Sebongkah Emas, Sebuah Kebangkitan?
Tanggal 17 Mei 2023 menjadi hari bersejarah, pasalnya Timnas Indonesia U-22 sukses membawa pulang medali Emas Sea Games setelah 32 Tahun. Setelahnya, sudah bisa dipastikan berbagai selebrasi mereka yang menonton langsung maupun nobar atau hanya melihat di relay media sosial akan semarak digelar beberapa hari ini.
Pagi harinya, hampir semua stasiun televisi menayangkan sujud syukur berbagai pihak, mulai dari orangtua para pemain timnas U-22, official dan para pendukungnya. Menurut Erick Thohir, kemenangan Timnas Indonesia U-22 melawan Thailand menjadi bukti makna bangkit sesungguhnya.
“20 Mei nanti bangsa Indonesia akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional, Tepat hari ini, Timnas Indonesia menunjukkan apa arti bangkit sesungguhnya,” kata Erick dalam unggahan akun Instagramnya @erickthohir (suara.com, 17/5/2023).
Mendiskreditkan Kebangkitan Hakiki, Ciri Sekulerime
Tak dinafikan, rakyat Indonesia tahu, laga final Sea Games 2023 di Kamboja begitu epik, Timnas Indonesia U-22 menyudahi perlawanan Thailand dengan skor 5-2. Pertandingan berjalan cukup sengit. Hujan kartu pun diberikan wasit bagi kedua tim. Namun apel to apelkah jika perjuangan sebagian orang Indonesia yang tergabung dalam timnas demi sebongkah Emas disamakan dengan kebangkitan hakiki?
Bangkit hanya di dunia persepakbolaan sangat mengkerdilkan arti kebangkitan itu sendiri. Lebih-lebih ketika ditambahkan kata sifat “hakiki”. Sebab perjuangan itu hanya memanas di hati penggemar sepak bola saja. Apalah arti sebongkah emas yang mereka dapatkan, kemudian dipersembahkan untuk bangsa dan negara jika pegunungan emas di negeri ini telah menjadi lembah, meninggalkan bencana sementara hasilnya kita tidak ikut menikmati?
Ya kita masih dijajah, bukan dengan penodongan senjata tapi dengan pena, dengan ditandatanganinya berbagai kerjasama bilateral, multilateral atas nama investasi. Dengan pembodohan nyata dari lisan para penguasa bahwa kita tak punya cukup modal, teknologi canggih hingga tenaga ahli sehingga kekayaan riil bangsa ini berupa SDA dijual ke asing, boleh dikelola individu bermodal besar padahal hak milik rakyat sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 ayat (3) Pasal 33 UUD 1945, bahwa: “… Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat…”.
Kapitalisme yang berasaskan sekuler, pemisahan agama dari kehidupan telah sukses menyulap olahraga menjadi komoditas sekaligus pengusung kampanye nasionalisme dan nation state (negara bangsa) yang memberangus semangat ukhuwah Islamiyah. Padahal jelas, perbedaannya, yang satu menghancurkan yang satu merekatkan bahkan bisa dijadikan sebagai penggerak motor kebangkitan hakiki.
Mungkin perlu adanya penyamaan persepsi tentang definisi kebangkitan hakiki itu sendiri, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI), bangkit adalah berdiri dari posisi duduk, kebangkitan artinya ada perubahan posisi. Dari pandangan syariat, menurut Syaikh Hafidz Shalih, maksud dari kebangkitan ialah perpindahan umat, bangsa atau individu dari suatu keadaan menuju ke keadaan yang lebih baik (Hafidz Shalih, Falsafah Kebangkitan: Dari Ide Hingga Metode).
Menurut Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani didalam kitab Nizhamul Islam, “Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya”. Maka kebangkitan meniscayakan ada perubahan hakiki dan itu harus menyangkut perubahan rezim dan sistem.
Dengan ide nasionalisme dan nation state umat yang seakidah bisa menjadi musuh, sedangkan ukhuwah Islamiyah merekatkan persaudaraan meski beda nasab, negara, bahasa, budaya dan warna kulit. Ukhuwah Islamiyah lebih kuat dari ikatan nasab, jika beda agama atau pilihan politik sudah bisa menghapus nasab, tidak dengan ukhuwah Islamiyah. Bagaimana bisa bangkit jika landasan kebangkitannya sesuatu yang justru menimbulkan perpecahan?
Kebangkitan Hakiki Hanya Bisa Terwujud Dalam Sistem Islam
Akidah islam yang menjadi asas ukhuwah Islam telah terbukti mampu menyatukan manusia dalam satu institusi negara adidaya, yaitu khilafah islamiyah, sebuah negara dengan satu kepemimpinan umum yang menerapkan syariat dan di belakangnya berlindung orang-orang yang tunduk dan patuh terhadap kepemimpinannya.
Yang kemudian mampu menjaga ketahanan kaum Muslim dari serangan kafir, dari mulai fitnah, eksploitasi, imperialisme, teror bahkan hingga serangan. Kita bisa lihat fakta hari ini bagaimana keadaannya ketika sekulerisme merajai pengaturan kehidupan, bukan hanya halal haram yang tak diakui, bahkan nyawa tak ada harganya, berbagai penderitaan kaum Muslim di berbagai belahan bumi ini dianggap sepi oleh pemimpin Muslim dunia.
Bahkan negeri mereka terus berkonflik karena memang dipelihara kafir penjajah agar mudah menjarah dan menguasai dunia, tak bergeming, pun organisasi keamanan dan perdamaian dunia, PBB. Maka, makna bangkit sejatinya adalah mampu berpikir cemerlang atau setingkat lebih kritis menyikapi persoalan kehidupan. Bangkit yang sebenarnya adalah paham dan sadar dari mana ia berasal, untuk apap ia diciptakan dan kemana setelah ia meninggal. Bangkit yang hakiki adalah berjuang melepaskan penjajahan manusia dan mengembalikan dunia pada penghambatan kepada Allah saja.
Allah SWT berfirman,”Dia menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan“. (QS An-Nahl: 3). Makna ayat ini Allah SWT melarang manusia membuat sesembahan lain selain Allah bahkan bersekutu dengan sesembahan itu. Sungguh tak terkira kelak laknat Allah ketika manusia melanggarnya.
Sesembahah selain Allah jika dikonotasikan dengan hati ini adalah sistem sekuler itu sendiri, yang menjadikan hukum Allah sebagai permainan, yang kemudian menggiring manusia pada makna kebangkitan yang sia-sia. Maka, belum saatnya kah kita memperbaiki diri dan bergabung bersama mereka yang berjuang menegakkan kebangkitan hakiki? Wallahu a’lam bish showab.
Komentar