Mengaku Nabi: Salah Wawasan Kebangsaan?

Awal Mei lalu masyarakat dikejutkan adanya penembakan di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI). Peristiwa itu menjadi sorotan publik, sebab pelaku penembakan yang kemudian meninggal dunia bernama Mustopa NR (60 tahun) disebut pernah mengumpulkan penduduk desa dalam rangka mendeklarasikan diri sebagai wakil nabi.

 

Peristiwa itu dilakukan di sebuah desa di Lampung pada tahun 1997 silam, usai dirinya bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Berita ini dibenarkan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi, saat ditemui di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan (Warta Ekonomi.co.id, 7/5/2023).

 

Namun deklarasi Mustopa NR diabaikan oleh para penduduk yang diundang. Kemudian masyarakat pun memilih untuk membubarkan diri dan tidak menanggapi seruan Mustopa NR. Ternyata upaya Mustopa tidak berhenti. Dia juga beberapa mengirim surat pengakuan bahwa dirinya adalah wakil ke MUI .

 

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Pendidikan dan Kaderisasi Abdullah Jaidi mengatakan, seseorang dapat menyikapi penafsiran agama atau pemberitaan dengan melakukan tabayun atau menguji kebenaran informasi tersebut terlebih dahulu. Peningkatan pemahaman dalam beragama adalah keharusan bagi setiap orang. Dengan memiliki pemahaman yang kuat, maka seseorang dapat menyikapi penafsiran agama atau pemberitaan dengan melakukan tabayun atau menguji kebenaran informasi,” kata Abdullah Jaidi (Warta Ekonomi.co.id, 13/5/2023).

 

Jadi menambahkan, kalau MUI, Kementerian Agama, ataupun BNPT menekankan wawasan serta moderasi beragama, itu bertujuan untuk menyelamatkan generasi muda, dai, dan ulama kita. Harapannya, mereka tidak terpapar dengan pemahaman ekstrem, tidak hanya dari masjid atau pesantren, terkadang juga dari media sosial.

 

Benarkah, salah satu penyebab ada orang mengaku nabi karena kurangnya wawasan serta moderasi beragama? Sepertinya pernyataan ini perlu ditilik ulang, sebab moderasi sendiri dari semangat dan ruh yang digencarkan kepada kaum Muslim tak beda dengan orang yang mengaku nabi, sama-sama menjauh dari makna agama Islam yang sebenarnya. Sama-sama menistakan agama.

 

Mengaku Wakil Nabi Dan Upaya Desakralisasi Agama

 

Peristiwa penistaan di negeri ini pun di dunia akan terus berulang selama sekulerisme tetap menjadi pilihan dalam beragama, bermasyarakat bahkan hingga bernegara. Pasalnya, jika agama dipisahkan dari kehidupan, maka manusia akan menyelesaikan persoalan hidupnya dengan nafsunya. Sementara setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda dalam menggunakan nafsunya, yang memiliki kekuasaanlah yang pasti mendapatkan akses terluas dalam menguasai manusia lain demi kepentingannya.

 

Penistaan agama berulang terjadi hanya beda pelaku dan bentuk, salah satunya ‘pengakuan’ terkait Nabi. Hal ini menandakan tidak ada efek jera atas kasus serupa yang sering terjadi. Juga tanda dangkalnya pemahaman umat terhadap agamanya sendiri. Tak ada hukuman yang tegas, baik dari negara maupun masyarakat, sebagaimana kasus Mustopa ini, ketika keluarga lelah menasehati, hanya membiarkan begitu saja. Masyarakat pun hanya menjauh, apalagi negara.

 

Tak ada upaya pendidikan kepada masyarakat tentang akidah dan syariat, sehingga Islam hanya berakhir sebagai pengatur ibadah ritual. Justru yang menjadi momok adalah radikalisme dan teroris. Bak semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Pemerintah fokus bukan pada persoalan yang sebenarnya. Wawasan kebangsaan sejatinya lebih ke arah nasionalisme, sebuah ikatan rapuh yang mudah sekali hancur ketika diserang. Sedangkan moderasi beragama, menempatkan Islam yang merupakan Wahyu Allah SWT seolah tak sesuai zaman.

 

Fenomena ini wajar muncul dalam sistem sekuler, yang menganggap agama sekedar urusan privat. Hal ini juga mencerminkan adanya penistaan agama, termasuk meremehkan agama (desakralisasi). Desakralisasi ini membahayakan upaya perubahan untuk menerapkan Islam kaffah. Sebagaimana Allah Swt memerintahkan dalam firmanNya yang artinya,” Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,” ( Qs Al-Baqarah : 208).

 

Ayat di atas bermakna, tak boleh ada satu pun dari syariat Allah yang ditinggalkan. Pun tak boleh ada anggapan bahwa ada hukum yang lebih tinggi dan menyeluruh kecuali Islam. Jelas jika ada anggapan yang demikian bisa jadi keimanan orang tersebut patut diragukan. Sama seperti perkataan Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, bahwa perilaku LGBT adalah kodrat sehingga tak bisa dimasukkan dalam KUHP, perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

 

Terapkan Islam, Penistaan Agama Bakal Hilang

 

Islam menjadikan agama sebagai sesuatu yang wajib dibela, bahkan negara punya mekanisme akan hal ini. Tegaknya agama sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan umat dari krisis multi dimensi ini. Alasannya sebetulnya masuk akal, bukan karena Allah yang lemah tapi karena kitalah, manusia yang butuh pertolongan Allah.

 

Allah SWT berfirman yang artinya,“Jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak perlu kalian mencari-cari alasan, karena kalian telah kafir setelah beriman.” (QS At-Taubah :65-66). Siapapun yang mencari-cari cara untuk menistakan, menghina bahkan membela selain Islam, tentulah menjadi orang yang merugi, dunia akhirat.

 

Maka Islam memiliki metode menjaga akidah umat dan menjaga agar islam tetap mulia. Pertama dengan menjatuhkan hukuman yang tegas bagi setiap penista agama, jika tidak maka akan terus dipermainkan. Mereka yang menghina nabi, mengaku nabi, merusak Alquran, melecehkan Muslimah dan lain sebagainya jika pelakunya kafir harbi (secara nyata memerangi Islam) harus ditegakkan hukum perang (jihad), negara Islam harus mengumumkan perang kepada kafir harbi penghina Rasulullah saw.

 

Jika pelakunya kafir dzimmi (kafir yang hidup dalam negara Islam) maka ditegakkan hukum mati karena atas mereka sudah tidak ada lagi dzimah (perlindungan) jadi mereka dibunuh karena kekafiran mereka apalagi status dzimah tidak menghalangi ditegakkannya hadd atas mereka.

 

Jika pelakunya muslim maka mereka juga dijatuhi hukuman mati, namun para ulama berbeda pendapat apakah karena pelanggaran atas hadd atau karena kukufuran atau murtad. Jika termasuk salah satu pelanggaran hudud Allah maka pertaubatannya tidak diterima (pendapat Malilkiyyah). Namum jika dihukumi murtad (riddah) maka diberlakukannya dihukum mati berbagai murtad dan pertaubatannya diterima (pendapat Syafiiyyah). Kedua dengan pendidikan berbasis akidah Islam, baik formal maupun non formal. Ketiga negara akan menghentikan setiap konten yang bertentangan dengan syariat . Hal yang demikian, tidak akan terwujud jika sekulerisme masih diambil dan dianggap sebagai solusi. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *