk gadget yang bebas dimiliki siapapun tanpa pengawasan yang memadai. Banyak game ataupun konten yang sangat adiktif, persuasif mengajak kepada kekerasan dan tak manusiawi. 

 

Terjadi di China. Balita usia empat tahun melompat dari lantai 26 setelah menyaksikan adegan di film kartun, sambil memegang payung sebagai parasut darurat saat dia mencoba meniru apa yang dia tonton di film kartun Tom and Jerry, beruntungnya anak itu tidak meninggal dunia, namun menjadi bukti betapa kuatnya pengaruh konten atau tontotan hari ini. (RMOL.id, 30/5/2023)

 

Di Indonesia sendiri untuk menutup situs judi online saja Kementerian Komunikasi dan Informatika merasa kesulitan. Ada sekitar 560 ribu situs judi online yang kemudian menjadikan upaya pemblokiran pemerintah sia-sia karena kemunculan situs serupa terus menerus. “Tantangannya karena ini judi online, tantangannya cuma satu, kesadaran. Ya kita bersihkan hari ini setelah dibersihkan muncul lagi, ya dibersihkan kembali,” tutur Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) RI Johnny G. Plate (waspada.co.id, 25/8/2022).

 

Apalagi situs porno dan konten-konten yang tak mendidik. Ditambah pergaulan lingkungan anak-anak ini bisa dipastikan bukan pergaulan yang bagus, berisi anak-anak sebaya yang saling memotivasi dalam kebaikan. Hanya karena HP rusak otomatis terpikir untuk membegal, setelah dapat sasaran lanjut membunuh, ditambah dengan memperkosa. Bisa jadi pula absennya orangtua sebagai qudwah atau teladan bagi anak-anaknya karena sibuk bekerja. Astaghfirullah…

 

Pendidikan berbasis kurikulum merdeka, merdeka belajar samasekali tak memberi efek pada pembentukan kepribadian anak-anak yang baik atau setidaknya bertanggung jawab. Mereka tumbuh menjadi anak yang tak takut apapun termasuk Allah Sang Pencipta kecuali bayangan ia tak bisa main hp karena rusak. 

 

Yang turut mendukung keamanan kian meresahkan adalah longgarnya hukum hanya karena mereka bukan pelaku dewasa, usia mereka dalam undang-undang negara ini masih terkatagori anak-anak. Bahkan menentukan dewasanya seseorang, lagi-lagi undang-undang kita ambigu. Pasal 45 UU KUHP menyatakan dewasa adalah usia 16 tahun. Sedangkan pasal 47 UU perkawinan no 1 tahun 1974 dan pasal 1 angka 26, UU tenaga kerja no 13 tahun 2023 ( dan masih didukung 6 UU lainnya) menyatakan dewasa adalah usia 18 tahun. Sedangkan pasal 30 Kitab Undang-Undang Perdata (KUHperk), dewasa adalah berusia 21 tahun. Lantas bagaimana bisa lahir hukum yang jelas jika begini?

 

Islam Sebuah Sistem yang Sempurna

 

Dalam Islam dikenal dengan istilah Akil baligh, anak-anak yang sudah balig memiliki ciri antara lain fisiknya makin matang, organ-organ seksualnya sudah mulai teraktivasi. Untuk anak perempuan sudah mengalami haid, dan yang laki-laki sudah mengalami mimpi basah atau memancarkan sperma. Kata ‘balig’ diambil dari bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti ‘sampai’, artinya ‘telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan’.

 

Adapun berdasarkan usia, mazhab Syafii dan Hambali menetapkan usia balig untuk laki-laki dan perempuan secara umum adalah 15 tahun. Mazhab Hanafi menetapkan batas minimal sudah baligh 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan. Sedangkan batas maksimalnya, yaitu 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan.

 

Mazhab Maliki memberikan batasan usia balig adalah genap 17 tahun memasuki 18 tahun, atau genap 18 tahun. Dalam hal ini, mazhab tersebut tidak membedakan batas usia balig untuk laki-laki atau perempuan. Maka, sangatlah jelas pemaknaan anak-anak itu sudah baligh atau belum. Hal ini menjadi fokus sebab berkaitan dengan mukalaf, atau wajibnya seseorang menanggung hukum syara atas segala perbuatan dan perkataannya. 

 

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Terangkatlah pertanggungjawaban dari tiga golongan, yaitu orang tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga ia ihtilam (bermimpi basah dan mengeluarkan mani), dan orang gila hingga ia sembuh (kembali berakal).” Dengan mekanisme ini hukum tidak lagi abu-abu dan pasti akan bisa menimbulkan efek jera, sebab memberikan keadilan. 

 

Terkait akil secara bahasa artinya berakal, memahami, atau mengetahui. Anak yang sudah akil itu jiwanya sudah matang, mandiri, sadar akan tanggung jawab, mampu memilih dan membedakan yang baik dan buruk, dan lebih jauh lagi, sudah mampu mencari nafkah. Dari sisi inilah pentingnya ada pendidikan anak tentang agama dan tsaqofah Islam, agar kelak ketika baligh anak pun sudah berakal (Akil). Sehingga secara sadar selalu mengaitkan perbuatannya kepada Allah SWT. Ia selalu merasa diawasi, melakukan kebaikan dimana pun berada baik sendiri maupun beramai-ramai. 

 

Sekulerisme yang menjadi sistem aturan hari ini, telah terbukti hanya menghasilkan anak-anak sumbu pendek, pragmatis hingga hedonis. Demikian pula kebijakan yang dilahirkan terkesan setengah hati, bahkan samasekali tak menyentuh persoalan dasar. Salah satunya adalah melainkan dunia pendidikan dengan dunia kerja, hingga muncul image tak apa tak berilmu tinggi asalkan kreatif hingga berpenghasilan tinggi. Sangat lemah sekali, menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. 

 

Hal ini tentu bersumber dari abainya pengurusan negara terkait kebutuhan rakyatnya ini. Dari sejak keluarga yang sebetulnya menjadi benteng utama pendidikan anak, kemudian masyarakat yang cinta amar makruf nahi mungkar. Dibingkai oleh penjaminan negara atas enam kebutuhan pokok rakyatnya seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Maka bisa dipastikan inilah peradaban mulia itu. Sebagaimana sabda Rasulullah, ” Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari dan Ahmad). Wallahu a’lam bish showab

Artikel Lainnya

Pemerataan Pembangunan Desa, Akankah Menjadi Realita?

Realitasnya bahwa tak semua desa mampu secara finansial membiayai pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya sendiri. Meski ada program Dana Desa yang konon katanya adalah bentuk perhatian pemerintah nyatanya terselip motif lain yaitu neoliberalisme ekonomi melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh tiap desa di negeri ini. Rupanya dibalik program-program yang dicanangkan untuk mengelola desa di dasarkan pada untung dan rugi.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *