Viral Perang Sarung, Potret Remaja Ngaririung
Ramadan masih menapak di hari ke-12, sudah banyak peristiwa yang viral namun meresahkan. Perang Sarung! Apa yang terbayang dalam benak kita? Tentulah ada duel antar dua kelompok bersenjatakan sarung, apa bahayanya? Dan mengapa meresahkan?
Tentulah meresahkan jika pelakunya adalah anak remaja masa kini, yang dulu jika hendak sahur atau berbuka Ngaririung ( berkumpul) sekadar membunuh waktu, kini berubah menjadi ajang adu kekuatan, di dalam sarung yang mereka jadikan senjata berperang diisi batu, stik golf bahkan sajam (senjata tajam) dan untuk membunuh sesama. Hanya untuk showforce dan kebanggaan kelompok. Astaghfirullah.
Pantas saja, jika beberapa waktu lalu pihak RT di lingkungan penulis menghimbau untuk melarang anak-anak keluar pada waktu sahur, bahkan dengan alasan membangunkan orang sahur sekalipun, sebab disinyalir ini hanya modus untuk beberapa kelompok remaja adu kekuatan bahkan hingga tawuran. Ternyata fakta ini sudah terjadi di beberapa wilayah negeri ini, pengaruh media sosial ternyata begitu cepat, tersebar bersama kecanggihan teknologi tanpa mampu diredam lagi.
Seperti yang terjadi di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, tawuran berkedok perang sarung nyaris terjadi jika tidak ada kesigapan warga dan aparat kepolisian mengantisipasi kejadian ini (SUKABUMIUPDATE.com, 23/3/2023). Ada tiga titik yang menjadi lokasi rencana aksi ini yakni Lapang Sekarwangi, Desa Karangtengah, dan Kampung Gaya Ika (Kelurahan Cibadak). Menurut Ketua Karang Taruna Cibadak Teguh Pramudya rencana tawuran berkedok perang sarung ini diduga bukan dilakukan antar pelajar, melainkan sejumlah warga yang belum diketahui jelas identitasnya. “Kalau dilihat dari anak-anak yang kita bawa, lebih kepada warga. Jadi sepertinya bukan tawuran antar pelajar,” katanya.
Sejumlah warga bersama aparat TNI/Polri dan Satpol PP termasuk Karang Taruna Cibadak kemudian berkoordinasi untuk penyergapan. Ini dilakukan lantaran rencana aksi tawuran berkedok perang sarung ini sudah meresahkan masyarakat setempat, terutama saat ini sedang bulan Ramadhan. Hal yang sama juga terjadi di Kelurahan Gedong Panjang, Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi pada Jumat 15 April 2022. Artinya sepekan sebelum kejadian di Kelurahan Cibadak. Jajaran Polsek Citamiang mengamankan 10 orang anak dibawah umur yang hendak melakukan aksi perang sarung.
“Kami berhasil mendeteksi terkait adanya rencana aksi sarung. Kemudian Sabtu malam (16/4/2022) sekitar pukul 22.00 WIB, kami kumpulkan orang tua remaja yang terlibat tersebut,” kata Kapolsek Citamiang AKP Arif Saptaraharja. Setelah ditangkap, AKP Arif mengatakan, sepuluh remaja tersebut langsung didata dan dilakukan pembinaan agar tidak melakukan kegiatan serupa dikemudian hari.
Semua Makin Sadis Dalam Sistem Sekuler
Kekerasan dilakukan oleh generasi muda termasuk pelajar, dan jumlahya semakin hari semakin banyak, bukannya berkurang, malah semakin beragam. Perang Sarung hanya salah satu contoh beragamnya tindak kekerasan di kalangan remaja. Bahkan ada yang hingga menghilangkan nyawa. Dilansir detikJabar, Jumat (24/3/2023), Polisi menangkap tiga ABG diduga pelaku yang membacok siswa SMP berinisial ARSS (14) hingga tewas di Sukabumi, Jawa Barat. Tiga anak yang menjadi pelaku pembunuhan pun seusia dengan korban.
Peristiwa pembacokan ini geger karena korban merupakan target kedua kali dan pembacokannya ditayangkan secara langsung via Instagram. Demi konten? Inilah jahatnya pemahaman menghalalkan segala cara. Hingga mematikan hati nurani, yang terpenting keinginan pribadi terpuaskan, entah dalam bentuk materi maupun eksistensi diri.
Masyarakat pun semakin tidak peduli dengan kondisi generasi yang rusak, bahkan menunjukkan perilaku yang juga makin mudah melakukan tindakan di luar nalar, kesalahan sedikit seolah sudah menjadi legitimasi untuk melukai bahkan menghilangkan nyawa. Bagaimana perilaku masyarakat adalah cerminan peraturan, perasaan dan pemikiran yang tumbuh di tengah-tengah mereka. Faktanya meskipun mayoritas beragama Islam, namun perasaan, peraturan dan pemikiran yang ada bukan Islam, inilah yang dikatakan sebagai sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan. Islam bukan pedoman hidup.
Pengingkaran inilah yang memunculkan banyak persoalan. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya,” Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.” (Qs at-Thaha :126). Kondisi mental generasi yang temperamental ini, yang menjadikan makna hgaririung (berkumpul) untuk silahturahmi menjadi ajang tawuran, hingga bulan suci Ramadan ini ternodai tidak terjadi begitu saja.
Melainkan tersistem, dari bagaimana para pemimpin negeri ini yang tidak malu mengemban sekulerisme sebagai asas pengaturan urusan rakyat, rakyat yang terbiasa melihat panutan yang salah hingga ulama yang tak lagi menyampaikan apa yang benar melainkan apa yang disukai saja. Urusan flexing para pejabat di kementerian keuangan dan pajak sudah bisa jadi bukti, betapa mati hatinya para pejabat negeri ini yang dengan rakusnya makan harta yang bukan miliknya hanya demi hidup mewah dan tak kekurangan.
Sementara rakyat, untuk bisa bertahan hidup harus berjuang berdarah-darah terlebih dahulu. Terhimpit dengan tingginya biaya hidup dan stimulasi sesat Sekulerisme kapitalis bahwa makna kebahagiaan adalah sebanyak mungkin mendapatkan kepuasan jasadiyah. Satu lagi yang sangat berpengaruh pada kian kentalnya racun sekulerisme kapitalis menjerat adalah sistem pendidikan.
Jelas sangat urgen jika hari ini dibutuhkan sistem pendidikan Islam, untuk menyelesaikan pesoalan ini. Terutama untuk mengembalikan jati diri generasi sebagai Muslim sejati. Sebab pendidikan hari ini masih berasas sekulerisme, menempatkan agama hanya di ranah individu, itupun sebatas ibadah mahdoh ritual harian, sementar jika ingin berpolitik, mengatur urusannya yang bersinggungan dengan orang banyak memakai aturan manusia. Agama (Islam) dianggap tidak layak, bahkan kejinya dianggap sebagai biang kerok pemecah belah bangsa. Astaghfirullah.
Generasi yang terdidik dengan asas sekuler jelas tidak akan memiliki kepekaan terhadap persoalan umat, sebab benaknya hanya dipenuhi dengan ajaran imajinasi Barat, sang kampiunnya sekulerisme kapitalis. Mereka diplot untuk menjadi robot, bergerak tanpa nurani, mengikuti cetakan blue print bahwa pendidikan hanya cara untuk mendapatkan pekerjaan agar mampu bertahan menghadapi persaingan global. Orangtua akan sangat bangga jika anaknya bisa lulus dengan nilai terbaik dan mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan bonafit, sebagaimana arahan barat bagi generasi. Seolah masa depan sudah terselamatkan, sebab sudah mendapat pekerjaan dan sesuai “track”.
Soal adab, bahkan rasa takutnya kepada Allah Sang Khalik dan Mudabbir (pengatur) samasekali tidak tumbuh, bagaimana bisa tumbuh jika digambarkan generasi unggul bukan yang bertakwa, hanya takut kepada Allah dan yang sadar bahwa segala perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Sekali lagi sekulerismelah penyebabnya.
Hanya Islam Solusi Tuntas.
Islam adalah agama yang sempurna, mengatur segala sesuatu sejak dalam buaian hingga berakhir di liang lahat, dari mulai urusan ekonomi hingga bangun negara. Dalam Islam pun mewajibkan hanya pemimpin sebuah negara sajalah yang menjamin kesejahteraan rakyatnya, terpenuhinya enam kebutuhan asasiyah (pokok). Kata sejahtera dalam kapitalisme jalan bergantung pada pengaturan pemimpin. Rakyat sejahtera, pastilah kriminal mereda. Hal ini adalah alamia, berperilaku aneh dan berlebihan karena salah satu keinginannya tidak terwujud. Yang paling menonjol adalah ketika ditimpa persoalan ekonomi.
Dalam pandangan Islam, melakukan amar makruf nahi mungkar bukanlah seseuatu yang harus ditawar . Justru syariah memerintahkan. Masyarakat harus melakukan amar makruf nahi mungkar. Dimana hari ini justru berpotensi sebagai upaya pemecah belah bahkan memiliki meski belum ada bukti . Dan Negara harus menjalankan perannya sebagai pelindung generasi. . “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Dari sinilah, para pemimpin negara berdasarkan syariat berlomba-lomba menunjukkan pengurusannya kepada rakyat. Sejarah membuktikan bahwa peran negara sangatlah dominan. Mendorong setiap peneliti, ilmuwan dan kaum terpelajar untuk kemaslahatan umat. Terlebih di bulan Ramadan, bulan suci penuh ampunan. Menjadi tanggungjawab kita untuk memuliakan dengan mengisi kegiatan-kegiatan yang sangat menarik sekaligus positif.
Negara mempermudah seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan, memudahkan individu rakyat mampu mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Tak semata-mata ilmu vokasi yang terkonekting lapangan pekerjaan. Namun juga mencetak pribadi Muslim handal, bertakwa dan tangguh. Hal ini tak mungkin lahir dari sistem seperti saat ini, yaitu para pemimpin yang memudahkan generasi muda bermajelis ilmu. Masyarakat yang saling nasehat menasehati kecuali dalam Islam. Wallahu a’lam bish showab.
Komentar