Membumikan KUHP di Bumi Milik Allah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 6 Desember 2022 lalu dan akan diimplementasikan beberapa tahun mendatang. Tepatnya tiga tahun lagi yaitu 2026. Meski begitu, Kementerian Kominfo (Kemenkominfo) menganggap masih ada penafsiran yang berbeda yang mendorong urgensi sosialisasi KUHP tersebut.
Guna meningkatkan pemahaman masyarakat, maka digelar Forum Sosialisasi KUHP dengan tema “Membumikan KUHP Dalam Kancah Nasional” di Universitas Trisakti, Jakarta. Kementerian Kominfo (Kemenkominfo) melalui Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik bekerjasama dengan Universitas Trisakti.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kemenkominfo, Usman Kansong mengatakan, sebelum KUHP disahkan sebenarnya sudah dilakukan sosialisasi, namun proses sosialisasi tetap penting untuk terus dilakukan, guna menyelaraskan pemahaman dan membumikan KUHP.
“Sampai pada awal 2023 KUHP sudah disahkan, penafsiran yang berbeda juga mendorong urgensi sosialisasi KUHP. Bukan dengan menghindari, tapi perbedaan pemahaman tersebut justru harus dihadapi pemerintah dengan adanya komunikasi yang inklusif sehingga memberikan pemahaman yang mudah kepada masyarakat secara menyeluruh,” tambah Usman.
Acara sosialisasi tersebut diselenggarakan secara hyibrid (luring dan daring, dengan menghadirkan 300 peserta dari beragam latar belakang, seperti para ahli dan guru besar hukum, organisasi mahasiswa, dan juga perwakilan dari pemerintah. Pemateri yang dihadirkan, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Profesor Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Profesor Andi Hamzah, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta & Peneliti Hukum Pidana Chairul Huda (tribunnews.com, 8/6/2023).
KUHP Baru: Akarnya Tetap Sekulerisme
Guru Besar Hukum Pidana, Profesor Andi Hamzah menyampaikan kritik bahwa sebagian besar rumusan KUHP baru ini masih disalin dari KUHP lama (Het Wetboek van Strafrecht voor Ned. Indie). Namun beberapa pembahasan delik dapat diperkuat untuk KUHP baru ke depannya. Andi menambahkan, penyusun (KUHP) sudah hebat dan bagus sekali, cuma perlu ada hal-hal yang harus diluruskan agar tidak menimbulkan persoalan baru.
Sedangkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Peneliti Hukum Pidana, Chairul Huda, menambahkan bahwa pada mazhab awal berlakunya KUHP baru, masyarakat dapat mengawal penerapannya dan menjadi bagian dari kemajuan hukum Indonesia. “Kita harus mengapresiasi kepada seluruh tim dan pemerintah karena dengan ini kita benar-benar merdeka. Ini menjadi upaya bangsa untuk dekolonialisasi, supaya Indonesia bisa melepaskan diri dan merdeka ketika sudah menggunakan undang-undang buatan bangsa sendiri.”
Chaerul Huda menambahkan sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan, termasuk pemerintahan di Indonesia, harus senantiasa berdasarkan hukum. Salah satu proses pembangunan hukum yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah, khususnya di bidang hukum pidana, adalah dengan melakukan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tujuannya, menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda yang kurang sesuai dengan dinamika masyarakat saat ini.
Sedangkan Ketua Pusat Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Dian Adriawan Daeng Tawang, menambahkan, “Nilai-nilai yang terkandung dalam KUHP masih bersifat individualis dan liberal sehingga penerapannya sering ditemukan permasalahan hukum. Hal ini disebabkan karena muatan KUHP adalah terjemahan dari bahasa Belanda yang tidak diterjemahkan secara autentik dalam rumusan aturan. KUHP tersebut tidak memiliki penjelasan resmi dari pasal demi pasal.”
Namun, Rektor Universitas Trisakti, Kadarsah Suryadi, berharap agar sosialisasi KUHP juga dapat menyasar para pihak-pihak yang mengimplementasikan hukum pidana. Banyak perubahan yang nantinya akan mendapat penyesuaian oleh para praktisi hukum. Dengan sosialisasi yang konsisten kepada praktisi dan penegak hukum, KUHP baru dapat berjalan efektif dalam 3 tahun ke depan.”
Banyak tokoh berbicara, namun muaranya tetap sama, KUHP lama adalah buatan Belanda, meski mengalami pembaharuan, menjadi KUHP baru dengan penyederhanaan pasal-pasalnya, tetaplah membawa spirit sekulerisme, memisahkan agama dari kehidupan. Bahkan semakin melenceng dengan mengaitkannya dengan kemerdekaan negara hanya karena sukses membuat UU sendiri tanpa UU buatan Belanda. Nyatanya beberapa tokoh mengakui bahwa KUHP baru masih menyalin beberapa pasal dari KUHP lama. Lantas, dimana letak kemerdekaan itu?
Pun sangat tidak tepat jika dikatakan KUHP ini sebagai upaya bangsa untuk dekolonialisasi, supaya Indonesia bisa melepaskan diri dan merdeka ketika sudah menggunakan undang-undang buatan bangsa sendiri. Yang ada adalah keluar dari mulut harimau tapi masuk mulut buaya. Sejatinya penjajahan atas negri ini belum berakhir, terlalu dini jika mengatakan kita sudah merdeka, hanya karena bisa membuat undang-undang sendiri.
Penjajahan hari ini justru lebih keji, tidak lagi perang mengangkat senjata, melainkan dengan perang tsaqofah, pemikiran, kerjasama batil melalui perjanjian bilateral maupun multilateral, budaya kebebasan dengan kiblat barat, bahkan bergabung dengan organisasi dunia yang merupakan kepanjangan tangan kafir penjajah. Merdeka adalah lepas dari menghamba kepada makhluk.
Masih hangat dalam ingatan, pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD mengenai LGBT tidak bisa ditindak, sebab itu kodrat sehingga tidak bisa dimasukkan dalam KUHP yang baru. Meski di akhir-akhir beliau membantah pendapatnya sendiri dan berkelit ia hanya menyampaikan argumentasi DPR dalam proses perancangan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, namun tetap berujung pada perilaku m nyimpang itu bukan delik hukum dan masuk ranah kodrat.
Artinya lagi dalam KUHP tidak boleh ada larangan maupun hukuman terhadap orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Mahfud mengatakan pemerintah tidak bisa melarang karana KUHP baru, yang akan berlaku pada 2026, tidak memuat larangan LGBT. Pasal larangan LGBT tidak ada karena LGBT merupakan kodrat tuhan.
Mahfud MD yang sekaligus sebagai Dewan Pakar Majelis Nasional KAHMI itu menyebut, orang menjadi LGBT karena diciptakan Sang Pencipta seperti itu. “Tuhan yang menyebabkan hidupnya menjadi homo, lesbi. Tetapi, perilakunya yang ditunjukkan kepada orang, itulah yang tak boleh.” (republika.co.id, 23/5/2023).
Belum lagi bukti kelumpuhan KUHP yang lain yang berkaitan investasi asing, penistaan agama, perzinahan, dan lain sebagainya. Jika banyak tak bisanya, yang jika diterapkan malah menimbulkan persoalan baru bahkan yang lebih parah untuk apa disosialisasikan? Inilah syahwat politik manusia pengusung sekulerisme, jelas-jelas mereka Muslim dan negeri ini mayoritas beragama Islam tentulah satu penghinaan jika hukum yang diterapkan bukan dari Allah SWT, Zat yang mereka sembah dan imani setiap saat. Kecuali jika iman mereka pun sudah hilang, nauzubillah.
Islam Aturan Paripurna Bagi Kemaslahatan Dunia
Kita patut prihatin dan waspada terhadap agenda sosialisasi ini. Seolah baik dan untuk kebaikan bangsa dan negara, terlebih ditekankan produk undang-undang ini adalah buatan anak negeri. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah Saw,”Tali ikatan Islam akan putus seutas demi seutas. Setiap kali terputus, manusia bergantung pada tali berikutnya. Yang paling awal terputus adalah hukumnya, dan yang terakhir adalah sholat.” (HR Ahmad).
Islam hanya dikenal dari shalatnya saja, sementara hukum-hukumnya telah diberangus habis bahkan oleh pemeluknya sendiri. Padahal, jelas sekali, tujuan penciptaan manusia di dunia ini adalah sebagaimana firman Allah SWT yang artinya,” Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (TQS adz-Dzariyat:56). Artinya, setiap tindakan kita haruslah diniatkan sebagai ibadah yaitu dengan cara menyandarkan pada halal haram. Bukan yang lain, sehingga pendapat manusia tidak masuk dalam hitungan. Sebab manusia adalah makhluk yang tidak paham akan kemaslahatannya sendiri.
Menyebut sebagai negara hukum , memang tidak berlebihan, sebab sebuah negara tentulah sangat bergantung pada regulasi (hukum) agar tidak ada pelanggaran dan agar setiap kebutuhan masyarakatnya bisa dipenuhi dengan semestinya. Tapi, jika landasan hukum jika dibuat pada akidah sekuler ini yang tidak tepat. Nyata-nyata pemisahan agama dari kehidupan tidak menghasilkan apapun kecuali kepedihan, perselisihan dan penderitaan. Akidah sekuler jelas menunjukkan penggambaran kepada manusia yang artinya adalah musyrik. Mempersekutukan Allah dengan makhluk.
Allah berfirman yang artinya, ” Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS al-Maidah:50). Sifat orang beriman adalah tunduk, patuh dan terikat dengan hukum Allah, bukan lainnya. Maka, haruslah ada pemahaman yang benar, tentang sosialisasi ini, seharusnya dikembalikan pada pemahaman, ini bumi milik Allah, jika kemudian kita bergerak membumikan hukum selain hukum Allah apakah tidak sama saja mengundang azab? Wallahu a’lam bish showab.
Komentar