Lagi, Nasib Rakyat Kecil, Kalah dengan Pasar Ritel
Badan Pangan Nasional (Bapanas) memerintahkan Perum Bulog untuk menjual cadangan beras pemerintah (CBP) ke pasar ritel. Tugas itu tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 01/KS.02.02/K/1/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) (tempo.co, 29/1/2023).
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan perintah tersebut adalah arahan dari Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan pelaksanaan SPHP lantaran harga beras di tingkat konsumen masih tinggi. “Perluasan dan peningkatan penyaluran SPHP melalui pasar ritel ini sejalan dengan arahan Bapak Presiden agar kita mewaspadai kenaikan harga beras dengan melakukan langkah-langkah stabilisasi secara masif,” ujar Arief.
Beras yang disalurkan itu adalah beras medium yang diperoleh dari dalam negeri dan impor. Hilirisasi beras SPHP ke pasar ritel itu diharapkan dapat mendorong keterjangkauan beras medium Bulog di masyarakat. Beras medium yang digelontorkan dalam program SPHP Bulog tidak hanya bisa didapatkan di Kanwil Bulog atau pasar-pasar tradisional, tetapi juga di warung sekitar pemukiman warga, toko-toko Rumah Pangan Kita (RPK) Bulog, dan ritel modern baik secara daring maupun luring.
Arif menjelaskan, pemerintah tengah memperluas distribusi beras Bulog dengan menyasar dan memperbanyak toko-toko ritel yang ada di sekitar masyarakat. Hal itu, menurutnya, dapat membantu pemerintah memastikan keterjangkauan dan aksesibilitas masyarakat terhadap produk beras Bulog dengan harga terjangkau.
Adapun dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 01/KS.02.02/K/1/2023 itu disebutkan pelaksanaan SPHP dilakukan melalui operasi pasar secara langsung di tingkat eceran atau melalui distributor dan mitra yang ada di pasar tradisional atau modern serta tempat-tempat yang mudah dijangkau lainnya. “Poinnya, yang terpenting membuka keterjangkauan dan harga penjualan sampai ke tingkat konsumen harus sesuai dengan harga eceran yang telah ditetapkan,” tambah Arif. Cara ini juga sebagai jaminan atas mutu. Sebab beras yang dijual harus mencantumkan informasi harga, kelas mutu, dan berat bersih.
Arief mengatakan, pelaksanaan SPHP ini akan terus dilakukan setiap hari dengan lebih masif di seluruh Indonesia. Ia pun mengaku telah memerintahkan Bulog melakukan operasi pasar beras SPHP setiap hari sampai dengan panen raya di Februari-Maret di seluruh daerah. Berdasarkan catatannya, sampai dengan 28 Januari ini Bulog telah merealisasikan penyaluran SPHP sebanyak 161 ribu ton, jumlah tersebut meningkat 143 persen dibandingkan dengan penyaluran beras untuk stabilisasi stok dan harga di bulan Januari tahun 2022 yang tercatat sebanyak 66 ribu ton.
Sementara itu, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan SPHP atau dikenal operasi pasar terus berjalan. Stok CBP di gudang Bulog saat ini 683 ribu ton, jumlah tersebut termasuk beras impor. Ia menilai jumlahnya cukup untuk kebutuhan penyaluran sampai dengan panen raya. Ia menyatakan Bulog akan terus memaksimalkan penyerapan pada saat panen raya mendatang agar stok CBP pada tahun ini bisa terpenuhi dari produksi dalam negeri sendiri.
Sistem Ekonomi Kapitalisme: Perburuk ketahanan Pangan Dalam Negeri
Penjualan beras ke ritel modern dianggap sebagai langkah antisipasi naiknya harga beras dan meningkatkan keterjangkauan sampai kepada konsumen agar beras Bulog lebih terserap. Tapi pada dasarnya, kebijakan ini samadengan upaya lepas tangan negara. Jika Langkah ini berhasil, maka Bulog akan menghentikan operasi pasar, dimana bisa saja berimbas kepada rakyat kecil dalam menjangkau beras saat harga beras tinggi di pasar.
Inilah fakta sistem ekonomi kapitalisme yang justru kian memperburuk ketahanan pangan dalam negeri. Sebab ,patokannya hanya untung rugi, bukan apakah rakyat bisa mengakses dengan mudah dan menjamin setiap individu terpenuhinya kebutuhan pokoknya termasuk beras. Posisi negara hanya sebagai regulator kebijakan sedang Perum Bulog juga berubah fungsi dari kepanjangan tangan pemerintah dalam menstabilkan harga dan pasokan pangan kepada rakyat menjadi hanya kepanjangan tangan para korporasi.
Bagaimana tidak, alih-alih menstabilkan harga beras di pasaran, yang ada malah menyusahkan rakyat dan menyenangkan korporasi. Muncullah praktik mafia, korupsi, dan lainnya dalam rangka mendulang celah yang diberikan sistem ekonomi kapitalis kepada rakyat. Penjualan ritel mengharuskan beras memenuhi berbagai syarat dan ketentuan berlaku agar bisa lebih “naik gengsi” dan layak dijual di ritel. Pasar tradisional benar-benar diabaikan karena selain tak bersih, becek juga barang tidak ada.
Pertanyaannya, berapa orang dari keluarga Indonesia bisa membeli beras dari ritel, sementara toko kelontong di depan rumahnya juga tersedia? Namun penguasa tak peduli, terus saja menggelontorkan berbagai kebijakan, sementara distribusi buruk hingga ada rakyat yang tidak makan berhari-hari terabaikan. Bahkan sempat ada penguasa, ketika harga beras melonjak beliau menyarankan untuk berganti makanan pokok, seperti ubi-ubian, ketela, porang dan lainnya.
Jelas bukan solusi, sebab mengganti bahan makanan pokok bukan perkara yang mudah, selain di luar kebiasaan harga juga mahal, lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi korban. Karena jarang di pasaran, harganya pun mahal. Akar persoalannya ada pada sistem perekonomian yang saat ini sedang berlangsung. Yaitu kapitalisme. Asasnya sekuler, sehingga tak mengenal konsep halal haram sebagai standar perbuatan.
Sistem ekonomi kapitalisme hanya fokus pada pelayanan investor besar. Adalah sebuah keniscayaan lahir korporasi raksasa dari sistem ini yang menguasai seluruh rantai usaha pertanian, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, bahkan termasuk importasi. Walhasil, pasokan pangan dan rantai perdagangan beredar di antara segelintir korporasi besar ini. Contohnya, Rice Milling Unit (RMU) milik PT Wilmar, pada 2022 mampu membeli gabah sebanyak 331.546 ton GKG serta menstok sekitar 1,2 juta ton beras. Ini membenarkan pernyataan Dirut Bulog , Budi Waseso, bahwa 94% penguasaan pasar pangan di Indonesia berada di tangan korporasi, sedangkan Bulog menguasai 6% saja.
Sementara Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok untuk semua rakyat dan tidak akan membuat kebijakan yang mengakibatkan sebagian rakyat susah untuk menjangkaunya apalagi terkait dengan kebutuhan kebutuhan pokok. Sebab pemimpin dalam Islam adalah ibarat penggembala yang dengan serius menggembalakan ternaknya tanpa pilih-pilih, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Sangatlah berdosa para pemimpin yang mengeluarkan kebijakan justru mempersulit rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Negara juga tidak akan terus menerus melakukan kebijakan impor, sementara di dalam negeri sistem pertaniannya belum diperbaiki. Sebab hal ini berpengaruh terhadap ketahanan pangan dalam negeri dan tidak mudahnya negara ini dikuasai, sebab kedaulatan pangan akan mengantarkan kepada kemandirian dan berwibawa di hadapan bangsa lain.
Lagi-lagi, pemerintah dalam hal jual beli justru bergabung dengan negara baik di ASEAn maupun yang lain untuk menandatangani pasar bebas, yang benar-benar bebas bea cukai, bebas tarif pajak impor dan sederet kemudahan lain. Bagi negara lain yang memang produsen besar tak masalah, namun bagi Indonesia justru menjadi Boomerang, sebab hanya dipandang sebagai negara pasar konsumen yang berlimpah. Lagi-lagi menimbulkan bencana, petani kita tanpa dukungan yang jelas ditambah dengan harga-harga dalam negeri melonjak, berbagai penipuan dan kecurangan dalam berjualan kerap terjadi.
Islam juga memiliki aturan hak kepemilikan, semisal barang tambang yang menjadi kepemilikan umum, tidak boleh dialihkan kepada swasta. Negara akar hadir untuk mengelolanya melalui BUMN. Orientasinya bukan profit melainkan maslahat rakyat, sehingga tak bisa dimanipulasi dari sisi manapun. Artinya jika hari ini kita belum bisa menerapkan syariat sebagi pengganti sistem kapitalisme maka menjadi kemustahilan akan ada perubahan. Wallahu a’lam bish showab
Komentar